BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Oktober 11, 2010

FITNAH FACEBOOK







Entah sejak kapan kau mulai mengenalku di facebook. Tapi saat itu aku benar-benar tidak mengetahui dirimu. Mungkin kau sering mengunjungi dindingku. Karena kulihat kau sering mengomentari status, foto dan notesku. Kaupun pernah mengirimiku beberapa pesan di facebook. Komentarmu kutanggapi, pesanmu kubalas. Namun sungguh kau amat asing bagiku..

Namun pada suatu waktu handphoneku berdering, ada sms yang masuk. Ternyata itu pesan darimu, lelaki asing. Kubaca pesanmu yang menjelaskan bahwa kau adalah teman dunia mayaku, kau mendapat nomor handphoneku dari sebuah picture yang berupa brosur di profilku dan didalamnya terdapat nomorku. Aku menerima penjelasanmu. Aku balas smsmu, namun aku tidak tahu kau temanku yang mana. Dan jujur, aku sangat malas smsan dengan orang asing. Tiap kau bertanya, kujawab seadanya.

Dalam waktu yang cukup lama kita berkomunikasi tanpa kutahu akun facebookmu. Tiap online, aku ogah search namamu. Tapi karena sms-sms yang kau kirimkan, akhirnya kutanyakan akun profilmu. Aku ingin lihat, aku ingin tahu sosok dirimu..
Ternyata kau bukan laki-laki biasa, kau ikhwan yang luar biasa. Kau banyak tahu tentang agama dan saangat pandai bahasa Arob. Mulai timbul rasa kagum terhadapmu. Aku sering bertanya masalah agama padamu. Kau memberiku ilmu, menasihati dan memotivasiku. Kau bilang, kau sangat senang sharing denganku. Kau nyaman ngobrol denganku. Dan disitulah awal kedekatan kita....

Kau yang awalnya kuanggap biasa, kini menjadi sosok seorang kakak yang luar biasa. Sms-smsku yang dulu biasa saja, kini berisi keluh kesah, bahagia dan seluruh curahan hati lainnya. Aku bahkan pernah bercerita padamu tentang isi hatiku yang paling dalam. Tentang betapa perihnya hatiku saat mengetahui bahwa ikhwan yang aku tunggu telah menikah dengan akhwat lain. Kau tahu betapa sakitnya hatiku saat itu, betapa dalam luka itu. Tapi kau hadir mengobatinya.
Tahukah kau,, perhatianmu itu memberi harapan baru bagiku. Bahkan di saat ada seorang ikhwan yang jauh-jauh datang ke kotaku untuk nazhor, aku hendak menolaknya. Aku ingin menolaknya karena hatiku lebih condong kepadamu, daripada ikhwan itu. Namun karena permintaan ummahat dan akhwat, aku bersedia tuk di nazhor. Kuceritakan ini semua kepadamu, dan kau bilang ada rasa sesak dihatimu saat mendengar kabar itu.
Tapi qoddarullaah, Alloh menghalangi pertemuanku dengannya.

Kau akhirnya pun meminta fotoku dengan dalih nazhor, tapi tidak kuberi. Aku memang bukan orang yang mudah berbagi foto. Kau bilang suatu saat ingin ke kotaku tuk silaturrohim dan nazhor. Tak tahukah kau kalau aku menunggumu, menantimu dengan penuh harapan?!?!?




Aku terlena dalam hubungan ini. Kusadari kelalaianku, aku tidak ingin hubungan ini menjadi pacaran terselubung. Aku minta kau tuk tidak menghubungiku lagi, karena kan kuhapus nomor handphonemu dari phonebook-ku. Namun itu hanya berlangsung sesaat. Kau mengirimiku MMS, dan kita pun komunikasi lagi, meski tidak sedekat dulu. Aku masih sering membuka dindingmu, aku ingin lihat statusmu. Ternyata ada beberapa akhwat juga yang mengagumimu, mereka sering berkomentar di statusmu. Tiba-tiba hatiku tersayat melihat sebuah pesan dinding dari seorang akhwat yang kuyakin juga dekat denganmu. Pesan dindingnya biasa saja, namun komentar-komentar dibawahnya akhirnya membuka mata hatiku. Akhwat itu pun menantimu. Dia ingin kau fokus tuk kuliah dan setelah itu melamar seorang gadis.. Aku faham maksudnya..!!

Ternyata perhatian dan perlakuanmu terhadapku juga sama terhadap akhwat yang lain. Aku menangis sejadi-jadinya dalam sujudku. Kenapa aku bisa terserang virus ini?!? Aku menjaga jarak dalam pergaulan dengan lawan jenis dikampus, di dunia maya pun sekarang aku enggan tuk chat dengan lawan jenis. Tapi denganmu,, sungguh telah hilang muroqobatullah pada diriku.

Kuputuskan tuk menutup akun facebook-ku, dan ku mohon padamu untuk tidak menghubungiku lagi. Sebab hal ini akan merusak agama dan mencelakakan diri. Alloh Ta'ala berfirman:
.... tetapi kamu mencelakakan diri kamu sendiri dan menunggu (kehancuran) dan kamu ragu-ragu serta di tipu oleh angan-angan kosong.... [QS. Al-hadid:14]

Astaghfirullaah..

Duhai kakakku di jalan Alloh,
tulisan ini kupersembahkan untukmu. Semoga kau membacanya..
Tiada maksud tuk menasihatimu, karena diriku seorang faqir 'ilm.

Namun kuhanya ingin mengingatkanmu, sebab tiap-tiap manusia sering lalai.

Apalah guna ilmu jika hanya ditampung namun tanpa ada pemahaman dan tidak pula diamalkan..

Kakak pasti tahu bagaimana islam telah mengatur batas hubungan antar lawan jenis.

Maka kumohon padamu kak, jangan pernah menghubungiku lagi.

Hamba Alloh yang dho'if ini berserah diri padaNya.
Biarkan aku tenggelam dalam lautan ilmu, aku ingin merasakan manisnya madu ilmu syar'i..
Kan ku isi penantianku dengan meneguk madu-madu itu,
bukan dengan harapan dan angan-angan kosong belaka.

Aku ingin cinta yang suci dalam ikatan yang halal,
maka aku pun ingin meraihnya dengan cara yang suci.

Aku tidak lagi menantimu, aku tidak lagi harapkanmu..

Carilah cintamu dengan cara yang suci pula..





Hati-hatilah dengan akhwat facebookiyyah.

Karena.. Barangkali Kau bisa mendapatkan istri dari sana… Namun istrimu menyimpan laki-laki lain di hatinya…. Yaitu laki-laki yang pernah ada di friendlist facebooknya…..

Maka, jika kau tidak ingin seperti itu… Hendaknya kita pun juga menjaga diri kita…. Dengan tidak bermudah-mudahan dengan lawan jenis…. Jangan latih diri kita tuk mengkhianati kekasih kita…. Dengan FB-an pada Wanita yang bukan mahram kita…

karena…

al-jazaa’u min jinsi al’amali….

hati-hatilah dengan kata-kata “bersayap”… yang mungkin kita kontarkan…. atau akhwat lontarkan kepada kita…

Kata-kata saudari kita di atas adalah kata-kata “bersayap”…. yaitu kata-kata yang mengatakan “pergilah”, tetapi orang yang ditujunya akan membacanya “datanglah”… Yang sebenarnya kita pun malu membacanya….

Maka, seorang muslim yang baik adalah yang menjauhi fitnah yang merusak…. Ia tidak terlena dengan untaian kata-kata wanita…. tetapi terlena dengan kalamullah dan kalam nabi-Nya…

‘ Hati-hatilah dengan ikhwan facebookiyyun.

Karena.. Barangkali Kau bisa mendapatkan suami dari sana… Namun suamimu menyimpan wanita lain di hatinya…. Yaitu wanita yang pernah ada di friendlist facebooknya…..

Maka, jika kau tidak ingin seperti itu… Hendaknya kita pun juga menjaga diri kita…. Dengan tidak bermudah-mudahan dengan lawan jenis…. Jangan latih diri kita tuk mengkhianati kekasih kita…. Dengan FB-an pada lelaki yang bukan mahram kita…

karena…

al-jazaa’u min jinsi al’amali….

hati-hatilah dengan kata-kata “bersayap”… yang mungkin kita kontarkan…. atau ikhwan lontarkan kepada kita…

Kata-kata saudari kita di atas adalah kata-kata “bersayap”…. yaitu kata-kata yang mengatakan “pergilah”, tetapi orang yang ditujunya akan membacanya “datanglah”… Yang sebenarnya kita pun malu mambacanya….

Maka, seorang muslimah yang baik adalah yang menjauhi fitnah yang merusak…. Ia tidak terlena dengan untaian kata-kata lelaki…. tetapi terlena dengan kalamullah dan kalam nabi-Nya…

Allohu a'lam..

READ MORE - FITNAH FACEBOOK

Agustus 21, 2010

Ukhti, ke manakah rasa malu??

Dengan nama Allah Yang Maha Rohman Maha Rohim..

Semua perasaan condong kepadanya, perbuatan harom pun banyak terjadi karenanya. Mengundang terjadinya pembunuhan dan permusuhan juga disebabkan karenanya. Sekurang-kurangnya ia sebagai insan yang disukai di dunia. Kerusakan mana yang lebih besar daripada ini?
Begitulah Al-Imam Al-Mubarokfuri _rohimahulloh_ menjelaskan tentang bahaya fitnah wanita dalam At-Tuhfah Al-Ahwadzi 8/53.

Tengoklah ukhti, begitu dahsyatnya fitnah yang disebabkan oleh kaum kita. Tegakah kita merusak generasi, menjadi penyebar fitnah dan menjadi penyebab para pemuda tergelincir dalam kema'siatan?

Wahai Saudariku..,
Untuk apa engkau berhias dan berdandan ketika keluar rumah?
Untuk apa engkau memamerkan 'aurotmu dihadapan umum?
Untuk apa engkau memakai pakaian yang sempit, pendek dan transparan?
Untuk apa engkau percikkan minyak wangi ke tubuhmu?
Dan untuk apa engkau memasang foto wajahmu di internet??

Agar dapat tampil percaya dirikah.. Takut tak terlihat modis dan gaulkah.. Ingin terlihat aduhai-kah.. Supaya orang-orang dapat mencium wangi tubuhmu-kah.. Dan agar semua orang dapat melihat dan menikmati keindahanmu?

Alloh Subhanahu Wa Ta'ala berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 59 yang artinya :
"Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin; hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Rosulullah Shollallohu 'Alayhi Wasallam juga bersabda, yang artinya,
"Pada akhir umatku nanti akan ada wanita-wanita yang berpakaian namun (hakikatnya) telanjang. Di atas kepala mereka seperti terdapat punuk unta. Kutuklah mereka karena sebenarnya mereka itu adalah kaum wanita yang terkutuk."

Di dalam hadits lain terdapat tambahan,
"Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan memperoleh baunya, padahal bau surga itu dapat dicium dari perjalanan (jarak) sekian dan sekian."
[Dikeluarkan oleh Ath-Thobroni dalam Al-Mu'jam Ash-Shogir hal. 232, dari hadits Ibnu 'Amru dengan sanad shohih. Sedangkan hadits yang lain tersebut dikeluarkan oleh Muslim dari riwayat Abu Hurairoh]

Juga tak sedikit dari para wanita berjilbab yang tampil menor dengan make-upnya. Dilengkapi dengan minyak wangi yang begitu menyengat hidung.
Aduhai, betapa bahagia dan senangnya mereka karena dapat tampil PD di depan umum dan mendapat banyak sanjungan dengan itu semua. Tapi, apakah mereka masih dapat merasa bangga dan berbahagia bila mereka dikatakan pezina?!?!

Hikss.. Ana merinding


Teruntuk akhwat facebookers..
Kepada anti yang masih doyan upload, pajang dan pamer wajah di internet,

"Apa tujuan anti memperlihatkan foto wajah anti??"

Bukankah Alloh tlah memerintahkan bagi wanita-wanita dan laki-laki yang beriman untuk menundukkan pandangannya?
Apakah kita tlah termasuk dari hamba-hamba Alloh yang beriman?

Janganlah kita menyalahkan lelaki yang tak mampu menjaga pandangannya, sebab justru kitalah yang punya andil besar dalam hal ini.

Ukhti..,
wajah yang anti pasang di dunia maya dapat dengan mudah dilihat, di ambil dan disimpan oleh siapapun.
Lalu bagaimana bila lelaki tersebut tertarik pada anti, mengambil foto wajah anti dan menympannya??
Dan bagaimana dengan laki-laki yang beriman yang kalah oleh anti dan menjadi kotor hatinya karena melihat foto anti?



Siapkah kita mempertanggungjawabkan ini semua kelak dihadapanNya????



Makassar, 23 Juni 2010 M / 10 Rajab 1431 H
Ditengah sunyinya malam, dingin yang menusuk tulang, kantuk yang mendera dan di atas tumpukan tugas yang menemani..

Hamba Alloh yg dho'if,

Mira Arista


*****

Anaa..
Na adalah seorang yang awam, fakir yang masih butuh banyak ilmu.
Na menghadirkan tulisan ini bukan karena na lebih baik dari antunna, malah mungkin na jauh di bawah antunna.
Tapi na menulis ini karena na sedih, na prihatin atas banyaknya dari kaum kita yang tak menjaga hayaa' dan 'iffahnya serta tak menjaga hati lelaki sholih yang beriman dan sungguh takut pada Alloh.



READ MORE - Ukhti, ke manakah rasa malu??

Januari 06, 2010

APA HUKUMNYA MENCIUM MUSHAF AL-QUR'AN YANG SERING DILAKUKAN SEBAGIAN KAUM MUSLIMIN ?

Oleh : Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani


Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : Apa hukumnya mencium mushaf Al-Qur'an yang sering dilakukan oleh sebagian kaum muslimin ?

Jawaban.
Kami yakin perbuatan seperti ini masuk dalam keumuman hadits-hadits tentang bid'ah. Diantaranya hadits yang sangat terkenal.

"Hati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara (ibadah) yang diada-adakan, sebab semua ibadah yang diada-adakan (yang tidak ada contohnya dari Rasul) adalah bid'ah, dan semua bid'ah adalah sesat" [Shahih Targhib wa Tarhib 1/92/34]

Dalam hadits lain disebutkan.

"Dan semua yang sesat tempatnya di neraka" [Shalat Tarawih hal. 75]

Banyak orang yang berpendapat bahwa mencium mushaf adalah merupakan perbuatan yang bertujuan untuk menghormati dan memuliakan Al-Qur'an. Betul ...!, kami sependapat bahwa itu sebagai penghormatan terhadap Al-Qur'an. Tapi yang menjadi masalah : Apakah penghormatan terhadap Al-Qur'an dengan cara seperti itu dibenarkan .?

Seandainya mencium mushaf itu baik dan benar, tentu sudah dilakukan oleh orang yang paling tahu tentang kebaikan dan kebenaran, yaitu Rasulullah ? dan para sahabat, sebagaimana kaidah yang dipegang oleh para ulama salaf.

"Seandainya suatu perkara itu baik, niscaya mereka (para sahabat Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam) telah lebih dulu melakukannya" [Ibnu Katsir, Tafsir Surat An Najm 38-39]
Itulah patokan kami.

Pandangan berikutnya adalah, "Apakah hukum asal mencium mushaf itu boleh atau dilarang?" Ada sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim yang sangat pantas untuk kita renungkan. Dari hadits ini insya Allah kita bisa tahu betapa kaum muslimin hari ini sangat jauh berbeda dengan para pendahulu mereka (salafush shalih) dalam hal memahami agama dan dalam menyikapi perkara-perkara ibadah yang tidak dicontohkan oleh Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Hadits tersebut diriwayatkan oleh 'Abis bin Rabi'ah, dia berkata : "Aku melihat Umar bin Kahthtab Radhiyallahu ;anhu mencium Hajar Aswad dan berkata.

"Sungguh aku tahu engkau adalah batu yang tidak bisa memberi mudharat dan tidak bisa memberi manfaat. Kalau bukan karena aku melihat Rasulullah mencium engkau, maka aku tidak akan menciummu" [Shahih Targhib wa Tarhib 1/94/41]

Disebutkan dalam hadits lain bahwa.

"Hajar Aswad adalah batu dari surga" [Shahihul Jaami' No. 3174]

Yang jadi masalah ... kenapa Umar Radhiyallahu anhu mencium Hajar Aswad ? Apakah karena Hajar Aswad tersebut berasal dari tempat yang mulia yaitu surga ? Ternyata tidak, Umar mencium batu tersebut bukan karena kemuliaan batu tersebut dan bukan karena menghormatinya tetapi Umar mencium karena dia mengikuti sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam (Lihatlah .... betapa Umar Radhiyallahu 'anhu lebih mendahulukan dalil dengan mencontoh kepada Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam daripada mendahulukan akalnya. Dan demikian sifat dan sikap semua para sahabat, -pent-).

Lalu sekarang ... bolehkan kita mencium mushaf Al-Qur'an dengan alasan untuk menghormati dan memuliakan-Nya sementara tidak ada dalil bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat mencium mushaf ? Kalau cara beragama kita mengikuti para sahabat, tentu kita tidak akan mau mencium mushaf itu karena perbuatan tersebut tidak ada dalilnya (tidak ada contoh dari Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam). Tapi kalau cara beragama kita mengikuti selera dan akal kita serta hawa nafsu, maka kita akan berani melakukan apa saja yang penting masuk akal.

Contoh kedua adalah ketika Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu 'anhuma bersepakat untuk mengumpulkan Al-Qur'an dalam satu mushaf. Lalu mereka berdua menyerahkan tugas ini kepada Zaid bin Tsabit. Bagaimana komentar dan sikap Zaid ? Dia berkata, "Bagaimana kalian akan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ?" Begitulah para sahabat semuanya selalu melihat contoh dari Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam semua urusan agama mereka. Sayang sekali semangat seperti ini tidak dimiliki oleh sebagian besar kaum muslimin hari ini.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang paling berhak dan paling tahu bagaimana cara memuliakan Al-Qur'an. Tapi beliau tak pernah mencium Al-Qur'an. Sebagian orang jahil mengatakan, "Kenapa mencium mushaf tidak boleh dengan alasan tidak ada contoh dari Rasul? Kalau begitu kita tidak boleh naik mobil, naik pesawat, dan lain-lain, karena tidak ada contohnya dari Rasul ...?"

Ketahuilah bahwa bid'ah yang sesat (yang tidak ada contohnya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) hanya ada dalam masalah agama. Adapun masalah dunia, hukum asalnya semuanya mubah (boleh), kecuali yang dilarang oleh Allah dan Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam.(Mobil, pesawat, telepon, komputer dll adalah masalah dunia, bukanlah termasuk bid'ah dalam perkara agama yang dilarang -pent)

Maka seorang yang naik pesawat dalam rangka menunaikan ibadah haji ke Baitullah adalah boleh, walaupun naik pesawat untuk pergi haji itu belum pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yang tidak boleh adalah naik pesawat untuk pergi haji ke Negeri Barat. Ini jelas bid'ah, karena haji itu masalah agama yang harus mencontoh Rasul Shallallahu 'alahi wa sallam di dalam pelaksanaannya, yaitu dilaksanakan di Makkah dan tidak boleh di tempat lain.

Maka perkara ibadah adalah semua perkara yang dilakukan dengan tujuan ber-taqarrub (mendekatkan diri ) kepada Allah dan kita tidak boleh ber-taqarrub kepada Allah kecuali dengan sesuatu yang telah disyariatkan oleh Allah.

Untuk memahami dan menguatkan hadits, "Setiap bid'ah adalah sesat", ada sebuah kaidah yang datang dari para ulama salaf.

"Jika bid'ah sudah merajalela, maka sunnah pasti akan mati"

Dengan mata kepala saya sendiri saya melihat dan merasakan kebenaran kaidah tersebut, katika bid'ah-bid'ah sudah banyak dilakukan orang dalam berbagai macam keadaan.

Orang-orang yang berilmu dan mempunyai banyak keutamaan tidak pernah mencium mushaf ketika mereka mengambilnya untuk dibaca, padahal mereka adalah orang-orang yang selalu mengamalkan isi Al-Qur'an. Sementara orang-orang awam yang kerjanya mencium mushaf, hampir semua dari mereka adalah orang-orang yang perilakunya jauh dan menyimpang dari isi Al-Qur'an.

Demikianlah orang-orang yang melaksanakan sunnah, dia akan jauh dari bid'ah. Sebaliknya orang-orang yang melakukan bid'ah, dia pasti akan jauh dari sunnah. Maka tepat sekali kaidah di atas : "Jika bid'ah sudah merajalela, sunnah pasti akan mati".

Ada contoh lain lagi. Di beberapa tempat, banyak orang yang sengaja berdiri ketika mereka mendengar adzan.Padahal di antara mereka ini adalah orang-orang fasik yang selalu berbuat maksiat.

Ketika mereka ditanya : "Kenapa Anda berdiri ?" Jawab mereka : "Untuk mengagungkan Allah". Begitulah cara mereka mengagungkan Allah dengan cara yang salah, kemudian setelah itu mereka tidak pergi ke masjid untuk shalat berjama'ah tetapi malah kembali bermain kartu atau catur, dan mereka merasa telah mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Dari mana ceritanya sampai mereka berbuat demikian? Jawabannya adalah dari sebuah hadits plasu, bahkan hadits yang tidak ada asal-usulnya, yaitu.

"Jika kalian mendengar adzan, maka berdirilah" [Hadits Dha'if dalam Adh-Dhaifah No. 711]

Sebetulnya hadits tersebut ada asalnya, tetapi isinya telah diubah oleh sebagian rawi (periwayat) pembohong dan rawi-rawi yang lemah hapalannya. Kata "berdirilah" dalam hadits tersebut sebenarnya aslinya adalah "ucapkanlah".

Jadi yang sebenarnya hadits tersebut berbunya.

"Jika kalian mendengar adzan, maka ucapkanlah (seperti lafadz adzan tersebut)" [Shahih Muslim No. 184]

Demikialah, syetan menjadikan bid'ah itu indah dan baik di mata manusia. Dengan melakukan bid'ah-bid'ah tersebut, orang-orang merasa telah menjadi seorang mukmin yang mengagungkan syiar-syiar Allah, dengan cara mencium mushaf atau berdiri ketika mendengar adzan.

Akan tetapi kenyataannya mereka adalah orang-orang yang pengamalannya jauh dari Al-Qur'an. Kebanyakan mereka adalah orang-orang yang meninggalkan shalat. Kalau toh di antara mereka ada yang shalat, mereka masih makan barang haram, makan hasil riba atau memberi nafkah (keluarganya) dari hasil riba, atau menjadi perantara riba, dan perbuatan lain yang berbau maksiat.

Oleh karena itu tidak boleh tidak, kita harus membatasi diri kita dalam ketaatan dan peribadatan kepada Allah hanya dengan sesuatu yang telah disyariatkan oleh Allah. Jangan kita tambah-tambah syariat Allah tersebut, walaupun satu huruf. Sebab Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda.

"Apapun yang Allah perintahkan kepada kalian, semuanya telah aku sampaikan. Dan apapun yang Allah larang, semuanya telah aku sampaikan" [Ash-Shahihah No. 1803]

Coba tanyakan kepada orang-orang yang suka mencium mushaf dan suka berdiri ketika mendengar adzan : "Apakah anda lakukan semua ini dalam rangka beribadah untuk ber-taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah)?" Kalau mereka bilang : "Ya" Maka katakan kepada mereka : Tunjukkan kepada kami dalil dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam!" Kalau mereka tidak bisa menunjukkan dalil, maka katakan bahwa perbuatan itu adalah bid'ah, dan semua bid'ah adalah sesat, dan semua sesat pasti di neraka.

Mungkin diantara kita ada yang mengatakan bahwa hal ini adalah masalah yang sangat ringan dan sepele. Pantaskah masalah sekecil ini dikatakan sesat dan pelakunya akan masuk neraka ?"

“Sesungguhnya Syetan telah berputus asa untuk disembah dinegri kalian, tetapi ia senang ditaati menyangkut hal selain itu diantara amal perbuatan yang kalian anggap sepele, maka berhati-hatilah. Sesungguhnya aku telah meninggalkan/mewariskan pada kalian apa2 yang jika kalian berpegang teguh padanya, maka kalian tidak akan sesat selamanya, yaitu kitab Allah dan Sunnah NabiNya” (HASAN SHAHIH, riwayat Bukhari, Muslim, Al Hakim, Adz zahabi)

Kalimat yang berbau syubhat ini telah dibantah oleh Imam Syatibi : "Sekecil apapun bid'ah itu, dia tetap sesat. Jangan kita melihat bid'ah itu hanya wujud bid'ahnya saja (seperti mencium mushaf, berdiri ketika mendengar adzan, ushollii, adzan untuk mayit, dan seterusnya -pent-), tetapi mari kita lihat, mau dikemanakan perbuatan-perbuatan bid'ah yang menurut kita kecil dan sepele itu?

Ternyata perbuatan ini akan dimassukkan ke dalam sesuatu yang besar, agung, mulia dan sempurna yaitu ajaran Islam yang datangnya dari Allah dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Seolah-olah ajaran Allah dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam itu belum begitu baik dan belum begitu sempurna sehingga masih perlu diperbaiki dan disempurnakan dengan bid'ah-bid'ah tersebut. Dari sini sangat pantas kalau bid'ah itu dinilai sebagai perbuatan sesat.



[Disalin kitab Kaifa Yajibu 'Alaina Annufasirral Qur'anal Karim, edisi Indonesia Tanya Jawab Dalam Memahami Isi Al-Qur'an, Penulis Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, terbitan Pustaka At-Tauhid, penerjemah Abu Abdul Aziz]


READ MORE - APA HUKUMNYA MENCIUM MUSHAF AL-QUR'AN YANG SERING DILAKUKAN SEBAGIAN KAUM MUSLIMIN ?

TAHLILAN DALAM TIMBANGAN ISLAM


Oleh : Kajian Islam Assunnah

Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Qur’an dan mengutus Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai penjelas dan pembimbing untuk memahami Al Qur’an tersebut sehingga menjadi petunjuk bagi umat manusia. Semoga Allah subhanahu wata’ala mencurahkan hidayah dan inayah-Nya kepada kita semua, sehingga dapat membuka mata hati kita untuk senantiasa menerima kebenaran hakiki.

Telah kita maklumi bersama bahwa acara tahlilan merupakan upacara ritual seremonial yang biasa dilakukan oleh keumuman masyarakat Indonesia untuk memperingati hari kematian. Secara bersama-sama, berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta masyarakat sekitarnya, membaca beberapa ayat Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan disertai do’a-do’a tertentu untuk dikirimkan kepada si mayit. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan kali bahkan ada yang sampai ribuan kali), maka acara tersebut dikenal dengan istilah “Tahlilan”.

Acara ini biasanya diselenggarakan setelah selesai proses penguburan (terkadang dilakukan sebelum penguburan mayit), kemudian terus berlangsung setiap hari sampai hari ketujuh. Lalu diselenggarakan kembali pada hari ke 40 dan ke 100. Untuk selanjutnya acara tersebut diadakan tiap tahun dari hari kematian si mayit, walaupun terkadang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya.

Tidak lepas pula dalam acara tersebut penjamuan yang disajikan pada tiap kali acara diselenggarakan. Model penyajian hidangan biasanya selalu variatif, tergantung adat yang berjalan di tempat tersebut. Namun pada dasarnya menu hidangan “lebih dari sekedarnya” cenderung mirip menu hidangan yang berbau kemeriahan. Sehingga acara tersebut terkesan pesta kecil-kecilan, memang demikianlah kenyataannya.

Entah telah berapa abad lamanya acara tersebut diselenggarakan, hingga tanpa disadari menjadi suatu kelaziman. Konsekuensinya, bila ada yang tidak menyelenggarakan acara tersebut berarti telah menyalahi adat dan akibatnya ia diasingkan dari masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi acara tersebut telah membangun opini muatan hukum yaitu sunnah (baca: “wajib”) untuk dikerjakan dan sebaliknya, bid’ah (hal yang baru dan ajaib) apabila ditinggalkan.

Pembahasan kajian kali ini bukan dimaksudkan untuk menyerang mereka yang suka tahlilan, namun sebagai nasehat untuk kita bersama agar berpikir lebih jernih dan dewasa bahwa kita (umat Islam) memiliki pedoman baku yang telah diyakini keabsahannya yaitu Al Qur’an dan As Sunnah.

Sebenarnya acara tahlilan semacam ini telah lama menjadi pro dan kontra di kalangan umat Islam. Sebagai muslim sejati yang selalu mengedepankan kebenaran, semua pro dan kontra harus dikembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Sikap seperti inilah yang sepatutnya dimiliki oleh setiap insan muslim yang benar-benar beriman kepada Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Bukankah Allah subhanahu wata’ala telah berfirman (artinya):
“Maka jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Ar Rasul (As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya.” (An Nisaa’: 59)

Historis Upacara Tahlilan
Para pembaca, kalau kita buka catatan sejarah Islam, maka acara ritual tahlilan tidak dijumpai di masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, di masa para sahabatnya ? dan para Tabi’in maupun Tabi’ut tabi’in. Bahkan acara tersebut tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah seperti Al Imam Malik, Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, dan ulama lainnya yang semasa dengan mereka ataupun sesudah mereka. Lalu dari mana sejarah munculnya acara tahlilan?
Awal mula acara tersebut berasal dari upacara peribadatan (baca: selamatan) nenek moyang bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama Hindu dan Budha. Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendo’akan orang yang telah meninggalkan dunia yang diselenggarakan pada waktu seperti halnya waktu tahlilan. Namun acara tahlilan secara praktis di lapangan berbeda dengan prosesi selamatan agama lain yaitu dengan cara mengganti dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala agama lain dengan bacaan dari Al Qur’an, maupun dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala Islam menurut mereka.
Dari aspek historis ini kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya acara tahlilan merupakan adopsi (pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) dengan agama lain.

Tahlilan Dalam Kaca Mata Islam
Acara tahlilan –paling tidak– terfokus pada dua acara yang paling penting yaitu:

Pertama: Pembacaan beberapa ayat/ surat Al Qur’an, dzikir-dzikir dan disertai dengan do’a-do’a tertentu yang ditujukan dan dihadiahkan kepada si mayit.

Kedua: Penyajian hidangan makanan.
Dua hal di atas perlu ditinjau kembali dalam kaca mata Islam, walaupun secara historis acara tahlilan bukan berasal dari ajaran Islam.
Pada dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan, mereka tiada memiliki argumentasi (dalih) melainkan satu dalih saja yaitu istihsan (menganggap baiknya suatu amalan) dengan dalil-dalil yang umum sifatnya. Mereka berdalil dengan keumuman ayat atau hadits yang menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir ataupun berdoa dan menganjurkan pula untuk memuliakan tamu dengan menyajikan hidangan dengan niatan shadaqah.

1. Bacaan Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a yang ditujukan/ dihadiahkan kepada si mayit.
Memang benar Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir dan berdoa. Namun apakah pelaksanaan membaca Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a diatur sesuai kehendak pribadi dengan menentukan cara, waktu dan jumlah tertentu (yang diistilahkan dengan acara tahlilan) tanpa merujuk praktek dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya bisa dibenarakan?
Kesempurnaan agama Islam merupakan kesepakatan umat Islam semuanya, karena memang telah dinyatakan oleh Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Islam bagi kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian serta Aku ridha Islam menjadi agama kalian.” (Al Maidah: 3)

Berkata Abu Dzar: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Tidak tertinggal sesuatupun yang mendekatkan (kamu) kesurga dan menjauhkan (kamu) dari neraka, melainkan sesungguhnya telah dijelaskan kepada kamu.” (SHAHIH, HR Imam Ath Thobroni di kitab nya al Mu’jamul Kabir. (2/166 no. 1647)

Ayat dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu bahwa Islam telah sempurna, tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah, baik perkataan maupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Suatu ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mendengar berita tentang pernyataan tiga orang, yang pertama menyatakan: “Saya akan shalat tahajjud dan tidak akan tidur malam”, yang kedua menyatakan: “Saya akan bershaum (puasa) dan tidak akan berbuka”, yang terakhir menyatakan: “Saya tidak akan menikah”, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menegur mereka, seraya berkata: “Apa urusan mereka dengan menyatakan seperti itu? Padahal saya bershaum dan saya pun berbuka, saya shalat dan saya pula tidur, dan saya menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku maka bukanlah golonganku.” (Muttafaqun alaihi)

Ibnu Katsir dalam Tafsirnya (I/231) berkata :"Sesungguhnya amal yang diterima harus memenuhi dua syarat. Pertama, ikhlas karena Allah. Kedua, benar dan sesuai syari'at. Jika dilakukan dengan ikhlas, tetapi tidak benar, maka ia tidak diterima"

Allah subhanahu wata’ala menyatakan dalam Al Qur’an (artinya):
“Dialah Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji siapa diantara kalian yang paling baik amalnya.” (Al Mulk: 2)

Para ulama ahli tafsir menjelaskan makna “yang paling baik amalnya” ialah yang paling ikhlash dan yang paling mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Tidak ada seorang pun yang menyatakan shalat itu jelek atau shaum (puasa) itu jelek, bahkan keduanya merupakan ibadah mulia bila dikerjakan sesuai tuntunan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Atas dasar ini, beramal dengan dalih niat baik (istihsan) semata -seperti peristiwa tiga orang didalam hadits tersebut- tanpa mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka amalan tersebut tertolak. Simaklah firman Allah subhanahu wata’ala (artinya): “Maukah Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya”. (Al Kahfi: 103-104)

Lebih ditegaskan lagi dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barang siapa yang beramal bukan diatas petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak.” (Muttafaqun alaihi, dari lafazh Muslim)
Atas dasar ini pula lahirlah sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi:

“Hukum asal dari suatu ibadah adalah haram, hingga terdapat dalil (argumen) yang memerintahkannya.”

Maka beribadah dengan dalil istihsan semata tidaklah dibenarkan dalam agama. Karena tidaklah suatu perkara itu teranggap baik melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya baik dan tidaklah suatu perkara itu teranggap jelek melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya jelek.
Lebih menukik lagi pernyataan dari Al Imam Asy Syafi’I:

“Barang siapa yang menganggap baik suatu amalan (padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah –pent) berarti dirinya telah menciptakan hukum syara’ (syari’at) sendiri”.

Kalau kita mau mengkaji lebih dalam madzhab Al Imam Asy Syafi’i tentang hukum bacaan Al Qur’an yang dihadiahkan kepada si mayit, beliau diantara ulama yang menyatakan bahwa pahala bacaan Al Qur’an tidak akan sampai kepada si mayit. Beliau berdalil dengan firman Allah subhanahu wata’ala (artinya):
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh (pahala) selain apa yang telah diusahakannya”. (An Najm: 39), (Lihat tafsir Ibnu Katsir 4/329).

2. Penyajian hidangan makanan.
Memang secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan perkara yang terpuji bahkan dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik untuk sajian tamu undangan tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya radhiallahu ‘anhum. Jarir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu–salah seorang sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam– berkata: “Kami menganggap/ memandang kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit).” [SHAHIH.HR Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya)

Sehingga acara berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan hidangan dari keluarga mayit termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama menurut pendapat para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para ulama salaf. Lihatlah bagaimana fatwa salah seorang ulama salaf yaitu Al Imam Asy Syafi’i dalam masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al Imam Asy Syafi’i, karena mayoritas kaum muslimin di Indonesia mengaku bermadzhab Syafi’i. Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu ‘Al Umm’ (1/248): “Aku membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit –pent) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka.” (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211)

Al Imam An Nawawi seorang imam besar dari madzhab Asy Syafi’i setelah menyebutkan perkataan Asy Syafi’i diatas didalam kitabnya Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab 5/279 berkata: “Ini adalah lafadz baliau dalam kitab Al Um, dan inilah yang diikuti oleh murid-murid beliau. Adapun pengarang kitab Al Muhadzdzab (Asy Syirazi) dan lainnya berargumentasi dengan argumen lain yaitu bahwa perbuatan tersebut merupakan perkara yang diada-adakan dalam agama (bid’ah –pent).

Lalu apakah pantas acara tahlilan tersebut dinisbahkan kepada madzhab Al Imam Asy Syafi’i?

Malah yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit yang menghidangkan makanan untuk keluarga mayit, supaya meringankan beban yang mereka alami. Sebagaimana bimbingan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadistnya:

“Hidangkanlah makanan buat keluarga Ja’far, Karena telah datang perkara (kematian-pent) yang menyibukkan mereka.” ([SHAHIH. HR Abu Dawud, At Tirmidzi dan lainnya)
Mudah-mudahan pembahasan ini bisa memberikan penerangan bagi semua yang menginginkan kebenaran di tengah gelapnya permasalahan. Wallahu ‘a’lam.

Sumber
http://assalafi.wordpress.com/2007/08/18/tahlilan-dalam-timbangan-islam/

READ MORE - TAHLILAN DALAM TIMBANGAN ISLAM

Buku "LA TAHZAN" & Dr. Aidh Al Qarni dalam sorotan Ulama Ahlus sunnah

Buku "LA TAHZAN" & Dr. Aidh Al Qarni dalam sorotan Ulama Ahlus sunnah

Siapakah Dr. Aidh Al Qarni

Dari Abu Hurairah rodhiyallohu ‘anhu beliau berkata, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: “Akan datang masa-masa yang menipu dimana para pendusta dibenarkan dan orang-orang yang jujur didustakan. Para pengkhianat diberi amanat dan orang yang amanah dianggap pengkhianat dan berbicara pada masa itu ruwaibidhah.” Lalu ada yang bertanya, “Siapakah Ruwaibidhah itu?” Beliau menjawab, “Orang bodoh berbicara tentang permasalahan umat.”

(HR. Ibnu Majah (no. 4036), Ahmad (2/291), Al Hakim (4/465, 466 dan 512), Al Khoraaithy (Makaarimul Akhlaaq, hal. 30), Asy Syazriy (Amaali, 2/256 dan 265))

La Tahzan Sebelum sempat pindah ke blogspot, penulis pernah menayangkan artikel tentang Biografi Dr. Aidh bin Abdullah Al Qarni, sang penulis buku best seller “La Tahzan”. Tulisan ini menjadi tulisan paling banyak dibuka dan dibaca, bahkan menjadi salah satu tulisan yang turut mendongkrak kunjungan ke blog ini. Namun dikarenakan keputusan untuk menampilkan artikel tersebut penulis sekaligus blog ini mendapat kritikan tajam dari saudara sesama Ahlus sunnah yang menyebutkan bahwa penulis telah terkena pemikiran sururi, yakni suatu pemahaman yang dinisbatkan kepada Muhammad Surur Zainal Abidin yang memiliki pemahaman takfir sebagai salah satu ajaran khawarij sehingga pemikiran sururi itu sebenarnya merupakan bagian dari ajaran khawarij itu sendiri allohu a’lam.

Dr. Aidh bin Abdullah Al Qarni dan buku “La Tahzan” (Jangan Bersedih) menjadi amat populer di masyarakat saat ini. Buku beliau telah banyak dibedah di negeri ini dan paling banyak dicari dan dibeli oleh masyarakat. Tak hanya itu, salah satu penerbit bahkan telah pula menerbitkan buku “La Tahzan for Teens” yang juga ditulis oleh beliau, namun kemasannya untuk remaja. Nama “La Tahzan” pun pernah dijadikan sebagai nama bagi sekolah darurat di Aceh ketika baru-baru saja ditimpa bencana Tsunami. Dr. Aidh bin Abdullah Al Qarni bahkan pernah datang ke negeri ini dalam sebuah event tahunan.

Dibalik popularitas dan banyaknya masyarakat yang menggandrungi sosok Aidh Al Qarni, ada beberapa catatan dan kesalahan yang tidak diketahui oleh masyarakat bahwa sosok yang digandrungi itu sebenarnya memiliki cacat dan para ulama telah memberikan catatan perihal pemikiran beliau bahkan buku “La Tahzan” yang beliau tulis.

Cacat Al Qarni dalam Kitab “La Tahzan”.

Asy Syaikh Dr. Ibrahim ar Ruhaili hafizahullohu –seorang ulama dan dosen Universitas Islam Madinah Saudi Arabia- memberikan koreksi terhadap buku “La Tahzan” yang begitu populer di masyarakat.

Terhadap buku “La Tahzan” itu Syaikh hafizahullohu menjelaskan:

“Kemudian judulnya "Laa Tahzan" (jangan bersedih), maksudnya bersedih apa ? apakah maksudnya bahwa manusia tidak boleh bersedih atas sesuatupun? Padahal kesedihan itu sendiri, terkadang memiliki alasan-alasan yang dibenarkan oleh syari’at, sehingga yang bersedih perlu bersabar dan mengharapkan pahala atas kesabarannya tersebut.

Cara berdialog dengan manusia seperti ini, "Laa Tahzan" (jangan bersedih), kemudian obatnya adalah perkataan kaum orintalis?! ini adalah bukti kedangkalan pemahamannya, seakan-akan al-Qur’an tidak cukup bagi kita dan di dalamnya ada hal yang menjadikan kita bersedih, sehingga kita perlu lari dari al-Qur’an dan as-Sunnah dan berpaling kepada perkataan kaum orientalis!! Ini sangat berbahaya.

Oknum-oknum di atas memiliki banyak kesalahan, meskipun kesalahan mereka berbeda-beda. ‘Aidh al-Qorni adalah seorang sasterawan, terkadang berbicara sesuai dengan aqidah Ahlus sunnah, dan pada kali yang lain melontarkan pendapat yang amat berbahaya, bahkan sampai kepada derajat kesyirikan serta beberapa istilah aneh. Saya pernah mendengar bait-bait syairnya, isinya dekat dengan pemikiran penganut wihdatul wujud (manunggaling kawulo gusti), sebagian baitnya mendiskreditkan para sahabat dan seterusnya dan masih banyak lagi keanehan-keanehannya1. Orang ini tidak bisa menjaga lisan dan perkataannya, dan dari dulu terkenal sebagai seorang yang mudah sekali marah.

Oleh karena itu, kita tidak boleh terpengaruh dengan orang-orang seperti ini. Jika seseorang telah memahami ilmu agama dan metode para ulama, maka dia akan mengetahui bahwa orang-orang ini bukan berada diatas jalannya para ulama. Kita juga tidak terus menerus menuduh niat-niatan manusia, akan tetapi inilah barang dagangan yang mereka tawarkan kepada manusia. Hendaklah kita berhati-hati terhadap perkataan mereka, dan kita kembali kepada perkataan para ulama yang mulia.

Perkataan Ahlus sunnah, itulah yang bermanfaat bagi manusia. Allah telah mencukupkan kita dengan al-Qur’an dan as-Sunnah dari perkataan makhluk, akan tetapi perkataan para ulama yang mendekatkan pemahaman kita terhadap ilmu syari’at, baik berupa uraian maupun penjelasan panjang lebar, serta pembahasan berbagai permasalahan, inilah yang lebih bermanfaat bagi manusia.
………………………..

maka berhati-hatilah dari buku yang berjudul “Laa Tahzan” (jangan bersedih), bacalah dulu, kemudian perhatikan isinya. Kalangan penuntut ilmu agama yang paling awampun, ketika membaca buku ini, pasti mengetahui kesesatan yang ada didalamnya. Kami katakan dengan sebenarnya, bahwa mereka ini, sama saja, baik dia menginginkan kebaikan atau tidak menginginkannya, perkara itu urusan Allah ‘Azza wa Jalla.”

(Majalah adz-Dzakhiirah, vol. 5, No. 2, edisi 27, tahun 1428H).


Sikap tidak konsisten Aidh Al Qarni.

Disamping cacat atas karya tulis Aidh Al Qarni yang menjadi “best seller” tersebut, Orang ini juga memiliki cacat yang lain yakni sikapnya yang plin plan atau tidak konsisten atas suatu perkara. Dalam Majalah adz-Dzakiirah edisi 12 tahun II disebutkan (intinya adalah):

“Dr. Aidh bin Abdullah Al Qarni pernah memberikan kritik tajam atas seorang sastrawan bernama Ghazi al-Qushaibi dimana Al Qarni telah memvonisnya sesat atau bahkan telah mengkafirkannya, namun kemudian orang ini berkata bahwa dia memiliki hubungan baik dan persaudaraan dengan Ghazi al-Qushaibi.”

Al Qarni juga berkata (dikutip dari Koran “Madinah” edisi 16 Dzulqa’dah 1424H):

“Sesungguhnya masalah wanita mengemudi mobil bukanlah termasuk masalah prinsip karena tidak disebutkan pengharamannya dalam surat at-Taubah maupun al-Anfal.”

Namun dalam koran “Al-Hayah” dia berkata:

“Aku bertobat kepada Allah, aku pernah mengatakan bahwa wanita boleh mengemudi mobil.”

Perhatikan dua perkataannya yang bisa dikatakan bertolak belakang ini. Perkataan pertama dalam koran “Madinah” bahkan bisa ditafsirkan “wanita boleh mengendarai mobil.” (Para ulama –khususnya di Saudi- memang melarang wanita mengendarai mobil karena dikhawatirkan menimbulkan kerusakan) akan tetapi pada kesempatan lain dia berkata lain dengan menyebut “aku tidak pernah mengatakan wanita boleh mengemudi mobil.”

Sikap seperti ini jelas tidak mencerminkan kredibilitas dia kalau memang dia dianggap sebagai seorang da’i atau ulama. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam pernah bertindak tegas terhadap golongan khawarij dalam sabdanya:

“Akan muncul dari kalangan umat ini suatu kaum yang membaca Al Qur’an akan tetapi tidak melewati pangkal tenggorokannya. Mereka keluar dari agama sebagaimana melesatnya anak panah dari sasarannya. Mereka membunuh kaum Muslimin dan membiarkan para penyembah berhala. Seandainya aku dapati mereka, maka akan benar-benar kubunuh mereka sebagaimana membunuh kaum ‘Ad.”
(HR. Bukhari no. 3166).

Demikian pula sikap yang ditunjukkan oleh as-Salaf ash-Sholih terhadap orang-orang yang menentang sunnah Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam, diantaranya:

1. Dari Qatadah, beliau berkata:

“Ketika kami bersama Imran bin Hushain di rumah kami, dan Basyir bin Ka’ab bersama kami, lalu Imran meriwayatkan hadits kepada kami pada hari itu, beliau berkata:

“Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, “Sifat malu itu baik semua” (sifat malu itu semuanya kebaikan).”

Lalu Basyir bin Ka’ab berkata:
“Sungguh kami telah mendapatkan di beberapa kitab dan hikmah bahwa sifat malu itu terdapat darinya ketenangan dan pengagungan untuk Alloh tetapi di dalamnya ada kelemahan.”

Maka Imran pun marah sampai memerah matanya, sambil berkata:
“Ingatlah jangan sekali-kali pernah menunjukkan kepadaku apabila aku meriwayatkan hadits Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam dan kamu mementangnya!”(HR. Bukhari (no. 6117) dan Muslim (no. 61)).

2. Abu al-Husain Ath-Thabasi berkata,

“Aku mendengar Abu Sa’id Al Ashthakhari berkata, ketika itu datang seorang laki-laki dan bertanya kepadanya: “Apakah boleh beristinja’ dengan tulang hewan?”

Ia menjawab, “Tidak.”

Laki-laki itu bertanya, “Kenapa?”

Ia menjawab, “Karena Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, “Dia adalah makanan teman-teman kalian dari golongan jin.”

Laki-laki itu berkata, “Manakah yang lebih utama jin atau manusia?”

Ia menjawab, “Tentu manusia.”

Laki-laki itu berkata, “Lalu kenapa boleh beristinja dengan air, apakah ia makanan manusia?”

Abu Husain berkata:

“Maka iapun menindihnya dan ia mulai mencekiknya sambil berkata, “Hai orang Zindiq!! Kamu menentang Nabi Muhammad…?” Lalu ia mulai mencekiknya, kalau seandainya aku tidak mendapatinya maka sungguh ia telah membunuhnya.”

(Madarijus Salakin, juz 1 halaman 334).

Jika melihat kembali pada dua pernyataan Aidh Al Qarni tersebut, maka kami ingin mengatakan kepada orang-orang yang menyanjung dan memujanya, “Tidakkah kalian melihat ketegasan Rosululloh dan Para Salaf dalam mengingkari kebatilan?! Bagaimanakah sikap tegas yang telah mereka contohkan kepada kita sedangkan kalian begitu memuja dan memuji Aidh Al Qarni yang tidak memiliki sikap tegas sebagaimana dicontohkan oleh Rosul dan Para Salaf.”


Penyimpangan Dr. Aidh bin Abdullah Al Qarni.

Asy Syaikh Abu Mundzir Ahmad bin Jaelan menyebutkan bahwa Dr. Aidh bin Abdullah Al Qarni memiliki penyimpangan tatkala membahas tentang kasetnya yang berjudul “Amma Ba’du”. Diantara penyimpangan tersebut adalah:

Penyimpangan pertama:
Dia beristighotsah kepada hati dan darahnya bukan kepada Alloh ta’ala. Dia berkata pada awal ceramahnya: "Bagaimana aku bisa memulai? Wahai darah tolonglah aku. Wahai hati temanilah aku, wahai darah selamatkanlah diriku"

Sesungguhnya panggilan yang dijadikan sebagai pembuka ceramah oleh Doktor adalah suatu kesalahan yang buruk yang pernah aku dengar dari kasetnya ini. Bagaimana dia bisa membolehkan bagi dirinya beristighotsah dengan selain Alloh? Dia beristighotsah dengan darahnya untuk menolong dan menyelamatkannya serta hatinya untuk menemaninya!!! apakah bisa darah dan hatinya menyelamatkannya selain Alloh? Apakah doktor tidak tahu bahwa istighotsah itu adalah ibadah yang harus ditujukan kepada Alloh semata tidak lainnya???

Sungguh telah jelas bagi pemula dari penuntut ilmu apa yang ditetapkan oleh para ulama tentang masalah istighotsah ini. Di antara para ulama tersebut adalah Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab -rahimahullah-. Beliau telah menjelaskan dengan sejelas-jelasnya perkara yang agung ini, perkara yang berkaitan erat dengan ketauhidan dan ibadah kepada Alloh. Didalam beberapa kitab dan makalah beliau, diantaranya apa yang beliau sebutkan dalam kitab Ushuluts Tsalatsah : "bentuk-bentuk ibadah yang diperintahkan Alloh Ta’ala adalah Islam, Iman dan Ihsan, diantaranya juga doa, rasa takut….., isti’anah, istighostah, menyembelih, nadzar dan lain sebagainya dan bentuk-bentuk ibadah yang diperintahkan Alloh ta’ala"

Imam Al-Allamah Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin rohimahullah berkata tentang istighotsah: "istighotsah adalah meminta pertolongan dari keselamatan di kala terjepit dan binasa, dan istighotsah itu bermacam-macam:

1. Beristighotsah kepada Alloh Azza wa Jalla, dan ini termasuk seutama-utama dan semulia-mulia ibadah dan ini adalah jalannya para Rosul serta pengikut mereka.

2. Beristighotsah kepada orang-orang mati atau kepada yang masih hidup tapi tidak ada di hadapan (kita) dan dia tidak mampu untuk menolong. Ini adalah kesyirikan kepada Alloh. Karena orang tersebut tidak beristighotsah kepada selain Alloh kecuali dengan sebab keyakinannya bahwa yang diistighotsahi itu memiliki pengaruh yang tersembunyi di alam semesta ini. Orang itu telah memberikan hak rububiyyah Alloh kepada yang di istighotsahi.

3. Alloh Ta’ala berfirman: "Atau siapakah yang memperkenankan (do’a) orang-orang yang dalam kesulitan apabila dia berdo’a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Alloh ada Tuhan yang lain? Amat sedikitlah kamu mengingat-Nya" (QS. An-Naml: 62)

4. Beristighotsah dengan orang yang masih hidup dan mampu untuk membantu, maka ini boleh. Alloh berfirman: "Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu Musa memukulnya, dan matilah musuhnya itu" (QS. Al-Qoshosh: 15)

5. Beristighostah dengan orang yang masih hidup tapi tidak mampu untuk membantu dan tidak ada keyakinan bahwa pada diri orang tersebut tersimpan kekuatan (ghaib). Seperti ada seseorang yang tenggelam lalu dia meminta tolong kepada orang lumpuh maka ini merupakan ejekan dan canda gurau terhadap yang dimintai tolong tersebut. (Lihat Syarh Ushuluts Tsalatsah oleh Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin -rohimahulloh- hal. 60 – 61).

Maka termasuk yang manakah istighotsahnya Doktor ‘Aidh? Bukankah yang wajib baginya setelah di-blacklist adalah agar dia bernaung kepada Alloh dan beristighotsah kepada-Nya? Bukankah dia sendiri yang mengatakan dalam 10 faedah atau pelajaran yang diambil dari kisah saat dia di-blacklist: "Kembali kepada Alloh di kala gundah gulana, menyerahkan diri kepada Alloh di kala susah dan memohon kepada-Nya di kala duka nestapa". Maka kenapa dia lalai dari ucapannya ini dan beristighotsah dengan hati dan darahnya selain Alloh Ta’ala?

Minimal yang bisa dikatakan terhadap penggilan dan istighotsah yang dia katakan dengan suara lantang adalah wajib baginya untuk beristighotsah dan kembali kepada kebenaran karena yang dia lakukan adalah istighotsah dengan anggota tubuh yang mati dan tidak mampu!

Penyimpangan Kedua:
Mengatakan atau mensifati sejarah Nabi dengan kata usthurah (dongeng), dia menyebutkan dalam bagian pertama kasetnya setelah penyebutan syahadat Muhammad Rosululloh sebuah bait yang tidak dinisbatkan kepada penyairnya mungkin dia sendiri yang membuatnya, dia berkata:

Wahai yang terusir (Nabi) sesungguhnya nama beliau (Nabi) harum memenuhi dunia dan menjadi buah bibir bagi setiap orang.

Sejarahnya menjadi usthurah yang diriwayatkan oleh perowi dari perowi yang lainnya.

Sesungguhnya menggunakan kata usthurah untuk mensifati sejarah Rosulullloh Shollallohu ‘alaihi wa Salam tidaklah benar karena kata tersebut dalam bahasa (Arab) digunakan hanya untuk suatu ucapan atau tulisan yang batil.

Ibnu Faris rohimahullohu berkata:

“Al-Asaathir (jama’ dari usthuurah, asaathir dan isthoorun) adalah sesuatu yang ditulis dari kebatilan.”

(Mu’jam Maqooyisii Lughoh oleh Ibnu Faris hal.458).

Ibnu Mandzur rohimahullohu berkata:

"Al-baathiil dan al-asaathir adalah cerita-cerita yang tidak ada benarnya.

(Lisanul Arab oleh Ibnu Mandzur 6/257).

Hal ini juga dikuatkan oleh ayat-ayat al-Qur’an, diantaranya firman Alloh Ta’ala:

حَتَّى إِذَا جَاءُوكَ يُجَادِلُونَكَ يَقُولُ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ هَذَا إِلا أَسَاطِيرُ الأوَّلِينَ

"Sehingga apabila mereka datang kepadamu untuk membantahmu, orang-orang kafir itu berkata: al-Qur’an ini tidak lain hanyalah asaathir atau dongengan orang-orang dahulu" (QS. Al An’am: 25).

Dan Firman-Nya:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ مَاذَا أَنْزَلَ رَبُّكُمْ قَالُوا أَسَاطِيرُ الأوَّلِينَ

"Dan apabila dikatakan kepada mereka: apakah yang telah diturunkan Robbmu? Mereka menjawab asaathirul awwaliin (dongengan orang-orang dahulu)." (QS. An-Nahl: 24).

Dan Firman-Nya:

وَقَالُوا أَسَاطِيرُ الأوَّلِينَ اكْتَتَبَهَا فَهِيَ تُمْلَى عَلَيْهِ بُكْرَةً وَأَصِيلا

"Dan mereka berkata: dongengan orang-orang dahulu, dimintanya supaya dituliskan, maka dibacakanlah dongeng itu kepadanya setiap pagi dan petang" (QS. Al-Furqan: 5).

Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang menjelaskan bahawa orang-orang kafir dahulu yang mendustakan Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Salam dan wahyu yang beliau bawa, mereka mensifati wahyu tersebut dengan usthurah. Maka kata usthurah yang ada dalam bait syair Doktor itu sangat membahayakan bagi kehormatan Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Salam dan keimanan kepada beliau. Sebenarnya yang wajib bagi penceramah (DR. ‘Aidh) untuk mengagungkan Sunnah dan sejarah Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Salam dan tidak mensifatinya seperti diatas.

Penyimpangan Ketiga:
Memanggil atau bermunajat kepada Alloh dengan mengatakan: Ya, Anta. Dia menyebutkan dalam bagian awal kasetnya setelah penyebutan dua kalimat syahadat, dia memuji Alloh dalam sebuah bait syair dan tidak dinisbatkan kepada penyairnya. Mungkin dialah si penyair itu, dia berkata:

Wahai anta (kamu), wahai sebaik-baik nama dalam hatiku

apa yang harus kukatakan atau jelaskan tentang matan dan sanadnya?

Sesungguhnya bermunajat kepada Alloh Ta’ala dan berdo’a kepada-Nya adalah suatu ibadah yang mulia sebagaimana firman Alloh ta’ala:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

"Dan Robbmu berfirman: berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan kupernakan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka jahannam dalam keadaan hina dan dihina" (QS. Al-Mu’minun: 60)

Di dalam hadits Nu’man bin Basyir rodhiyallohu ‘anhu dia berkata, “Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Salam bersabda:

"Do’a adalah ibadah"
(HR Ahmad, Abu Daud, lihat (Shohih Al-Jami’) oleh Syaikh Al-Albani dan masih banyak lagi nash-nash yang semisal ini.}

Ketahuilah bahwa ibadah adalah perkara yang agung dan memiliki kedudukan yang mulia karena dia merupakan (manifestasi) tauhid yang merupakan hak khusus bagi Allah, tidak boleh bagi seorang Muslim untuk berbicara dalam masalah ibadah kecuali dengan ilmu yang benar yang bersumberkan dari al-Qur’an dan Sunnah, Alloh berfirman:

وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا

"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya itu akan di minta pertanggungan jawabnya" (QS. Al-Isra’: 36).

Karena begitu mulianya kedudukan do’a ini maka kitab-kitab hadits tidak melalaikannya bahkan dikumpulkan hadits-hadits tentang do’a. Lebih dari itu sebagian ulama mengarang buku khusus tentang do’a, tentang adab-adabnya serta aturan-aturannya. Diantara aturan-aturan do’a yang disyari’atkan adalah seorang hamba ketika berdo’a dia harus menyeru nama Alloh atau salah satu sifat Alloh yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an ataupun Sunnah. Inilah yang telah dikatakan oleh Ahlus Sunnah. Akan tetapi kita mendapatkan Doktor berdo’a kepada Alloh dengan mengatakan: "Ya anta". Apakah "anta" termasuk nama Alloh? Apa dalilnya? Kapan dhomir atau kata ganti dan ismul isyarah bisa menjadi nama Alloh Ta’ala? Bisa sih kalau menurut orang-orang sufi atau tashawwuf.

Lajnah Da’imah Lil Ifta’ (Komite Tetap Urusan Fatwa) Saudi Arabia pernah ditanya:

"Apakah boleh berdo’a kepada Alloh dengan menggunakan "ya huwa” (wahai dia) yaitu Alloh tapi dengan dhomir atau kata ganti orang ketiga?"

Jawaban:
"Segala puji bagi Alloh, Sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada Rosululloh, keluarga, dan para sahabatnya, kemudian setelah itu:

Dhomir-dhomir mutakallim, khithab dan ghoib (kata ganti orang I, II dan III) secara mutlak bukan termasuk nama Allah baik secara bahasa maupun syari’at karena Allah tidak memberi nama bagi diri-Nya dengan dhomir-dhomir tersebut. Maka berdo’a dengan menggunakan dhomir-dhomir tersebut tidak boleh dan karena hal tersebut termasuk ilhad atau penyimpangan dalam pemberian nama bagi Alloh Ta’ala yang Dia tidak memberi nama-Nya dengan hal tersebut. Hal tersebut termasuk berdo’a dengan cara yang tidak disyariatkan. Alloh Ta’ala melarang akan hal itu dalam firman-Nya:

"Hanya milik Alloh asmaul husna maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapatkan balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan" (QS. Al A’raf: 180).

Wabillahi at-taufiq wa shalallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa alihi wa shohbihi wa sallam.

(Fatawa Lajnah Da`imah II/295 no. 3867 bagian aqidah (tashawwuf)).

Maka telah jelas bagi kita bahwa berdo’a kepada Alloh dengan “Ya anta” tidak diperbolehkan dan hal tersebut termasuk ilhad dalam asma Alloh serta merupakan metode yang salah dalam berdo’a karena tidak sesuai dengan syari’at Alloh Ta’ala.

Tapi mungkin ada yang menyanggah hal ini, dia akan berkata kenapa kalian berburuk sangka dengan Syaikh DR ‘Aidh? Mungkin saja dia tidak memaksudkan dengan kata-katanya (ya Anta) itu Alloh pencipta alam semesta. Tapi beliau memaksudkan Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Salam !!!!

Sanggahan di atas tidaklah benar karena konteks ucapannya berkaitan erat dengan seruan atau do’anya kepada Alloh. Dia sebelum menyebutkan bait syair diatas dia berkata: "Maha suci Engkau, aku akui segala dosa dan kesalahanku di hadapanmu" dan dia juga menyebutkan setelah bait syair tersebut "Ya Rabbi, Ya Hayyu Ya Qoyyum Ya Lathif….." semuanya menunjukkan bahwa dia berdo’a kepada Alloh.

Walaupun jika kita terima bahwa dia memaksudkan Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Salam (dengan ucapannya: Ya anta) maka hal ini juga tidak dibenarkan karena Alloh Ta’ala melarang para sahabat yang mulia Shollallohu ‘alaihi wa Salam untuk memanggil Rasulullah dengan namanya langsung.

Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

لا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنْكُمْ لِوَاذًا فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

"Janganlah kamu jadikan panggilan Rosul diantara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian yang lain. Sesungguhnya Alloh telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi diantara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan di timpa cobaan atau di timpa adzab yang pedih" (QS. An Nuur: 63)

Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhu berkata tentang tafsir ayat di atas:

"Mereka dahulu mengatakan: wahai Muhammad, Ya Abal Qosim, maka Allah pun melarang mereka untuk memanggil dengan hal tersebut demi untuk menghormati Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Salam"

Qotadah rohimahullohu berkata:

"(Hal ini) demi untuk menghormati, memuliakan dan mengagungkan Nabi-Nya Shollallohu ‘alaihi wa Salam"
(Tafsir Ibnu Katsir III/337).

Apapun yang DR. Aidh maksudkan dalam do’anya itu, tetap dia salah akan tetapi kalau maksudnya Alloh maka lebih parah.

Demikian pernyataan Asy Syaikh Abul Munzir Ahmad bin Jaelan tentang jati diri Aidh Al Qarni.


Dr. Aidh bin Abdullah Al Qarni seorang Mubtadi ?!

Disebutkan pula oleh seorang ulama besar dari negeri Bahrain, Syaikh Fauzi Al Atsary hafizahullohu, beliau ditanya,

“Siapakah Aidh Al Qarni dan apakah diperbolehkan mendengarkan kasetnya?”

Syaikh hafizahullohu menjawab:
“Seseorang tidaklah seharusnya mendengarkan orang ini dan orang yang semacamnya. Dia ini dari Ahlul Bid’ah, Quthubiyyun dan dia adalah seorang Sufi. Pernyataan-pernyataannya bersesuaian dengan Sufiyyah. Dia menyeru kepada Quthubiyyah dan politik. Dia berbicara buruk tentang Ulama. Dia memiliki kaset rekaman di mana dia berkata bahwa Ulama tidak keluar dalam jihad, dan bahwasanya mereka tidak memberikan fatwa tentang jihad dan banyak kebohongan lainnya tentang Ulama. Maka tidak diperbolehkan mendengarkan kaset-kasetnya.”
(Sumber: “Kaset Ushul Da’wah Salafiyyah”).

Pernyataan ini sekaligus sebagai penegasan bahwa Dr. Aidh bin Abdullah Al Qarni memang memiliki pemikiran yang menyimpang dari Manhaj as-Salaf ash-Sholih. Sebagaimana yang telah kami uraikan sebelumnya, baik dalam buku “La Tahzan” maupun kaset ceramahnya “Amma Ba’du” bahwasannya pemikiran beliau sangatlah jauh dari Manhaj Salaf bahkan yang lebih menonjol adalah penyimpangannya. Demikian pula dengan sikap “plin plan” nya yang menunjukkan bahwa orang ini tidak memiliki sikap sebagaimana yang dimiliki oleh Para Salaf, yakni sikap tegas dalam menyatakan suatu perbuatan apakah ia menyimpang atau tidak sebagai bagian dari Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Allohu A’lam.





Maraji/Daftar Pustaka
--------------
*
Abu Salma Al Atsary. 2008. Himpunan Risalah Ilmiah. Maktabah Abu Salma Al Atsary – Surabaya (http://abusalma.co.cc).
*
Catur Rohman. 2008. Menyikap Hakikat Da’i Kondang. Blog Dunia Keluarga: Yakinlah Kita Bisa.. Karena Allah Bersama Kita – Surabaya. (http://rohmansyabab.blogspot.com/2008/03/menyikap-hakekat-dai-kondang.html).
*
Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al Hilaly. 2002. Mengapa Memilih Manhaj Salaf? Studi Kritis Problematika Umat. Pustaka Imam Bukhari – Solo.
*
Syaikh Fauzi Al Atsary. 2004. Fatwa Tentang Kesesatan Aidh Al Qarni (penerjemah: Tim Salafy.or.id, muraj’ah: Al Ustadz Abu Hamzah). (http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=508).
*
Syaikh Muhammad As Suhaibani. 2007. Pengagungan Terhadap Sunnah (terjemahan kitab Ta’zhimus Sunnah, penerjemah: Abu Abdillah Ahmad). Maktabah Abu Salma – Surabaya (http://abusalma.co.cc).
READ MORE - Buku "LA TAHZAN" & Dr. Aidh Al Qarni dalam sorotan Ulama Ahlus sunnah

MENGUSAP WAJAH SESUDAH BERDOA

Oleh : Ismail bin Marsyud bin Ibrahim Ar-Rumaih


Sebagian orang sesudah berdoa mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya, padahal tidak ada hadits satupun yang shahih yang membenarkan perbuatan tersebut. Yang paling baik adalah mengikuti sunnah Rasul dan yang paling buruk adalah segala tindakan menentang sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Seorang yang berdoa hendaknya tidak mengusapkan kedua telapak tangan sesudah berdoa, sebab tanpa itu dia akan mendapat pahala.

Abu Daud berkata bahwa saya mendengar Imam Ahmad ditanya oleh salah seorang tentang hukum mengusap wajah sesudah berdoa, maka beliau menjawab : "Saya tidak pernah mendengar itu dan saya tidak pernah mendapatkan sesuatu tentang itu. Abu Daud berkata : Saya tidak pernah melihat Imam Ahmad mengerjakan hal itu." [Abu Daud dalam Masail Imam Ahmad hal.71]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata bahwa mengangkat tangan pada saat berdoa adalah sunnah berdasarkan hadits-hadits yang sangat banyak, tetapi tentang mengusap wajah dengan kedua telapak tangan tidak saya temukan kecuali satu atau dua hadits, itupun tidak bisa dipakai sebagai dasar amalan tersebut karena lemah.[Majmu Fatawa 22/519]

Syaikh Al-Izz bin Abdussalam berkata bahwa tidaklah mengusap wajah dengan kedua telapak tangan sesudah berdoa kecuali orang-orang bodoh saja. [Fatawa Izz bin Abdussalam]

__________________________
______________________

MENGANGKAT KEDUA TANGAN PADA SAAT KHUTBAH JUM'AT


Pertanyaan.
Syaikh Abddul Aziz bin Baz ditanya : "Apa hukumnya mengangkat kedua tangan bagi makmum tatkala mengamini doa imam pada waktu khutbah Jum'at. Dan apa hukumnya mengeraskan ucapan amin ?"

Jawaban.
Tidak ada anjuran baik bagi imam maupun bagi makmum untuk mengangkat tangan tatkala berdo'a pada waktu khutbah jum'at sebab Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Khulafaurrasyidun tidak melakukan hal tersebut.

Akan tetapi jika berdoa istisqa' dalam khutbah Jum'at, maka dianjurkan bagi imam dan makmum untuk mengangkat tangan pada waktu berdoa istisqa', karena pada waktu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca do'a istisqa', beliau mengangkat tangannya dan juga para jama'ah bersama beliau.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu" [Al-Ahzab : 21]

Dibolehkan membaca amin bagi makmum pada waktu mendengar doa imam pada saat khutbah Jum'at asalkan tanpa mengeraskan suara.

[Fatawa Islamiyah 1/427]



[Disalin dari buku Jahalatun Nas Fid Du'a edisi Indonesia Kesalahan Dalam Berdo'a hal. 75-76 & 81-82 ul Haq]
__________________________________

SALAH KAPRAH DALAM BERAGAMA

Oleh : Muhammad bin Jamul Zainu

Alkisah pada masa lampau, setiap kali jama'ah haji dari Indonesia dan melayu pada umumnya, sedang dalam perjalanan antara Makkah dan Madinah, bilamana tiba waktu shalat, mereka melakukan shalat bersama kafilah di padang pasir. Biasanya, sang imam shalat, yang tidak lain adalah pemilik hewan-hewan kendaraan dalam kafilah tersebut, setelah salam, mengusap debu yang menempel di dahinya. Lalu para jamaah pun melakukan hal yang sama dan menjadikan kebiasaan yang terus dipelihara hingga kepulangan mereka ke tanah air.

Maka tidak heran jika kita perhatikan, seringkali kita jumpai orang yang mengusap wajahnya tepat setelah selesai salam dalam shalat. Namun jika kita tanya, apa yang menjadi landasan mereka dalam mengusap wajah setelah salam tersebut, kiranya akan di jawab bahwa demikianlah yang ia jumpai sehari-hari yang dilakukan banyak orang, lalu iapun melakukan hal yang sama.

[Disalin dari Muqaddimah buku "Salah Kaprah Dalam Beragama menurut Al Qur'an dan As Sunnah", oleh Muhammad Bin Jamil Zainu, Griya Ilmu Jakarta]
READ MORE - MENGUSAP WAJAH SESUDAH BERDOA

Bid'ah-kah ucapan "Shadaqallahul "Adzhiim"?


Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : "Bagaimanakah
pendapat Anda orang yang mengakhiri bacaan Al-Qur'an dengan
(ucapan)'Shadaqallahul 'Adzhiim?' Apakah kalimat ini ada dasarnya
dalam syari'at ? Dan apakah orang yang mengucapkannya boleh
dikatakan sebagai seorang ahli bid'ah ?"

Jawaban.
Kami tidak ragu, bahwa kebiasaan ini
mengucapkan 'Shadaqallahul 'Adzim setelah membaca Al-Qur'an) adalah
termasuk bid'ah yang diada-adakan,yang tidak terdapat pada masa As-
Salafus Shalih.

Dan patut diperhatikan bahwa bid'ah dalam agama itu tidak boleh ada.
Karena bid'ah pada asalnya tidak dikenal (diketahui). Walaupun
bid'ah itu kadang-kadang diterima di masyarakat dan dianggap baik,
tetapi dia tetap dinamakan bid'ah yang sesat.

Sebagaimana diisyaratkan oleh Abdullah bin Umar.
"Artinya : Setiap bid'ah adalah sesat, meski manusia memandangnya
baik".

Ucapan : "Shadaqallahul 'Adzhiim (Benarlah apa yang difirmankan
Allah Yang Maha Agung) adalah suatu ungkapan yang indah dan tepat,

sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan siapakah yang lebih benar perkataan-Nya daripada
Allah?" [An-Nisaa : 122]

Akan tetapi jika setiap kali kita membaca sepuluh ayat kemudian
diikuti dengan membaca Shadaqallahul Adzhiim, saya kuatir suatu hari
nanti bacaan Shadaqallahul Adzhiim setelah membaca ayat-ayat Al-
Qur'an menjadi seperti bacaan shalawat setelah adzan.

Sebagian lain dari mereka mensyariatkan bacaan ini berdasarkan
firman Allah Subahanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Katakanlah ; Shadaqallah (Benarlah apa yang difirmankan
Allah)" [Ali Imran : 95]

Mereka ini adalah seperti orang-orang yang membolehkan dzikir dengan
membaca : Allah... Allah .... Allah [1], dengan (dalil) firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Katakanlah : Allah ...." [Ar-Ra'd : 16]
Maka firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : "Katakanlah : Benarlah (apa
yang difirmankan) Allah" tidak bisa dijadikan dalil tentang bolehnya
mengucapkan 'Shadaqallahul Adzhiim setelah selesai membaca Al-Qur'an.

[Fatwa-Fatwa Albani, hal 37-38, Pustaka At-Tauhid]

--------------------------
------------------------------------------------------------------
[Bimbingan Islam untuk Pribadi dan Masyarakat, Syaikh Muhammad bin
Jamil
Zainu, Darul Haq Jakarta, hal. 114-116]
1. Para qari' biasa mengucapkan kalimat di atas setelah membaca
Al-Qur'an, padahal ini tidak berasal dari Rasulullah
shalallahu 'Alaihi Wasallam.

2. Membaca Al-Qur'an adalah ibadah, maka tidak boleh ditambah-
tambahi.
Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
"Barangsiapa mengada-adakan dalam agama kita (suatu amalan) yang
bukan berasal darinya, maka ia ditolak." (Muttafaq 'Alaih)

3. Apa yang mereka lakukan itu tidak ada dalilnya, baik dari Al-
Qur'an, Sunnah Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam ataupun amalan
para shahabat, ia adalah bid'ah orang-orang yang datang kemudian.

4. Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam mendengarkan bacaan Al-
Qur'an dari Ibnu Mas'ud, tatkala sampai pada firman Allah surat An-
Nisaa: 41:
Beliau bersabda: "Cukuplah." (HR. Al-Bukhari)
Jadi, beliau tidak mengucapkan "Shadaqallahul 'Azhiem," dan juga
tidak memerintahkannya.

5. Orang yang tidak mengerti dan anak-anak kecil mengira bahwa bacaan
tersebut adalah salah satu ayat Al-Qur'an, maka mereka membacanya di
dalam dan di luar shalat. Ini tidak boleh, karena bacaan tadi
bukanlah ayat Al-Qur'an. Apalagi, kadang-kadang, ditulis di akhir
surat dengan kaligrafi Mushaf.

6. Syaikh Abdul Aziz bin Baz, ketika ditanya tentang bacaan tersebut,
beliau menegaskan bahwa hal itu adalah bid'ah.

7. Adapun firman Allah Ta'ala:
"Katakanlah: 'Benarlah (apa yang difirmankan) Allah'. Maka ikutilah
agama Ibrahim yang lurus..." (Ali Imran: 95)

Maka ayat ini merupakan bantahan terhadap orang-orang Yahudi yang
berdusta, berdasarkan ayat sebelumnya:
"Maka barangsiapa mengada-adakan dusta terhadap Allah..."
(Ali 'Imran: 94)

Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam pun telah mengetahui ayat ini,
meski demikian beliau tidak mengucapkan hal tersebut setelah membaca
Al-Qur'an. Begitu pula para shahabat dan para As-Salafush Shalih.

8. Bid'ah ini sesungguhnya mematikan sunnah, yaitu do'a setelah
membaca Al-Qur'an, berdasarkan sabda Nabi Shalallahu 'Alaihi
Wasallam:

"Barangsiapa membaca Al-Qur'an, hendaklah ia meminta kepada Allah
dengan (bacaan)nya itu." (HR. At-Tirmidzi, hasan).

9. Bagi qari' hendaklah dia berdo'a kepada Allah sesuka hatinya
setelah membaca Al-Qur'an, dan bertawasswul kepada Allah dengan yang
dibacanya itu. Karena hal itu termasuk amal shalih yang menjadi
sebab dikabulkannya do'a. dan sebaiknya membaca do'a berikut ini:
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: "Apabila seorang
hamba ditimpa kesulitan dan kesedihan, lalu berdo'a:
'Ya Allah, sungguh aku adalah hambaMu, anak hambaMu yang laki-laki
dan anak hambaMu yang perempuan. Ubun-ubunku berada di TanganMu.
Pasti terjadi keputusanMu pada diriku dan adillah ketentuanMu pada
diriku. Aku memohon kepadaMu dengan segala Asma' milikMu, yang
Engkau sebutkan untuk diriMu, atau Engkau turunkan dalam kitabMu,
atau Engkau ajarkan kepada salah seorang makhlukMu, atau masih dalam
perkara ghaib yang hanya Engkau sendiri yang mengetahui. Jadikanlah
Al-Qur'an penyejuk hatiku, cahaya penglihatanku, pembebas
kesedihanku dan pengusir kegelisahanku. Tiada lain, Allah pasti akan
menghilangkan kesulitan dan kesedihannya, dan menggantikannya dengan
kemudahan." (HR. Ahmad, shahih)

Semoga Allah senantiasa mengokohkan kita diatas Al Kitab dan Sunnah dan Istiqomah diatasnya. Wal ilmu indallah.
READ MORE - Bid'ah-kah ucapan "Shadaqallahul "Adzhiim"?