BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Januari 06, 2010

APA HUKUMNYA MENCIUM MUSHAF AL-QUR'AN YANG SERING DILAKUKAN SEBAGIAN KAUM MUSLIMIN ?

Oleh : Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani


Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : Apa hukumnya mencium mushaf Al-Qur'an yang sering dilakukan oleh sebagian kaum muslimin ?

Jawaban.
Kami yakin perbuatan seperti ini masuk dalam keumuman hadits-hadits tentang bid'ah. Diantaranya hadits yang sangat terkenal.

"Hati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara (ibadah) yang diada-adakan, sebab semua ibadah yang diada-adakan (yang tidak ada contohnya dari Rasul) adalah bid'ah, dan semua bid'ah adalah sesat" [Shahih Targhib wa Tarhib 1/92/34]

Dalam hadits lain disebutkan.

"Dan semua yang sesat tempatnya di neraka" [Shalat Tarawih hal. 75]

Banyak orang yang berpendapat bahwa mencium mushaf adalah merupakan perbuatan yang bertujuan untuk menghormati dan memuliakan Al-Qur'an. Betul ...!, kami sependapat bahwa itu sebagai penghormatan terhadap Al-Qur'an. Tapi yang menjadi masalah : Apakah penghormatan terhadap Al-Qur'an dengan cara seperti itu dibenarkan .?

Seandainya mencium mushaf itu baik dan benar, tentu sudah dilakukan oleh orang yang paling tahu tentang kebaikan dan kebenaran, yaitu Rasulullah ? dan para sahabat, sebagaimana kaidah yang dipegang oleh para ulama salaf.

"Seandainya suatu perkara itu baik, niscaya mereka (para sahabat Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam) telah lebih dulu melakukannya" [Ibnu Katsir, Tafsir Surat An Najm 38-39]
Itulah patokan kami.

Pandangan berikutnya adalah, "Apakah hukum asal mencium mushaf itu boleh atau dilarang?" Ada sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim yang sangat pantas untuk kita renungkan. Dari hadits ini insya Allah kita bisa tahu betapa kaum muslimin hari ini sangat jauh berbeda dengan para pendahulu mereka (salafush shalih) dalam hal memahami agama dan dalam menyikapi perkara-perkara ibadah yang tidak dicontohkan oleh Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Hadits tersebut diriwayatkan oleh 'Abis bin Rabi'ah, dia berkata : "Aku melihat Umar bin Kahthtab Radhiyallahu ;anhu mencium Hajar Aswad dan berkata.

"Sungguh aku tahu engkau adalah batu yang tidak bisa memberi mudharat dan tidak bisa memberi manfaat. Kalau bukan karena aku melihat Rasulullah mencium engkau, maka aku tidak akan menciummu" [Shahih Targhib wa Tarhib 1/94/41]

Disebutkan dalam hadits lain bahwa.

"Hajar Aswad adalah batu dari surga" [Shahihul Jaami' No. 3174]

Yang jadi masalah ... kenapa Umar Radhiyallahu anhu mencium Hajar Aswad ? Apakah karena Hajar Aswad tersebut berasal dari tempat yang mulia yaitu surga ? Ternyata tidak, Umar mencium batu tersebut bukan karena kemuliaan batu tersebut dan bukan karena menghormatinya tetapi Umar mencium karena dia mengikuti sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam (Lihatlah .... betapa Umar Radhiyallahu 'anhu lebih mendahulukan dalil dengan mencontoh kepada Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam daripada mendahulukan akalnya. Dan demikian sifat dan sikap semua para sahabat, -pent-).

Lalu sekarang ... bolehkan kita mencium mushaf Al-Qur'an dengan alasan untuk menghormati dan memuliakan-Nya sementara tidak ada dalil bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat mencium mushaf ? Kalau cara beragama kita mengikuti para sahabat, tentu kita tidak akan mau mencium mushaf itu karena perbuatan tersebut tidak ada dalilnya (tidak ada contoh dari Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam). Tapi kalau cara beragama kita mengikuti selera dan akal kita serta hawa nafsu, maka kita akan berani melakukan apa saja yang penting masuk akal.

Contoh kedua adalah ketika Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu 'anhuma bersepakat untuk mengumpulkan Al-Qur'an dalam satu mushaf. Lalu mereka berdua menyerahkan tugas ini kepada Zaid bin Tsabit. Bagaimana komentar dan sikap Zaid ? Dia berkata, "Bagaimana kalian akan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ?" Begitulah para sahabat semuanya selalu melihat contoh dari Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam semua urusan agama mereka. Sayang sekali semangat seperti ini tidak dimiliki oleh sebagian besar kaum muslimin hari ini.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang paling berhak dan paling tahu bagaimana cara memuliakan Al-Qur'an. Tapi beliau tak pernah mencium Al-Qur'an. Sebagian orang jahil mengatakan, "Kenapa mencium mushaf tidak boleh dengan alasan tidak ada contoh dari Rasul? Kalau begitu kita tidak boleh naik mobil, naik pesawat, dan lain-lain, karena tidak ada contohnya dari Rasul ...?"

Ketahuilah bahwa bid'ah yang sesat (yang tidak ada contohnya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) hanya ada dalam masalah agama. Adapun masalah dunia, hukum asalnya semuanya mubah (boleh), kecuali yang dilarang oleh Allah dan Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam.(Mobil, pesawat, telepon, komputer dll adalah masalah dunia, bukanlah termasuk bid'ah dalam perkara agama yang dilarang -pent)

Maka seorang yang naik pesawat dalam rangka menunaikan ibadah haji ke Baitullah adalah boleh, walaupun naik pesawat untuk pergi haji itu belum pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yang tidak boleh adalah naik pesawat untuk pergi haji ke Negeri Barat. Ini jelas bid'ah, karena haji itu masalah agama yang harus mencontoh Rasul Shallallahu 'alahi wa sallam di dalam pelaksanaannya, yaitu dilaksanakan di Makkah dan tidak boleh di tempat lain.

Maka perkara ibadah adalah semua perkara yang dilakukan dengan tujuan ber-taqarrub (mendekatkan diri ) kepada Allah dan kita tidak boleh ber-taqarrub kepada Allah kecuali dengan sesuatu yang telah disyariatkan oleh Allah.

Untuk memahami dan menguatkan hadits, "Setiap bid'ah adalah sesat", ada sebuah kaidah yang datang dari para ulama salaf.

"Jika bid'ah sudah merajalela, maka sunnah pasti akan mati"

Dengan mata kepala saya sendiri saya melihat dan merasakan kebenaran kaidah tersebut, katika bid'ah-bid'ah sudah banyak dilakukan orang dalam berbagai macam keadaan.

Orang-orang yang berilmu dan mempunyai banyak keutamaan tidak pernah mencium mushaf ketika mereka mengambilnya untuk dibaca, padahal mereka adalah orang-orang yang selalu mengamalkan isi Al-Qur'an. Sementara orang-orang awam yang kerjanya mencium mushaf, hampir semua dari mereka adalah orang-orang yang perilakunya jauh dan menyimpang dari isi Al-Qur'an.

Demikianlah orang-orang yang melaksanakan sunnah, dia akan jauh dari bid'ah. Sebaliknya orang-orang yang melakukan bid'ah, dia pasti akan jauh dari sunnah. Maka tepat sekali kaidah di atas : "Jika bid'ah sudah merajalela, sunnah pasti akan mati".

Ada contoh lain lagi. Di beberapa tempat, banyak orang yang sengaja berdiri ketika mereka mendengar adzan.Padahal di antara mereka ini adalah orang-orang fasik yang selalu berbuat maksiat.

Ketika mereka ditanya : "Kenapa Anda berdiri ?" Jawab mereka : "Untuk mengagungkan Allah". Begitulah cara mereka mengagungkan Allah dengan cara yang salah, kemudian setelah itu mereka tidak pergi ke masjid untuk shalat berjama'ah tetapi malah kembali bermain kartu atau catur, dan mereka merasa telah mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Dari mana ceritanya sampai mereka berbuat demikian? Jawabannya adalah dari sebuah hadits plasu, bahkan hadits yang tidak ada asal-usulnya, yaitu.

"Jika kalian mendengar adzan, maka berdirilah" [Hadits Dha'if dalam Adh-Dhaifah No. 711]

Sebetulnya hadits tersebut ada asalnya, tetapi isinya telah diubah oleh sebagian rawi (periwayat) pembohong dan rawi-rawi yang lemah hapalannya. Kata "berdirilah" dalam hadits tersebut sebenarnya aslinya adalah "ucapkanlah".

Jadi yang sebenarnya hadits tersebut berbunya.

"Jika kalian mendengar adzan, maka ucapkanlah (seperti lafadz adzan tersebut)" [Shahih Muslim No. 184]

Demikialah, syetan menjadikan bid'ah itu indah dan baik di mata manusia. Dengan melakukan bid'ah-bid'ah tersebut, orang-orang merasa telah menjadi seorang mukmin yang mengagungkan syiar-syiar Allah, dengan cara mencium mushaf atau berdiri ketika mendengar adzan.

Akan tetapi kenyataannya mereka adalah orang-orang yang pengamalannya jauh dari Al-Qur'an. Kebanyakan mereka adalah orang-orang yang meninggalkan shalat. Kalau toh di antara mereka ada yang shalat, mereka masih makan barang haram, makan hasil riba atau memberi nafkah (keluarganya) dari hasil riba, atau menjadi perantara riba, dan perbuatan lain yang berbau maksiat.

Oleh karena itu tidak boleh tidak, kita harus membatasi diri kita dalam ketaatan dan peribadatan kepada Allah hanya dengan sesuatu yang telah disyariatkan oleh Allah. Jangan kita tambah-tambah syariat Allah tersebut, walaupun satu huruf. Sebab Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda.

"Apapun yang Allah perintahkan kepada kalian, semuanya telah aku sampaikan. Dan apapun yang Allah larang, semuanya telah aku sampaikan" [Ash-Shahihah No. 1803]

Coba tanyakan kepada orang-orang yang suka mencium mushaf dan suka berdiri ketika mendengar adzan : "Apakah anda lakukan semua ini dalam rangka beribadah untuk ber-taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah)?" Kalau mereka bilang : "Ya" Maka katakan kepada mereka : Tunjukkan kepada kami dalil dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam!" Kalau mereka tidak bisa menunjukkan dalil, maka katakan bahwa perbuatan itu adalah bid'ah, dan semua bid'ah adalah sesat, dan semua sesat pasti di neraka.

Mungkin diantara kita ada yang mengatakan bahwa hal ini adalah masalah yang sangat ringan dan sepele. Pantaskah masalah sekecil ini dikatakan sesat dan pelakunya akan masuk neraka ?"

“Sesungguhnya Syetan telah berputus asa untuk disembah dinegri kalian, tetapi ia senang ditaati menyangkut hal selain itu diantara amal perbuatan yang kalian anggap sepele, maka berhati-hatilah. Sesungguhnya aku telah meninggalkan/mewariskan pada kalian apa2 yang jika kalian berpegang teguh padanya, maka kalian tidak akan sesat selamanya, yaitu kitab Allah dan Sunnah NabiNya” (HASAN SHAHIH, riwayat Bukhari, Muslim, Al Hakim, Adz zahabi)

Kalimat yang berbau syubhat ini telah dibantah oleh Imam Syatibi : "Sekecil apapun bid'ah itu, dia tetap sesat. Jangan kita melihat bid'ah itu hanya wujud bid'ahnya saja (seperti mencium mushaf, berdiri ketika mendengar adzan, ushollii, adzan untuk mayit, dan seterusnya -pent-), tetapi mari kita lihat, mau dikemanakan perbuatan-perbuatan bid'ah yang menurut kita kecil dan sepele itu?

Ternyata perbuatan ini akan dimassukkan ke dalam sesuatu yang besar, agung, mulia dan sempurna yaitu ajaran Islam yang datangnya dari Allah dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Seolah-olah ajaran Allah dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam itu belum begitu baik dan belum begitu sempurna sehingga masih perlu diperbaiki dan disempurnakan dengan bid'ah-bid'ah tersebut. Dari sini sangat pantas kalau bid'ah itu dinilai sebagai perbuatan sesat.



[Disalin kitab Kaifa Yajibu 'Alaina Annufasirral Qur'anal Karim, edisi Indonesia Tanya Jawab Dalam Memahami Isi Al-Qur'an, Penulis Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, terbitan Pustaka At-Tauhid, penerjemah Abu Abdul Aziz]


READ MORE - APA HUKUMNYA MENCIUM MUSHAF AL-QUR'AN YANG SERING DILAKUKAN SEBAGIAN KAUM MUSLIMIN ?

TAHLILAN DALAM TIMBANGAN ISLAM


Oleh : Kajian Islam Assunnah

Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Qur’an dan mengutus Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai penjelas dan pembimbing untuk memahami Al Qur’an tersebut sehingga menjadi petunjuk bagi umat manusia. Semoga Allah subhanahu wata’ala mencurahkan hidayah dan inayah-Nya kepada kita semua, sehingga dapat membuka mata hati kita untuk senantiasa menerima kebenaran hakiki.

Telah kita maklumi bersama bahwa acara tahlilan merupakan upacara ritual seremonial yang biasa dilakukan oleh keumuman masyarakat Indonesia untuk memperingati hari kematian. Secara bersama-sama, berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta masyarakat sekitarnya, membaca beberapa ayat Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan disertai do’a-do’a tertentu untuk dikirimkan kepada si mayit. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan kali bahkan ada yang sampai ribuan kali), maka acara tersebut dikenal dengan istilah “Tahlilan”.

Acara ini biasanya diselenggarakan setelah selesai proses penguburan (terkadang dilakukan sebelum penguburan mayit), kemudian terus berlangsung setiap hari sampai hari ketujuh. Lalu diselenggarakan kembali pada hari ke 40 dan ke 100. Untuk selanjutnya acara tersebut diadakan tiap tahun dari hari kematian si mayit, walaupun terkadang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya.

Tidak lepas pula dalam acara tersebut penjamuan yang disajikan pada tiap kali acara diselenggarakan. Model penyajian hidangan biasanya selalu variatif, tergantung adat yang berjalan di tempat tersebut. Namun pada dasarnya menu hidangan “lebih dari sekedarnya” cenderung mirip menu hidangan yang berbau kemeriahan. Sehingga acara tersebut terkesan pesta kecil-kecilan, memang demikianlah kenyataannya.

Entah telah berapa abad lamanya acara tersebut diselenggarakan, hingga tanpa disadari menjadi suatu kelaziman. Konsekuensinya, bila ada yang tidak menyelenggarakan acara tersebut berarti telah menyalahi adat dan akibatnya ia diasingkan dari masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi acara tersebut telah membangun opini muatan hukum yaitu sunnah (baca: “wajib”) untuk dikerjakan dan sebaliknya, bid’ah (hal yang baru dan ajaib) apabila ditinggalkan.

Pembahasan kajian kali ini bukan dimaksudkan untuk menyerang mereka yang suka tahlilan, namun sebagai nasehat untuk kita bersama agar berpikir lebih jernih dan dewasa bahwa kita (umat Islam) memiliki pedoman baku yang telah diyakini keabsahannya yaitu Al Qur’an dan As Sunnah.

Sebenarnya acara tahlilan semacam ini telah lama menjadi pro dan kontra di kalangan umat Islam. Sebagai muslim sejati yang selalu mengedepankan kebenaran, semua pro dan kontra harus dikembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Sikap seperti inilah yang sepatutnya dimiliki oleh setiap insan muslim yang benar-benar beriman kepada Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Bukankah Allah subhanahu wata’ala telah berfirman (artinya):
“Maka jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Ar Rasul (As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya.” (An Nisaa’: 59)

Historis Upacara Tahlilan
Para pembaca, kalau kita buka catatan sejarah Islam, maka acara ritual tahlilan tidak dijumpai di masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, di masa para sahabatnya ? dan para Tabi’in maupun Tabi’ut tabi’in. Bahkan acara tersebut tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah seperti Al Imam Malik, Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, dan ulama lainnya yang semasa dengan mereka ataupun sesudah mereka. Lalu dari mana sejarah munculnya acara tahlilan?
Awal mula acara tersebut berasal dari upacara peribadatan (baca: selamatan) nenek moyang bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama Hindu dan Budha. Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendo’akan orang yang telah meninggalkan dunia yang diselenggarakan pada waktu seperti halnya waktu tahlilan. Namun acara tahlilan secara praktis di lapangan berbeda dengan prosesi selamatan agama lain yaitu dengan cara mengganti dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala agama lain dengan bacaan dari Al Qur’an, maupun dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala Islam menurut mereka.
Dari aspek historis ini kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya acara tahlilan merupakan adopsi (pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) dengan agama lain.

Tahlilan Dalam Kaca Mata Islam
Acara tahlilan –paling tidak– terfokus pada dua acara yang paling penting yaitu:

Pertama: Pembacaan beberapa ayat/ surat Al Qur’an, dzikir-dzikir dan disertai dengan do’a-do’a tertentu yang ditujukan dan dihadiahkan kepada si mayit.

Kedua: Penyajian hidangan makanan.
Dua hal di atas perlu ditinjau kembali dalam kaca mata Islam, walaupun secara historis acara tahlilan bukan berasal dari ajaran Islam.
Pada dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan, mereka tiada memiliki argumentasi (dalih) melainkan satu dalih saja yaitu istihsan (menganggap baiknya suatu amalan) dengan dalil-dalil yang umum sifatnya. Mereka berdalil dengan keumuman ayat atau hadits yang menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir ataupun berdoa dan menganjurkan pula untuk memuliakan tamu dengan menyajikan hidangan dengan niatan shadaqah.

1. Bacaan Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a yang ditujukan/ dihadiahkan kepada si mayit.
Memang benar Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir dan berdoa. Namun apakah pelaksanaan membaca Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a diatur sesuai kehendak pribadi dengan menentukan cara, waktu dan jumlah tertentu (yang diistilahkan dengan acara tahlilan) tanpa merujuk praktek dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya bisa dibenarakan?
Kesempurnaan agama Islam merupakan kesepakatan umat Islam semuanya, karena memang telah dinyatakan oleh Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Islam bagi kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian serta Aku ridha Islam menjadi agama kalian.” (Al Maidah: 3)

Berkata Abu Dzar: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Tidak tertinggal sesuatupun yang mendekatkan (kamu) kesurga dan menjauhkan (kamu) dari neraka, melainkan sesungguhnya telah dijelaskan kepada kamu.” (SHAHIH, HR Imam Ath Thobroni di kitab nya al Mu’jamul Kabir. (2/166 no. 1647)

Ayat dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu bahwa Islam telah sempurna, tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah, baik perkataan maupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Suatu ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mendengar berita tentang pernyataan tiga orang, yang pertama menyatakan: “Saya akan shalat tahajjud dan tidak akan tidur malam”, yang kedua menyatakan: “Saya akan bershaum (puasa) dan tidak akan berbuka”, yang terakhir menyatakan: “Saya tidak akan menikah”, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menegur mereka, seraya berkata: “Apa urusan mereka dengan menyatakan seperti itu? Padahal saya bershaum dan saya pun berbuka, saya shalat dan saya pula tidur, dan saya menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku maka bukanlah golonganku.” (Muttafaqun alaihi)

Ibnu Katsir dalam Tafsirnya (I/231) berkata :"Sesungguhnya amal yang diterima harus memenuhi dua syarat. Pertama, ikhlas karena Allah. Kedua, benar dan sesuai syari'at. Jika dilakukan dengan ikhlas, tetapi tidak benar, maka ia tidak diterima"

Allah subhanahu wata’ala menyatakan dalam Al Qur’an (artinya):
“Dialah Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji siapa diantara kalian yang paling baik amalnya.” (Al Mulk: 2)

Para ulama ahli tafsir menjelaskan makna “yang paling baik amalnya” ialah yang paling ikhlash dan yang paling mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Tidak ada seorang pun yang menyatakan shalat itu jelek atau shaum (puasa) itu jelek, bahkan keduanya merupakan ibadah mulia bila dikerjakan sesuai tuntunan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Atas dasar ini, beramal dengan dalih niat baik (istihsan) semata -seperti peristiwa tiga orang didalam hadits tersebut- tanpa mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka amalan tersebut tertolak. Simaklah firman Allah subhanahu wata’ala (artinya): “Maukah Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya”. (Al Kahfi: 103-104)

Lebih ditegaskan lagi dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barang siapa yang beramal bukan diatas petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak.” (Muttafaqun alaihi, dari lafazh Muslim)
Atas dasar ini pula lahirlah sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi:

“Hukum asal dari suatu ibadah adalah haram, hingga terdapat dalil (argumen) yang memerintahkannya.”

Maka beribadah dengan dalil istihsan semata tidaklah dibenarkan dalam agama. Karena tidaklah suatu perkara itu teranggap baik melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya baik dan tidaklah suatu perkara itu teranggap jelek melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya jelek.
Lebih menukik lagi pernyataan dari Al Imam Asy Syafi’I:

“Barang siapa yang menganggap baik suatu amalan (padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah –pent) berarti dirinya telah menciptakan hukum syara’ (syari’at) sendiri”.

Kalau kita mau mengkaji lebih dalam madzhab Al Imam Asy Syafi’i tentang hukum bacaan Al Qur’an yang dihadiahkan kepada si mayit, beliau diantara ulama yang menyatakan bahwa pahala bacaan Al Qur’an tidak akan sampai kepada si mayit. Beliau berdalil dengan firman Allah subhanahu wata’ala (artinya):
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh (pahala) selain apa yang telah diusahakannya”. (An Najm: 39), (Lihat tafsir Ibnu Katsir 4/329).

2. Penyajian hidangan makanan.
Memang secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan perkara yang terpuji bahkan dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik untuk sajian tamu undangan tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya radhiallahu ‘anhum. Jarir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu–salah seorang sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam– berkata: “Kami menganggap/ memandang kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit).” [SHAHIH.HR Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya)

Sehingga acara berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan hidangan dari keluarga mayit termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama menurut pendapat para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para ulama salaf. Lihatlah bagaimana fatwa salah seorang ulama salaf yaitu Al Imam Asy Syafi’i dalam masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al Imam Asy Syafi’i, karena mayoritas kaum muslimin di Indonesia mengaku bermadzhab Syafi’i. Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu ‘Al Umm’ (1/248): “Aku membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit –pent) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka.” (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211)

Al Imam An Nawawi seorang imam besar dari madzhab Asy Syafi’i setelah menyebutkan perkataan Asy Syafi’i diatas didalam kitabnya Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab 5/279 berkata: “Ini adalah lafadz baliau dalam kitab Al Um, dan inilah yang diikuti oleh murid-murid beliau. Adapun pengarang kitab Al Muhadzdzab (Asy Syirazi) dan lainnya berargumentasi dengan argumen lain yaitu bahwa perbuatan tersebut merupakan perkara yang diada-adakan dalam agama (bid’ah –pent).

Lalu apakah pantas acara tahlilan tersebut dinisbahkan kepada madzhab Al Imam Asy Syafi’i?

Malah yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit yang menghidangkan makanan untuk keluarga mayit, supaya meringankan beban yang mereka alami. Sebagaimana bimbingan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadistnya:

“Hidangkanlah makanan buat keluarga Ja’far, Karena telah datang perkara (kematian-pent) yang menyibukkan mereka.” ([SHAHIH. HR Abu Dawud, At Tirmidzi dan lainnya)
Mudah-mudahan pembahasan ini bisa memberikan penerangan bagi semua yang menginginkan kebenaran di tengah gelapnya permasalahan. Wallahu ‘a’lam.

Sumber
http://assalafi.wordpress.com/2007/08/18/tahlilan-dalam-timbangan-islam/

READ MORE - TAHLILAN DALAM TIMBANGAN ISLAM

Buku "LA TAHZAN" & Dr. Aidh Al Qarni dalam sorotan Ulama Ahlus sunnah

Buku "LA TAHZAN" & Dr. Aidh Al Qarni dalam sorotan Ulama Ahlus sunnah

Siapakah Dr. Aidh Al Qarni

Dari Abu Hurairah rodhiyallohu ‘anhu beliau berkata, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: “Akan datang masa-masa yang menipu dimana para pendusta dibenarkan dan orang-orang yang jujur didustakan. Para pengkhianat diberi amanat dan orang yang amanah dianggap pengkhianat dan berbicara pada masa itu ruwaibidhah.” Lalu ada yang bertanya, “Siapakah Ruwaibidhah itu?” Beliau menjawab, “Orang bodoh berbicara tentang permasalahan umat.”

(HR. Ibnu Majah (no. 4036), Ahmad (2/291), Al Hakim (4/465, 466 dan 512), Al Khoraaithy (Makaarimul Akhlaaq, hal. 30), Asy Syazriy (Amaali, 2/256 dan 265))

La Tahzan Sebelum sempat pindah ke blogspot, penulis pernah menayangkan artikel tentang Biografi Dr. Aidh bin Abdullah Al Qarni, sang penulis buku best seller “La Tahzan”. Tulisan ini menjadi tulisan paling banyak dibuka dan dibaca, bahkan menjadi salah satu tulisan yang turut mendongkrak kunjungan ke blog ini. Namun dikarenakan keputusan untuk menampilkan artikel tersebut penulis sekaligus blog ini mendapat kritikan tajam dari saudara sesama Ahlus sunnah yang menyebutkan bahwa penulis telah terkena pemikiran sururi, yakni suatu pemahaman yang dinisbatkan kepada Muhammad Surur Zainal Abidin yang memiliki pemahaman takfir sebagai salah satu ajaran khawarij sehingga pemikiran sururi itu sebenarnya merupakan bagian dari ajaran khawarij itu sendiri allohu a’lam.

Dr. Aidh bin Abdullah Al Qarni dan buku “La Tahzan” (Jangan Bersedih) menjadi amat populer di masyarakat saat ini. Buku beliau telah banyak dibedah di negeri ini dan paling banyak dicari dan dibeli oleh masyarakat. Tak hanya itu, salah satu penerbit bahkan telah pula menerbitkan buku “La Tahzan for Teens” yang juga ditulis oleh beliau, namun kemasannya untuk remaja. Nama “La Tahzan” pun pernah dijadikan sebagai nama bagi sekolah darurat di Aceh ketika baru-baru saja ditimpa bencana Tsunami. Dr. Aidh bin Abdullah Al Qarni bahkan pernah datang ke negeri ini dalam sebuah event tahunan.

Dibalik popularitas dan banyaknya masyarakat yang menggandrungi sosok Aidh Al Qarni, ada beberapa catatan dan kesalahan yang tidak diketahui oleh masyarakat bahwa sosok yang digandrungi itu sebenarnya memiliki cacat dan para ulama telah memberikan catatan perihal pemikiran beliau bahkan buku “La Tahzan” yang beliau tulis.

Cacat Al Qarni dalam Kitab “La Tahzan”.

Asy Syaikh Dr. Ibrahim ar Ruhaili hafizahullohu –seorang ulama dan dosen Universitas Islam Madinah Saudi Arabia- memberikan koreksi terhadap buku “La Tahzan” yang begitu populer di masyarakat.

Terhadap buku “La Tahzan” itu Syaikh hafizahullohu menjelaskan:

“Kemudian judulnya "Laa Tahzan" (jangan bersedih), maksudnya bersedih apa ? apakah maksudnya bahwa manusia tidak boleh bersedih atas sesuatupun? Padahal kesedihan itu sendiri, terkadang memiliki alasan-alasan yang dibenarkan oleh syari’at, sehingga yang bersedih perlu bersabar dan mengharapkan pahala atas kesabarannya tersebut.

Cara berdialog dengan manusia seperti ini, "Laa Tahzan" (jangan bersedih), kemudian obatnya adalah perkataan kaum orintalis?! ini adalah bukti kedangkalan pemahamannya, seakan-akan al-Qur’an tidak cukup bagi kita dan di dalamnya ada hal yang menjadikan kita bersedih, sehingga kita perlu lari dari al-Qur’an dan as-Sunnah dan berpaling kepada perkataan kaum orientalis!! Ini sangat berbahaya.

Oknum-oknum di atas memiliki banyak kesalahan, meskipun kesalahan mereka berbeda-beda. ‘Aidh al-Qorni adalah seorang sasterawan, terkadang berbicara sesuai dengan aqidah Ahlus sunnah, dan pada kali yang lain melontarkan pendapat yang amat berbahaya, bahkan sampai kepada derajat kesyirikan serta beberapa istilah aneh. Saya pernah mendengar bait-bait syairnya, isinya dekat dengan pemikiran penganut wihdatul wujud (manunggaling kawulo gusti), sebagian baitnya mendiskreditkan para sahabat dan seterusnya dan masih banyak lagi keanehan-keanehannya1. Orang ini tidak bisa menjaga lisan dan perkataannya, dan dari dulu terkenal sebagai seorang yang mudah sekali marah.

Oleh karena itu, kita tidak boleh terpengaruh dengan orang-orang seperti ini. Jika seseorang telah memahami ilmu agama dan metode para ulama, maka dia akan mengetahui bahwa orang-orang ini bukan berada diatas jalannya para ulama. Kita juga tidak terus menerus menuduh niat-niatan manusia, akan tetapi inilah barang dagangan yang mereka tawarkan kepada manusia. Hendaklah kita berhati-hati terhadap perkataan mereka, dan kita kembali kepada perkataan para ulama yang mulia.

Perkataan Ahlus sunnah, itulah yang bermanfaat bagi manusia. Allah telah mencukupkan kita dengan al-Qur’an dan as-Sunnah dari perkataan makhluk, akan tetapi perkataan para ulama yang mendekatkan pemahaman kita terhadap ilmu syari’at, baik berupa uraian maupun penjelasan panjang lebar, serta pembahasan berbagai permasalahan, inilah yang lebih bermanfaat bagi manusia.
………………………..

maka berhati-hatilah dari buku yang berjudul “Laa Tahzan” (jangan bersedih), bacalah dulu, kemudian perhatikan isinya. Kalangan penuntut ilmu agama yang paling awampun, ketika membaca buku ini, pasti mengetahui kesesatan yang ada didalamnya. Kami katakan dengan sebenarnya, bahwa mereka ini, sama saja, baik dia menginginkan kebaikan atau tidak menginginkannya, perkara itu urusan Allah ‘Azza wa Jalla.”

(Majalah adz-Dzakhiirah, vol. 5, No. 2, edisi 27, tahun 1428H).


Sikap tidak konsisten Aidh Al Qarni.

Disamping cacat atas karya tulis Aidh Al Qarni yang menjadi “best seller” tersebut, Orang ini juga memiliki cacat yang lain yakni sikapnya yang plin plan atau tidak konsisten atas suatu perkara. Dalam Majalah adz-Dzakiirah edisi 12 tahun II disebutkan (intinya adalah):

“Dr. Aidh bin Abdullah Al Qarni pernah memberikan kritik tajam atas seorang sastrawan bernama Ghazi al-Qushaibi dimana Al Qarni telah memvonisnya sesat atau bahkan telah mengkafirkannya, namun kemudian orang ini berkata bahwa dia memiliki hubungan baik dan persaudaraan dengan Ghazi al-Qushaibi.”

Al Qarni juga berkata (dikutip dari Koran “Madinah” edisi 16 Dzulqa’dah 1424H):

“Sesungguhnya masalah wanita mengemudi mobil bukanlah termasuk masalah prinsip karena tidak disebutkan pengharamannya dalam surat at-Taubah maupun al-Anfal.”

Namun dalam koran “Al-Hayah” dia berkata:

“Aku bertobat kepada Allah, aku pernah mengatakan bahwa wanita boleh mengemudi mobil.”

Perhatikan dua perkataannya yang bisa dikatakan bertolak belakang ini. Perkataan pertama dalam koran “Madinah” bahkan bisa ditafsirkan “wanita boleh mengendarai mobil.” (Para ulama –khususnya di Saudi- memang melarang wanita mengendarai mobil karena dikhawatirkan menimbulkan kerusakan) akan tetapi pada kesempatan lain dia berkata lain dengan menyebut “aku tidak pernah mengatakan wanita boleh mengemudi mobil.”

Sikap seperti ini jelas tidak mencerminkan kredibilitas dia kalau memang dia dianggap sebagai seorang da’i atau ulama. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam pernah bertindak tegas terhadap golongan khawarij dalam sabdanya:

“Akan muncul dari kalangan umat ini suatu kaum yang membaca Al Qur’an akan tetapi tidak melewati pangkal tenggorokannya. Mereka keluar dari agama sebagaimana melesatnya anak panah dari sasarannya. Mereka membunuh kaum Muslimin dan membiarkan para penyembah berhala. Seandainya aku dapati mereka, maka akan benar-benar kubunuh mereka sebagaimana membunuh kaum ‘Ad.”
(HR. Bukhari no. 3166).

Demikian pula sikap yang ditunjukkan oleh as-Salaf ash-Sholih terhadap orang-orang yang menentang sunnah Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam, diantaranya:

1. Dari Qatadah, beliau berkata:

“Ketika kami bersama Imran bin Hushain di rumah kami, dan Basyir bin Ka’ab bersama kami, lalu Imran meriwayatkan hadits kepada kami pada hari itu, beliau berkata:

“Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, “Sifat malu itu baik semua” (sifat malu itu semuanya kebaikan).”

Lalu Basyir bin Ka’ab berkata:
“Sungguh kami telah mendapatkan di beberapa kitab dan hikmah bahwa sifat malu itu terdapat darinya ketenangan dan pengagungan untuk Alloh tetapi di dalamnya ada kelemahan.”

Maka Imran pun marah sampai memerah matanya, sambil berkata:
“Ingatlah jangan sekali-kali pernah menunjukkan kepadaku apabila aku meriwayatkan hadits Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam dan kamu mementangnya!”(HR. Bukhari (no. 6117) dan Muslim (no. 61)).

2. Abu al-Husain Ath-Thabasi berkata,

“Aku mendengar Abu Sa’id Al Ashthakhari berkata, ketika itu datang seorang laki-laki dan bertanya kepadanya: “Apakah boleh beristinja’ dengan tulang hewan?”

Ia menjawab, “Tidak.”

Laki-laki itu bertanya, “Kenapa?”

Ia menjawab, “Karena Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, “Dia adalah makanan teman-teman kalian dari golongan jin.”

Laki-laki itu berkata, “Manakah yang lebih utama jin atau manusia?”

Ia menjawab, “Tentu manusia.”

Laki-laki itu berkata, “Lalu kenapa boleh beristinja dengan air, apakah ia makanan manusia?”

Abu Husain berkata:

“Maka iapun menindihnya dan ia mulai mencekiknya sambil berkata, “Hai orang Zindiq!! Kamu menentang Nabi Muhammad…?” Lalu ia mulai mencekiknya, kalau seandainya aku tidak mendapatinya maka sungguh ia telah membunuhnya.”

(Madarijus Salakin, juz 1 halaman 334).

Jika melihat kembali pada dua pernyataan Aidh Al Qarni tersebut, maka kami ingin mengatakan kepada orang-orang yang menyanjung dan memujanya, “Tidakkah kalian melihat ketegasan Rosululloh dan Para Salaf dalam mengingkari kebatilan?! Bagaimanakah sikap tegas yang telah mereka contohkan kepada kita sedangkan kalian begitu memuja dan memuji Aidh Al Qarni yang tidak memiliki sikap tegas sebagaimana dicontohkan oleh Rosul dan Para Salaf.”


Penyimpangan Dr. Aidh bin Abdullah Al Qarni.

Asy Syaikh Abu Mundzir Ahmad bin Jaelan menyebutkan bahwa Dr. Aidh bin Abdullah Al Qarni memiliki penyimpangan tatkala membahas tentang kasetnya yang berjudul “Amma Ba’du”. Diantara penyimpangan tersebut adalah:

Penyimpangan pertama:
Dia beristighotsah kepada hati dan darahnya bukan kepada Alloh ta’ala. Dia berkata pada awal ceramahnya: "Bagaimana aku bisa memulai? Wahai darah tolonglah aku. Wahai hati temanilah aku, wahai darah selamatkanlah diriku"

Sesungguhnya panggilan yang dijadikan sebagai pembuka ceramah oleh Doktor adalah suatu kesalahan yang buruk yang pernah aku dengar dari kasetnya ini. Bagaimana dia bisa membolehkan bagi dirinya beristighotsah dengan selain Alloh? Dia beristighotsah dengan darahnya untuk menolong dan menyelamatkannya serta hatinya untuk menemaninya!!! apakah bisa darah dan hatinya menyelamatkannya selain Alloh? Apakah doktor tidak tahu bahwa istighotsah itu adalah ibadah yang harus ditujukan kepada Alloh semata tidak lainnya???

Sungguh telah jelas bagi pemula dari penuntut ilmu apa yang ditetapkan oleh para ulama tentang masalah istighotsah ini. Di antara para ulama tersebut adalah Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab -rahimahullah-. Beliau telah menjelaskan dengan sejelas-jelasnya perkara yang agung ini, perkara yang berkaitan erat dengan ketauhidan dan ibadah kepada Alloh. Didalam beberapa kitab dan makalah beliau, diantaranya apa yang beliau sebutkan dalam kitab Ushuluts Tsalatsah : "bentuk-bentuk ibadah yang diperintahkan Alloh Ta’ala adalah Islam, Iman dan Ihsan, diantaranya juga doa, rasa takut….., isti’anah, istighostah, menyembelih, nadzar dan lain sebagainya dan bentuk-bentuk ibadah yang diperintahkan Alloh ta’ala"

Imam Al-Allamah Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin rohimahullah berkata tentang istighotsah: "istighotsah adalah meminta pertolongan dari keselamatan di kala terjepit dan binasa, dan istighotsah itu bermacam-macam:

1. Beristighotsah kepada Alloh Azza wa Jalla, dan ini termasuk seutama-utama dan semulia-mulia ibadah dan ini adalah jalannya para Rosul serta pengikut mereka.

2. Beristighotsah kepada orang-orang mati atau kepada yang masih hidup tapi tidak ada di hadapan (kita) dan dia tidak mampu untuk menolong. Ini adalah kesyirikan kepada Alloh. Karena orang tersebut tidak beristighotsah kepada selain Alloh kecuali dengan sebab keyakinannya bahwa yang diistighotsahi itu memiliki pengaruh yang tersembunyi di alam semesta ini. Orang itu telah memberikan hak rububiyyah Alloh kepada yang di istighotsahi.

3. Alloh Ta’ala berfirman: "Atau siapakah yang memperkenankan (do’a) orang-orang yang dalam kesulitan apabila dia berdo’a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Alloh ada Tuhan yang lain? Amat sedikitlah kamu mengingat-Nya" (QS. An-Naml: 62)

4. Beristighotsah dengan orang yang masih hidup dan mampu untuk membantu, maka ini boleh. Alloh berfirman: "Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu Musa memukulnya, dan matilah musuhnya itu" (QS. Al-Qoshosh: 15)

5. Beristighostah dengan orang yang masih hidup tapi tidak mampu untuk membantu dan tidak ada keyakinan bahwa pada diri orang tersebut tersimpan kekuatan (ghaib). Seperti ada seseorang yang tenggelam lalu dia meminta tolong kepada orang lumpuh maka ini merupakan ejekan dan canda gurau terhadap yang dimintai tolong tersebut. (Lihat Syarh Ushuluts Tsalatsah oleh Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin -rohimahulloh- hal. 60 – 61).

Maka termasuk yang manakah istighotsahnya Doktor ‘Aidh? Bukankah yang wajib baginya setelah di-blacklist adalah agar dia bernaung kepada Alloh dan beristighotsah kepada-Nya? Bukankah dia sendiri yang mengatakan dalam 10 faedah atau pelajaran yang diambil dari kisah saat dia di-blacklist: "Kembali kepada Alloh di kala gundah gulana, menyerahkan diri kepada Alloh di kala susah dan memohon kepada-Nya di kala duka nestapa". Maka kenapa dia lalai dari ucapannya ini dan beristighotsah dengan hati dan darahnya selain Alloh Ta’ala?

Minimal yang bisa dikatakan terhadap penggilan dan istighotsah yang dia katakan dengan suara lantang adalah wajib baginya untuk beristighotsah dan kembali kepada kebenaran karena yang dia lakukan adalah istighotsah dengan anggota tubuh yang mati dan tidak mampu!

Penyimpangan Kedua:
Mengatakan atau mensifati sejarah Nabi dengan kata usthurah (dongeng), dia menyebutkan dalam bagian pertama kasetnya setelah penyebutan syahadat Muhammad Rosululloh sebuah bait yang tidak dinisbatkan kepada penyairnya mungkin dia sendiri yang membuatnya, dia berkata:

Wahai yang terusir (Nabi) sesungguhnya nama beliau (Nabi) harum memenuhi dunia dan menjadi buah bibir bagi setiap orang.

Sejarahnya menjadi usthurah yang diriwayatkan oleh perowi dari perowi yang lainnya.

Sesungguhnya menggunakan kata usthurah untuk mensifati sejarah Rosulullloh Shollallohu ‘alaihi wa Salam tidaklah benar karena kata tersebut dalam bahasa (Arab) digunakan hanya untuk suatu ucapan atau tulisan yang batil.

Ibnu Faris rohimahullohu berkata:

“Al-Asaathir (jama’ dari usthuurah, asaathir dan isthoorun) adalah sesuatu yang ditulis dari kebatilan.”

(Mu’jam Maqooyisii Lughoh oleh Ibnu Faris hal.458).

Ibnu Mandzur rohimahullohu berkata:

"Al-baathiil dan al-asaathir adalah cerita-cerita yang tidak ada benarnya.

(Lisanul Arab oleh Ibnu Mandzur 6/257).

Hal ini juga dikuatkan oleh ayat-ayat al-Qur’an, diantaranya firman Alloh Ta’ala:

حَتَّى إِذَا جَاءُوكَ يُجَادِلُونَكَ يَقُولُ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ هَذَا إِلا أَسَاطِيرُ الأوَّلِينَ

"Sehingga apabila mereka datang kepadamu untuk membantahmu, orang-orang kafir itu berkata: al-Qur’an ini tidak lain hanyalah asaathir atau dongengan orang-orang dahulu" (QS. Al An’am: 25).

Dan Firman-Nya:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ مَاذَا أَنْزَلَ رَبُّكُمْ قَالُوا أَسَاطِيرُ الأوَّلِينَ

"Dan apabila dikatakan kepada mereka: apakah yang telah diturunkan Robbmu? Mereka menjawab asaathirul awwaliin (dongengan orang-orang dahulu)." (QS. An-Nahl: 24).

Dan Firman-Nya:

وَقَالُوا أَسَاطِيرُ الأوَّلِينَ اكْتَتَبَهَا فَهِيَ تُمْلَى عَلَيْهِ بُكْرَةً وَأَصِيلا

"Dan mereka berkata: dongengan orang-orang dahulu, dimintanya supaya dituliskan, maka dibacakanlah dongeng itu kepadanya setiap pagi dan petang" (QS. Al-Furqan: 5).

Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang menjelaskan bahawa orang-orang kafir dahulu yang mendustakan Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Salam dan wahyu yang beliau bawa, mereka mensifati wahyu tersebut dengan usthurah. Maka kata usthurah yang ada dalam bait syair Doktor itu sangat membahayakan bagi kehormatan Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Salam dan keimanan kepada beliau. Sebenarnya yang wajib bagi penceramah (DR. ‘Aidh) untuk mengagungkan Sunnah dan sejarah Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Salam dan tidak mensifatinya seperti diatas.

Penyimpangan Ketiga:
Memanggil atau bermunajat kepada Alloh dengan mengatakan: Ya, Anta. Dia menyebutkan dalam bagian awal kasetnya setelah penyebutan dua kalimat syahadat, dia memuji Alloh dalam sebuah bait syair dan tidak dinisbatkan kepada penyairnya. Mungkin dialah si penyair itu, dia berkata:

Wahai anta (kamu), wahai sebaik-baik nama dalam hatiku

apa yang harus kukatakan atau jelaskan tentang matan dan sanadnya?

Sesungguhnya bermunajat kepada Alloh Ta’ala dan berdo’a kepada-Nya adalah suatu ibadah yang mulia sebagaimana firman Alloh ta’ala:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

"Dan Robbmu berfirman: berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan kupernakan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka jahannam dalam keadaan hina dan dihina" (QS. Al-Mu’minun: 60)

Di dalam hadits Nu’man bin Basyir rodhiyallohu ‘anhu dia berkata, “Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Salam bersabda:

"Do’a adalah ibadah"
(HR Ahmad, Abu Daud, lihat (Shohih Al-Jami’) oleh Syaikh Al-Albani dan masih banyak lagi nash-nash yang semisal ini.}

Ketahuilah bahwa ibadah adalah perkara yang agung dan memiliki kedudukan yang mulia karena dia merupakan (manifestasi) tauhid yang merupakan hak khusus bagi Allah, tidak boleh bagi seorang Muslim untuk berbicara dalam masalah ibadah kecuali dengan ilmu yang benar yang bersumberkan dari al-Qur’an dan Sunnah, Alloh berfirman:

وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا

"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya itu akan di minta pertanggungan jawabnya" (QS. Al-Isra’: 36).

Karena begitu mulianya kedudukan do’a ini maka kitab-kitab hadits tidak melalaikannya bahkan dikumpulkan hadits-hadits tentang do’a. Lebih dari itu sebagian ulama mengarang buku khusus tentang do’a, tentang adab-adabnya serta aturan-aturannya. Diantara aturan-aturan do’a yang disyari’atkan adalah seorang hamba ketika berdo’a dia harus menyeru nama Alloh atau salah satu sifat Alloh yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an ataupun Sunnah. Inilah yang telah dikatakan oleh Ahlus Sunnah. Akan tetapi kita mendapatkan Doktor berdo’a kepada Alloh dengan mengatakan: "Ya anta". Apakah "anta" termasuk nama Alloh? Apa dalilnya? Kapan dhomir atau kata ganti dan ismul isyarah bisa menjadi nama Alloh Ta’ala? Bisa sih kalau menurut orang-orang sufi atau tashawwuf.

Lajnah Da’imah Lil Ifta’ (Komite Tetap Urusan Fatwa) Saudi Arabia pernah ditanya:

"Apakah boleh berdo’a kepada Alloh dengan menggunakan "ya huwa” (wahai dia) yaitu Alloh tapi dengan dhomir atau kata ganti orang ketiga?"

Jawaban:
"Segala puji bagi Alloh, Sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada Rosululloh, keluarga, dan para sahabatnya, kemudian setelah itu:

Dhomir-dhomir mutakallim, khithab dan ghoib (kata ganti orang I, II dan III) secara mutlak bukan termasuk nama Allah baik secara bahasa maupun syari’at karena Allah tidak memberi nama bagi diri-Nya dengan dhomir-dhomir tersebut. Maka berdo’a dengan menggunakan dhomir-dhomir tersebut tidak boleh dan karena hal tersebut termasuk ilhad atau penyimpangan dalam pemberian nama bagi Alloh Ta’ala yang Dia tidak memberi nama-Nya dengan hal tersebut. Hal tersebut termasuk berdo’a dengan cara yang tidak disyariatkan. Alloh Ta’ala melarang akan hal itu dalam firman-Nya:

"Hanya milik Alloh asmaul husna maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapatkan balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan" (QS. Al A’raf: 180).

Wabillahi at-taufiq wa shalallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa alihi wa shohbihi wa sallam.

(Fatawa Lajnah Da`imah II/295 no. 3867 bagian aqidah (tashawwuf)).

Maka telah jelas bagi kita bahwa berdo’a kepada Alloh dengan “Ya anta” tidak diperbolehkan dan hal tersebut termasuk ilhad dalam asma Alloh serta merupakan metode yang salah dalam berdo’a karena tidak sesuai dengan syari’at Alloh Ta’ala.

Tapi mungkin ada yang menyanggah hal ini, dia akan berkata kenapa kalian berburuk sangka dengan Syaikh DR ‘Aidh? Mungkin saja dia tidak memaksudkan dengan kata-katanya (ya Anta) itu Alloh pencipta alam semesta. Tapi beliau memaksudkan Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Salam !!!!

Sanggahan di atas tidaklah benar karena konteks ucapannya berkaitan erat dengan seruan atau do’anya kepada Alloh. Dia sebelum menyebutkan bait syair diatas dia berkata: "Maha suci Engkau, aku akui segala dosa dan kesalahanku di hadapanmu" dan dia juga menyebutkan setelah bait syair tersebut "Ya Rabbi, Ya Hayyu Ya Qoyyum Ya Lathif….." semuanya menunjukkan bahwa dia berdo’a kepada Alloh.

Walaupun jika kita terima bahwa dia memaksudkan Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Salam (dengan ucapannya: Ya anta) maka hal ini juga tidak dibenarkan karena Alloh Ta’ala melarang para sahabat yang mulia Shollallohu ‘alaihi wa Salam untuk memanggil Rasulullah dengan namanya langsung.

Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

لا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنْكُمْ لِوَاذًا فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

"Janganlah kamu jadikan panggilan Rosul diantara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian yang lain. Sesungguhnya Alloh telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi diantara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan di timpa cobaan atau di timpa adzab yang pedih" (QS. An Nuur: 63)

Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhu berkata tentang tafsir ayat di atas:

"Mereka dahulu mengatakan: wahai Muhammad, Ya Abal Qosim, maka Allah pun melarang mereka untuk memanggil dengan hal tersebut demi untuk menghormati Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Salam"

Qotadah rohimahullohu berkata:

"(Hal ini) demi untuk menghormati, memuliakan dan mengagungkan Nabi-Nya Shollallohu ‘alaihi wa Salam"
(Tafsir Ibnu Katsir III/337).

Apapun yang DR. Aidh maksudkan dalam do’anya itu, tetap dia salah akan tetapi kalau maksudnya Alloh maka lebih parah.

Demikian pernyataan Asy Syaikh Abul Munzir Ahmad bin Jaelan tentang jati diri Aidh Al Qarni.


Dr. Aidh bin Abdullah Al Qarni seorang Mubtadi ?!

Disebutkan pula oleh seorang ulama besar dari negeri Bahrain, Syaikh Fauzi Al Atsary hafizahullohu, beliau ditanya,

“Siapakah Aidh Al Qarni dan apakah diperbolehkan mendengarkan kasetnya?”

Syaikh hafizahullohu menjawab:
“Seseorang tidaklah seharusnya mendengarkan orang ini dan orang yang semacamnya. Dia ini dari Ahlul Bid’ah, Quthubiyyun dan dia adalah seorang Sufi. Pernyataan-pernyataannya bersesuaian dengan Sufiyyah. Dia menyeru kepada Quthubiyyah dan politik. Dia berbicara buruk tentang Ulama. Dia memiliki kaset rekaman di mana dia berkata bahwa Ulama tidak keluar dalam jihad, dan bahwasanya mereka tidak memberikan fatwa tentang jihad dan banyak kebohongan lainnya tentang Ulama. Maka tidak diperbolehkan mendengarkan kaset-kasetnya.”
(Sumber: “Kaset Ushul Da’wah Salafiyyah”).

Pernyataan ini sekaligus sebagai penegasan bahwa Dr. Aidh bin Abdullah Al Qarni memang memiliki pemikiran yang menyimpang dari Manhaj as-Salaf ash-Sholih. Sebagaimana yang telah kami uraikan sebelumnya, baik dalam buku “La Tahzan” maupun kaset ceramahnya “Amma Ba’du” bahwasannya pemikiran beliau sangatlah jauh dari Manhaj Salaf bahkan yang lebih menonjol adalah penyimpangannya. Demikian pula dengan sikap “plin plan” nya yang menunjukkan bahwa orang ini tidak memiliki sikap sebagaimana yang dimiliki oleh Para Salaf, yakni sikap tegas dalam menyatakan suatu perbuatan apakah ia menyimpang atau tidak sebagai bagian dari Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Allohu A’lam.





Maraji/Daftar Pustaka
--------------
*
Abu Salma Al Atsary. 2008. Himpunan Risalah Ilmiah. Maktabah Abu Salma Al Atsary – Surabaya (http://abusalma.co.cc).
*
Catur Rohman. 2008. Menyikap Hakikat Da’i Kondang. Blog Dunia Keluarga: Yakinlah Kita Bisa.. Karena Allah Bersama Kita – Surabaya. (http://rohmansyabab.blogspot.com/2008/03/menyikap-hakekat-dai-kondang.html).
*
Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al Hilaly. 2002. Mengapa Memilih Manhaj Salaf? Studi Kritis Problematika Umat. Pustaka Imam Bukhari – Solo.
*
Syaikh Fauzi Al Atsary. 2004. Fatwa Tentang Kesesatan Aidh Al Qarni (penerjemah: Tim Salafy.or.id, muraj’ah: Al Ustadz Abu Hamzah). (http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=508).
*
Syaikh Muhammad As Suhaibani. 2007. Pengagungan Terhadap Sunnah (terjemahan kitab Ta’zhimus Sunnah, penerjemah: Abu Abdillah Ahmad). Maktabah Abu Salma – Surabaya (http://abusalma.co.cc).
READ MORE - Buku "LA TAHZAN" & Dr. Aidh Al Qarni dalam sorotan Ulama Ahlus sunnah

MENGUSAP WAJAH SESUDAH BERDOA

Oleh : Ismail bin Marsyud bin Ibrahim Ar-Rumaih


Sebagian orang sesudah berdoa mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya, padahal tidak ada hadits satupun yang shahih yang membenarkan perbuatan tersebut. Yang paling baik adalah mengikuti sunnah Rasul dan yang paling buruk adalah segala tindakan menentang sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Seorang yang berdoa hendaknya tidak mengusapkan kedua telapak tangan sesudah berdoa, sebab tanpa itu dia akan mendapat pahala.

Abu Daud berkata bahwa saya mendengar Imam Ahmad ditanya oleh salah seorang tentang hukum mengusap wajah sesudah berdoa, maka beliau menjawab : "Saya tidak pernah mendengar itu dan saya tidak pernah mendapatkan sesuatu tentang itu. Abu Daud berkata : Saya tidak pernah melihat Imam Ahmad mengerjakan hal itu." [Abu Daud dalam Masail Imam Ahmad hal.71]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata bahwa mengangkat tangan pada saat berdoa adalah sunnah berdasarkan hadits-hadits yang sangat banyak, tetapi tentang mengusap wajah dengan kedua telapak tangan tidak saya temukan kecuali satu atau dua hadits, itupun tidak bisa dipakai sebagai dasar amalan tersebut karena lemah.[Majmu Fatawa 22/519]

Syaikh Al-Izz bin Abdussalam berkata bahwa tidaklah mengusap wajah dengan kedua telapak tangan sesudah berdoa kecuali orang-orang bodoh saja. [Fatawa Izz bin Abdussalam]

__________________________
______________________

MENGANGKAT KEDUA TANGAN PADA SAAT KHUTBAH JUM'AT


Pertanyaan.
Syaikh Abddul Aziz bin Baz ditanya : "Apa hukumnya mengangkat kedua tangan bagi makmum tatkala mengamini doa imam pada waktu khutbah Jum'at. Dan apa hukumnya mengeraskan ucapan amin ?"

Jawaban.
Tidak ada anjuran baik bagi imam maupun bagi makmum untuk mengangkat tangan tatkala berdo'a pada waktu khutbah jum'at sebab Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Khulafaurrasyidun tidak melakukan hal tersebut.

Akan tetapi jika berdoa istisqa' dalam khutbah Jum'at, maka dianjurkan bagi imam dan makmum untuk mengangkat tangan pada waktu berdoa istisqa', karena pada waktu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca do'a istisqa', beliau mengangkat tangannya dan juga para jama'ah bersama beliau.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu" [Al-Ahzab : 21]

Dibolehkan membaca amin bagi makmum pada waktu mendengar doa imam pada saat khutbah Jum'at asalkan tanpa mengeraskan suara.

[Fatawa Islamiyah 1/427]



[Disalin dari buku Jahalatun Nas Fid Du'a edisi Indonesia Kesalahan Dalam Berdo'a hal. 75-76 & 81-82 ul Haq]
__________________________________

SALAH KAPRAH DALAM BERAGAMA

Oleh : Muhammad bin Jamul Zainu

Alkisah pada masa lampau, setiap kali jama'ah haji dari Indonesia dan melayu pada umumnya, sedang dalam perjalanan antara Makkah dan Madinah, bilamana tiba waktu shalat, mereka melakukan shalat bersama kafilah di padang pasir. Biasanya, sang imam shalat, yang tidak lain adalah pemilik hewan-hewan kendaraan dalam kafilah tersebut, setelah salam, mengusap debu yang menempel di dahinya. Lalu para jamaah pun melakukan hal yang sama dan menjadikan kebiasaan yang terus dipelihara hingga kepulangan mereka ke tanah air.

Maka tidak heran jika kita perhatikan, seringkali kita jumpai orang yang mengusap wajahnya tepat setelah selesai salam dalam shalat. Namun jika kita tanya, apa yang menjadi landasan mereka dalam mengusap wajah setelah salam tersebut, kiranya akan di jawab bahwa demikianlah yang ia jumpai sehari-hari yang dilakukan banyak orang, lalu iapun melakukan hal yang sama.

[Disalin dari Muqaddimah buku "Salah Kaprah Dalam Beragama menurut Al Qur'an dan As Sunnah", oleh Muhammad Bin Jamil Zainu, Griya Ilmu Jakarta]
READ MORE - MENGUSAP WAJAH SESUDAH BERDOA

Bid'ah-kah ucapan "Shadaqallahul "Adzhiim"?


Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : "Bagaimanakah
pendapat Anda orang yang mengakhiri bacaan Al-Qur'an dengan
(ucapan)'Shadaqallahul 'Adzhiim?' Apakah kalimat ini ada dasarnya
dalam syari'at ? Dan apakah orang yang mengucapkannya boleh
dikatakan sebagai seorang ahli bid'ah ?"

Jawaban.
Kami tidak ragu, bahwa kebiasaan ini
mengucapkan 'Shadaqallahul 'Adzim setelah membaca Al-Qur'an) adalah
termasuk bid'ah yang diada-adakan,yang tidak terdapat pada masa As-
Salafus Shalih.

Dan patut diperhatikan bahwa bid'ah dalam agama itu tidak boleh ada.
Karena bid'ah pada asalnya tidak dikenal (diketahui). Walaupun
bid'ah itu kadang-kadang diterima di masyarakat dan dianggap baik,
tetapi dia tetap dinamakan bid'ah yang sesat.

Sebagaimana diisyaratkan oleh Abdullah bin Umar.
"Artinya : Setiap bid'ah adalah sesat, meski manusia memandangnya
baik".

Ucapan : "Shadaqallahul 'Adzhiim (Benarlah apa yang difirmankan
Allah Yang Maha Agung) adalah suatu ungkapan yang indah dan tepat,

sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan siapakah yang lebih benar perkataan-Nya daripada
Allah?" [An-Nisaa : 122]

Akan tetapi jika setiap kali kita membaca sepuluh ayat kemudian
diikuti dengan membaca Shadaqallahul Adzhiim, saya kuatir suatu hari
nanti bacaan Shadaqallahul Adzhiim setelah membaca ayat-ayat Al-
Qur'an menjadi seperti bacaan shalawat setelah adzan.

Sebagian lain dari mereka mensyariatkan bacaan ini berdasarkan
firman Allah Subahanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Katakanlah ; Shadaqallah (Benarlah apa yang difirmankan
Allah)" [Ali Imran : 95]

Mereka ini adalah seperti orang-orang yang membolehkan dzikir dengan
membaca : Allah... Allah .... Allah [1], dengan (dalil) firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Katakanlah : Allah ...." [Ar-Ra'd : 16]
Maka firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : "Katakanlah : Benarlah (apa
yang difirmankan) Allah" tidak bisa dijadikan dalil tentang bolehnya
mengucapkan 'Shadaqallahul Adzhiim setelah selesai membaca Al-Qur'an.

[Fatwa-Fatwa Albani, hal 37-38, Pustaka At-Tauhid]

--------------------------
------------------------------------------------------------------
[Bimbingan Islam untuk Pribadi dan Masyarakat, Syaikh Muhammad bin
Jamil
Zainu, Darul Haq Jakarta, hal. 114-116]
1. Para qari' biasa mengucapkan kalimat di atas setelah membaca
Al-Qur'an, padahal ini tidak berasal dari Rasulullah
shalallahu 'Alaihi Wasallam.

2. Membaca Al-Qur'an adalah ibadah, maka tidak boleh ditambah-
tambahi.
Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
"Barangsiapa mengada-adakan dalam agama kita (suatu amalan) yang
bukan berasal darinya, maka ia ditolak." (Muttafaq 'Alaih)

3. Apa yang mereka lakukan itu tidak ada dalilnya, baik dari Al-
Qur'an, Sunnah Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam ataupun amalan
para shahabat, ia adalah bid'ah orang-orang yang datang kemudian.

4. Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam mendengarkan bacaan Al-
Qur'an dari Ibnu Mas'ud, tatkala sampai pada firman Allah surat An-
Nisaa: 41:
Beliau bersabda: "Cukuplah." (HR. Al-Bukhari)
Jadi, beliau tidak mengucapkan "Shadaqallahul 'Azhiem," dan juga
tidak memerintahkannya.

5. Orang yang tidak mengerti dan anak-anak kecil mengira bahwa bacaan
tersebut adalah salah satu ayat Al-Qur'an, maka mereka membacanya di
dalam dan di luar shalat. Ini tidak boleh, karena bacaan tadi
bukanlah ayat Al-Qur'an. Apalagi, kadang-kadang, ditulis di akhir
surat dengan kaligrafi Mushaf.

6. Syaikh Abdul Aziz bin Baz, ketika ditanya tentang bacaan tersebut,
beliau menegaskan bahwa hal itu adalah bid'ah.

7. Adapun firman Allah Ta'ala:
"Katakanlah: 'Benarlah (apa yang difirmankan) Allah'. Maka ikutilah
agama Ibrahim yang lurus..." (Ali Imran: 95)

Maka ayat ini merupakan bantahan terhadap orang-orang Yahudi yang
berdusta, berdasarkan ayat sebelumnya:
"Maka barangsiapa mengada-adakan dusta terhadap Allah..."
(Ali 'Imran: 94)

Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam pun telah mengetahui ayat ini,
meski demikian beliau tidak mengucapkan hal tersebut setelah membaca
Al-Qur'an. Begitu pula para shahabat dan para As-Salafush Shalih.

8. Bid'ah ini sesungguhnya mematikan sunnah, yaitu do'a setelah
membaca Al-Qur'an, berdasarkan sabda Nabi Shalallahu 'Alaihi
Wasallam:

"Barangsiapa membaca Al-Qur'an, hendaklah ia meminta kepada Allah
dengan (bacaan)nya itu." (HR. At-Tirmidzi, hasan).

9. Bagi qari' hendaklah dia berdo'a kepada Allah sesuka hatinya
setelah membaca Al-Qur'an, dan bertawasswul kepada Allah dengan yang
dibacanya itu. Karena hal itu termasuk amal shalih yang menjadi
sebab dikabulkannya do'a. dan sebaiknya membaca do'a berikut ini:
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: "Apabila seorang
hamba ditimpa kesulitan dan kesedihan, lalu berdo'a:
'Ya Allah, sungguh aku adalah hambaMu, anak hambaMu yang laki-laki
dan anak hambaMu yang perempuan. Ubun-ubunku berada di TanganMu.
Pasti terjadi keputusanMu pada diriku dan adillah ketentuanMu pada
diriku. Aku memohon kepadaMu dengan segala Asma' milikMu, yang
Engkau sebutkan untuk diriMu, atau Engkau turunkan dalam kitabMu,
atau Engkau ajarkan kepada salah seorang makhlukMu, atau masih dalam
perkara ghaib yang hanya Engkau sendiri yang mengetahui. Jadikanlah
Al-Qur'an penyejuk hatiku, cahaya penglihatanku, pembebas
kesedihanku dan pengusir kegelisahanku. Tiada lain, Allah pasti akan
menghilangkan kesulitan dan kesedihannya, dan menggantikannya dengan
kemudahan." (HR. Ahmad, shahih)

Semoga Allah senantiasa mengokohkan kita diatas Al Kitab dan Sunnah dan Istiqomah diatasnya. Wal ilmu indallah.
READ MORE - Bid'ah-kah ucapan "Shadaqallahul "Adzhiim"?

Duhai Zauji, Jadilah Surga Ditaman Hatiku

”Wahai Robb kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.”

(QS. Al-Furqoon:74)



”…DAN ORANG-ORANG YANG BERIMAN LEBIH MENCINTAI ALLOH TA’ALA… “

(QS. AL-BAQOROH :165)



**************************


Duhai Zauji, Jadilah Surga di Taman Hatiku
(Kupersembahkan untuk (calon) ZAUJI yang berjiwa hanif)



Bismillaahirrohmaanirrohiim

Assalamu’alaykum warohmatulloohi wabarokaatuh,

Duhai Zauji..



Kupersembahkan sebuah ayat dalam Al-Qur’an yang selalu kubaca disetiap kartu undangan yang selalu melayangkan pikiranku akhir-akhir ini. Hingga detik ini, aku senantiasa bertanya kapan namaku tercantum pada sebuah kartu undangan pernikahan? Siapa pula nama yang mengiringi namaku pada kartu undangan tersebut dalam rangka mitsaqon-gholizho (perjanjian yang sangat berat) itu?

Yaa Zauji, ketahuilah… ayat itu adalah:
”Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Alloh) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Ruum : 21)

Tiada kata yang dapat kuucapkan atas karunia Alloh Ta’ala hingga pada waktu yang tepat nanti aku akan menikah dengan orang pilihan Alloh Ta’ala yang telah ditetapkan-Nya dalam kitab Lauh Mahfudz, kecuali syukur alhamdulillah untuk-Nya. Nikmat dan anugerah ini sungguh begitu agung.

Sesungguhnya, sudah aku jalani ”proses” dengan laki-laki lain, tapi ternyata Alloh takdirkan engkau masih tersembunyi dibalik kuasa-Nya. Menanti dengan ikhtiar dan doa yang penuh kesabaran tuk menghadirkanmu dalam hidupku merupakan anugerah dalam hidupku diantara anugerah-anugerah lain yang Alloh Ta’ala berikan kepadaku. Diberi-Nya aku kesempatan untuk lebih memperbaiki diri sebagai Muslimah hingga aku layak untuk kau jemput kelak sebagai bidadarimu. Karena Alloh Ta’ala berjanji :

”Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)….” (QS. An-Nur :26)

Walloohi, aku mensyukuri hal itu karena aku yakin dengan selalu bersyukur Alloh Ta’ala akan menambah kenikmatan yang telah Dia berikan, sebagaimana janji-Nya:
”Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat” (QS. Ibrohim : 7)



Subhanallooh! Fabiayyi alaairobbikumaa tukadzdzibaan..



Sebagaimana disepakati oleh al-Bukhari muslim telah diriwayatkan, dimana Rosulullooh Shollalloohu’alaihi wa Sallam bersabda : “Sungguh menakjubkan keadaan orang mukmin itu. Alloh tidak menetapkan suatu keputusan baginya melainkan keputusan itu adalah baik baginya. Jika ditimpa kesusahan, maka ia akan bersabar, dan yang demikian itu lebih baik baginya. Jika mendapatkan kesenangan, maka dia akan bersyukur, maka yang demikian itu adalah baik baginya. Dan hal tersebut tidak akan menjadi milik seorang pun kecuali orang mukmin.” (HR. Muslim no.2999. Dari Shuhain rodhiyalloohu’anhu)



Yaa Zauji..

Apakah yang saat ini sedang engkau lakukan? Semogalah engkau adalah seorang ikhwan (laki-laki) yang sedang bersemangat mendekatkan diri kepada Alloh Ta’ala dengan bertaubat dari dosa-dosamu. Kembali kepada fitrahmu sebagai manusia yang bejiwa hanif, memperbaiki diri detik demi detik sebagai bekal meninggalkan kampung penuh penipuan dan bersiap-siap menuju kampung kekekalan.

Hingga pada saat kita dipertemukan oleh-Nya (Nazhor) di tempat dan waktu yang tepat, engkau tidak lagi mempermasalahkan fisik, harta, suku, latar belakang dan kondisiku. Sifatmu yang jujur, sederhana dan bijaksana-lah yang akhirnya menjadi sebab utamaku dalam memilihmu sebagai pendamping hidupku.


Dari segi fisik, mungkin orang mengatakan aku tak serasi untukmu. Dari segi suku dan keturunan, mungkin orang mengatakan aku tak sekufu denganmu. Dari segi latar belakang dan materi, akupun mungkin tak sebanding dengan apa yang ada pada dirimu. Akan tetapi kelak, semua dapat kau maklumi karena niat baikmu dalam menggapai rumah tangga yang kau inginkan. Kau dasari alasan memilihku dengan pertimbangan agamaku dan agama yang ada padamu (manhaj salaf, insya Alloh). Hingga aku yakin dengan sabda Rosulullooh Shollalloohu’alaihi wa Sallam :

”Perempuan dinikahi karena empat hal : karena hartanya, kedudukannya, nasabnya, kecantikannya dan agamanya, namun kedepankan (pertimbangkan) agamanya niscaya engkau akan beruntung” (HR. Bukhari & Muslim).


Dengan sebab itulah, engkau berniat dan bertekad bulat untuk meminangku dengan hamdalah. Sebagaimana kisah Bilal bin Rabah rodhiyalloohu’anhu, muadzin kecintaan Rosulullooh Shollallohu’alaihi wa Sallam, tentang meminang. Ketika ia bersama Abu Ruwaihah menghadap Kabilah Khaulan, Bilal mengemukakan :

“Saya ini Bilal, dan ini saudaraku. Kami datang untuk meminang. Dahulu kami berada dalam kesesatan kemudian Alloh memberi petunjuk. Dahulu kami budak-budak belian, kemudian Alloh memerdekakan…”, kata Bilal.

Kemudian ia melanjutkan,” Jika pinangan kami anda terima, kami panjatkan ucapan Alhamdulillah. Segala puji bagi Alloh. Dan kalau anda menolak, maka kami mengucapkan

Alloohu akbar. Alloh Maha Besar.”



Subhanallooh! Fabiayyi alaairobbikumaa tukadzdzibaan..

Yaa Zauji…

Pada saatnya nanti, jika Alloh Ta’ala sudah berkehendak untuk mempersatukan hati kita, maka tak lagi kupermasalahkan maharmu yang dengan penuh kerelaan kau berikan kepadaku. Tidak kita hiraukan lagi bujuk rayu setan akan materi. Hingga engkau dapat memenuhi perintah Alloh Ta’ala yang berfirman :

”Dan berikanlah mahar (mas kawin) kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian yang penuh kerelaan” (QS. An-Nisaa : 4)



Niat suci kita untuk menuju pernikahan yang barokah meluluh lantahkan hatiku untuk menerima mahar darimu apa adanya, bahkan aku akan mempermudah engkau dalam masalah ini, hingga aku yakin bahwa insyaAlloh aku bisa menjadi orang yang tersebut dalam sabda Rosulullooh Shollalloohu’alaihi wa Sallam :

”Wanita yang paling banyak mendapatkan berkah adalah yang paling ringan maharnya” (HR. Ahmad 145/6,25162, Hakim dan Ibnu Hibban dari Aisyah Rodhiyalloohu’anha)



Dan akhirnya kita berdua makin yakin, bahwa pernikahan kita akan sesuai syari’at, sebagaimana Uqbah bin Amir rodhiyalloohu’anhu berkata, Rosululloh Shollalloohu’alaihi wa Sallam bersabda :

“Sebaik-baik pernikahan ialah yang paling mudah”
(HR Abu Dawud (no.2117), Ibnu Hibban (no.1262-al Mawaarid) dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath (I/221, no.724)



Dalam membicarakan walimah, engkau serta merta menyetujui usulanku bahwa walimah kita harus Islami. Tidak ada kemungkaran-kemungkaran dalam resepsi seperti tukar cincin, upacara adat, kepercayaan kepada hari baik dan sial dalam menentukan waktu pernikahan, lepas jilbab atau meminimalisir jilbab dengan mencekik leher dan memamerkan lekuk liuk tubuh, mencukur jenggot, mencukur alis mata, meninggalkan sholat wajib, ikhtilat, musik, nyanyian, mengundang biduanita dan kemungkaran-kemungkaran lainnya.

Karena kita sama-sama tahu bahwa pernikahan adalah gerbang kehidupan rumah tangga yang kita idamkan bersama. Jadi mana mungkin kau tega mengotorinya dengan kemungkaran MESKIPUN HANYA SATU HARI.

Memang benar, kita bagai raja dan permaisuri dalam sehari, tapi sungguh! Jangan sampai berlumuran dosa dihari nan indah itu untuk kemudian menjadi sebab sengsara sepanjang masa. Jangan sampai kita menabung dosa di awal kehidupan rumah tangga, untuk kemudian menuai akibatnya kelak diakhirat. Wal’iyadzu Billah.


Kelak, insyaAlloh pernikahan kita akan berjalan maksimal. Tamu kita terpisah antara pria dan wanita. Dan memang benar-benar terpisah. Kita tidak duduk berdampingan disinggasana yang dapat dilihat oleh sembarang tamu. Tamu pria akan menikmati diriku dan begitu pula sebaliknya?!? ITU TIDAK AKAN TERJADI, insya Allooh Ta’ala TIDAK AKAN TERJADI.

Tidak akan ada alunan musik dan nyanyian yang merupakan mazamir syaitan (seruling setan) yang mengotori kesucian pernikahan islami kita. Pernikahan kita sederhana, tapi khidmat dan islami, insyaAlloh Ta’ala. Semoga kelak, ini merupakan ridho Alloh Ta’ala untuk gerbang rumah tangga kita.



Yaa Zauji…

Terkemudian, HALAL-lah kita untuk saling mencintai karena Alloh Ta’ala. Seketika, penantian kita yang lama itu, akan membebaskan syahwat2 yang selama ini kita pendam, bersamaan dengan meleburnya dosa-dosa kita lewat genggaman jari jemari kita. Saat itulah akan timbul cinta yang berkobar-kobar diantara kita. Detik demi detik, kita akan semakin mengenal satu sama lain, cinta makin subur ditaman hati masing-masing sebagaimana istilah pacaran pasca pernikahan yang sering kubaca dan kudengar selama ini. Pujian demi pujian yang mengekalkan cinta kita mulai bersemi indah.



Namun yaa Zauji…

Aku tahu, bahwa engkau tidak akan membiarkan kita melampaui batas sebagai manusia untuk menikmati cinta itu. Karena kita tahu, ada Alloh Ta’ala diantara kita. Dan kita tahu, bahwa tidak ada seseorangpun yang lebih cemburu selain Alloh Ta’ala dan tidak ada seseorang yang lebih mencintai pujian selain dari Alloh Ta’ala. Karena itulah Dia memuji diri-Nya. Dan tidak ada seseorang yang lebih mencintai alasan selain dari Alloh Ta’ala.

Semoga kelak, cinta kita tidak menyamai dan melebihi dari kecintaan kita kepada Alloh Ta’ala yang dapat mengurangi keimanan kita, sebagaimana rasa takut kita akan firman-Nya :

”Katakanlah jika bapak-bapak kalian, anak2 kalian, saudara2 kalian, ISTRI-ISTRI kalian, keluarga kalian, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah LEBIH kamu CINTAI daripada ALLOH dan Rosul-Nya dan dari berjihad dijalan-Nya, maka tunggulah sampai Alloh mendatangkan keputusannya, dan Alloh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik” (QS. At-Taubah : 24)



Dan sabda Rosululloh Shollalloohu’alaihi wa Sallam :

”Tidaklah salah seorang dari kalian beriman sampai aku lebih kalian cintai dari anaknya dan kedua orang tuanya dan seluruh manusia”

(diriwayatkan oleh Bukhari no.10 dan Muslim no.44)



Karenanya yaa Zauji..

Kelak, malam-malam yang indah itu akan engkau hiasi dengan membangunkanku disepertiga malam terakhir dengan lembut dengan atau tanpa percikan air diwajahku. Kau ajak aku sholat malam bersamamu dengan alunan ayat-ayat suci Al-Qur’an yang memporak-porandakan taman hatiku, meluluhlantahkan jiwaku dan menghanyutkan aku akan kecintaanku pada Alloh Ta’ala. Aku ingin sekali mengamalkan sunnah Rosululloh Shollallohu’alaihi wa Sallam bersamamu, yaitu :

”Alloh merahmati laki-laki yang bangun diwaktu malam dan sholat kemudian membangunkan istrinya (sholat pula), jika istrinya menolak ia percikkan air kewajahnya. Dan Alloh juga merahmati seorang wanita yang bangun malam kemudian sholat dan membangunkan suaminya (sholat pula), jika ia menolak, ia percikkan air kewajahnya.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Hibban dan Al-Hakim.)



Subhanallooh! Fabiayyi alaairobbikumaa tukadzdzibaan..



Yaa Zauji..

Kuharap engkau adalah laki-laki penyabar dan dapat menghadapi kondisi emosionalku sebagai istri. Saat aku marah, saat aku salah, engkau meluruskanku dengan cara yang sangat baik dan lembut. Karena kutahu, engkau senantiasa ingin beribadah dengan ikhlas dan ittiba’ (mengikuti) Rosululloh Shollalloohu’alaihi wa Sallam. Bukankah Rosulullooh Shollalloohu’alaihi wa Sallam bersabda :

“Barangsiapa yang beriman kepada Alloh dan hari Akhir, janganlah ia menyakiti tetangganya. Berwasiatlah kepada wanita yang baik. Sebab, mereka diciptakan dari tulang rusuk dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Jika engkau meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Dan jika engkau membiarkannya, ia akan bengkok. Oleh karena itu, berwasiatlah kepada wanita dengan baik.” (Hadist shohih : Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no.5185-5186) dan Muslim (no.1468 (62)), dari Abu Hurairoh rodhiyalloohu’anhu)



Dalam riwayat Tirmidzi, Rosulullooh Shollalloohu’alaihi wa Sallam bersabda :

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya. Dan orang yang paling baik diantara kalian adalah orang yang paling baik terhadap kaum wanitanya (istri, saudara wanita atau anak-anak wanita”


Alloh Ta’ala berfirman :

“…Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Alloh menjadikan kebaikan yang banyak padanya” (QS. An-Nisaa’:19)



Dan saat engkau marah, sementara aku ikut terbawa emosi, maka engkau mengajakku untuk berlindung kepada Alloh Ta’ala, berwudhu, dan sholat dua rokaat. Apabila kita sedang berdiri, maka kita duduk, apabila kita sedang duduk, maka kita berbaring, atau salah satu dari kita akan mencium, merangkul dan menyatakan alasan kita. Apabila salah satu diantara kita berbuat salah, maka kita akan saling memaafkan karena mengharapkan wajah Alloh Ta’ala semata. (Fiqhut Ta’amul bainaz Zaujani)



Lantas kita mengunci rapat-rapat setiap pintu perselisihan dan tidak menceritakannya kepada orang lain. Saling instropeksi, menyadari kesalahan masing-masing dan saling memaafkan serta memohon kepada Alloh Ta’ala agar senantiasa disatukan-Nya hati kita, dimudahkan urusan dalam KETAATAN KEPADA-NYA, dan diberikan kedamaian dalam rumah tangga kita.



Betapa indahnya menjadi bunga ditaman hatimu yaa Zaujii…



Yaa Zauji…



Aku tahu bahwasanya aku memiliki hak yang seimbang dengan kewajibanku menurut cara yang ma’ruf, kecuali satu perkara yang diungkapkan oleh Alloh Ta’ala :
”akan tetapi para suami memiliki satu tingkat lebih tinggi dari isterinya” (QS. Al-Baqoroh :228)



Karenanya yaa Zauji, aku teringat dengan Ibnu Abbas rodhiyalloohu’anhuma :
”Sesungguhnya aku berhias diri untuk isteriku sebagaimana ia menghias diri untukku” (Tafsir Ibnu Jarir ath-Thahari (II/453))



Dan Rosululloh Shollalloohu’alaihi wa Sallam bersabda :
”Ketahuilah bahwa sesungguhnya kalian memiliki hak atas isteri-isteri kalian dan isteri-isteri kalian juga memiliki hak atas kalian” (Hasan, HR At-Tirmidzi (no.1173) dan Ibnu Majah (no.1851))



Dan sebagai pemimpin rumah tangga, engkau akan senantiasa berusaha untuk memenuhi hak-hakku sebagai istrimu tanpa melihat apakah hak-ku sudah terpenuhi atau belum, karena kutahu, engkau sangat menginginkan kelanggengan cinta dan kasih sayang diantara kita, sebagaimana engkau juga akan selalu berusaha untuk tidak memberikan kesempatan sedikit pun bagi syaithan yang selalu ingin memisahkan kita berdua.



Engkau memberiku makan apabila engkau makan,

Engkau memberiku pakaian apabila engkau berpakaian,

Engkau tidak akan memukul wajahku,

Engkau tidak akan menjelek-jelekkan diriku, dan

Engkau tidak akan meninggalkanku melainkan didalam rumah (yakni tidak berpisah tempat tidur melainkan didalam rumah)



Aku yakin bahwa meskipun engkau hidup pas-pasan, engkau akan tetap memberiku nafkah menurut kemampuanmu. Alloh Ta’ala berfirman :
”..Dan orang-orang yang terbatas rizkinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Alloh kepadanya. Alloh tidak membebani seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Alloh kepadanya. Alloh kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan.” (QS. Ath-Tholaq : 7)



Dengan keimanan dan ketaqwaanmu, engkau tidak pernah berputus asa dalam mencari rizki. Berikhtiar dan bertawakkal (menggantungkan harapan) hanya kepada Alloh Ta’ala, sebagaimana perintah Rosululloh Shollalloohu’alaihi wa Sallam :

”seandainya kalian bertawakkal kepada Alloh dengan sungguh-sungguh, maka sungguh kalian akan diberikan rizki oleh Alloh sebagaimana Dia memberikan kepada burung. Pagi hari burung itu keluar dalam keadaan kosong perutnya, lalu pulang disore hari dalam keadaan kenyang.” (Shahih, HR at-Tirmidzi (no.2344), HR Ahmad (I/30), Ibnu Majah (no.4164). Dari Umar bin al-Khaththab rodhiyalloohu’anhu)



Dengan wara-mu, engkau senantiasa memperhatikan rizki-rizki yang halal dan thoyyibah, untuk diberikan kepadaku dan anak2 kita kelak. Bukan dengan cara-cara yang tercela dan dilarang oleh syari’at Islam yang mulia. Karena sesungguhnya Alloh Ta’ala tidak akan menerima dari sesuatu yang haram.



Semoga Alloh memberikan ganjaran atas nafkah yang engkau berikan kepada keluarga yang kau cintai, sebagaimana sabda Rosulullooh Shollalloohu’alaihi wa sallam :
”..Dan sesungguhnya, tidaklah engkau menafkahkan sesuatu dengan niat untuk mencari wajah Alloh, melainkan engkau diberi pahala dengannya sampai apa yang engkau berikan kemulut istrimu akan mendapat ganjaran.” (Shahih, HR Al-Bukhari (no.1295( dan Muslim (no.1628), dari Sa’ad bin Abi Waqqosh rodhiyalloohu’anhu.



Yaa Zauji,

Aku memilihmu karena agama yang ada pada dirimu. Aku memilihmu karena aku tahu bahwa engkau akan senantiasa menjagaku dan anak-anakku kelak dari api Neraka. Kau ajarkan aku untuk taat dan bertakwa kepada Alloh ’Azza wa Jalla dan mentauhidkan-Nya serta menjauhkan syirik, mengajarkan kepadaku tentang syari’at Islam, dan tentang adab-adabnya.



Sungguh, betapa engkau telah membawaku teringat dan bergetar saat engkau menasehatiku sambil membawakan firman Alloh Ta’ala :

“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya Malaikat-Malaikat yang kasar dank eras, yang tidak durhaka kepada Alloh terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim : 6)



Karenanya, engkau senantiasa mengajarkan aku dan anak2 kita kelak mengenai Dienul Islam, mengajarkan kebaikan dan adab-adab Islam. Mengajak untuk senantiasa mendatangi majelis-majelis ilmu yang mengajarkan Islam berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih, mendengarkan apa yang disampaikan, memahami dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.



Hingga cita-citaku dan keinginanku tuk menjadi BUNGA DITAMAN HATIMU sebagaimana Khodijah Rodhiyalloohu’anha menemani Rosulullooh Shollallohu’alaihi wa Sallam sepanjang hidupnya dapat aku amalkan perlahan-lahan dengan bimbinganmu. Walloohi… Fabiayyi alaairobbikumaa tukadzdzibaan..



Yaa Zauji…

Kelak akan engkau ajarkan pula aku untuk senantiasa berbakti kepada Orang Tua kita untuk menggapai ridho Alloh Ta’ala. Birrul walidain (berbakti kepada orang tua) yang merupakan salah satu masalah penting dalam Islam. Karena dalam Al-Qur’an, setelah memerintahkan manusia untuk bertauhid, Alloh ‘Azza wa Jalla memerintahkan kita untuk berbakti kepada orang tua kita, sebagaimana perintah-Nya :

“Dan Robb-mu telah memerintahkan agar kamu jangan beribadah melainkan hanya kepada-Nya dan hendaklah berbuat baik kepada IBU-BAPAK. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai BERUSIA LANJUT dalam PEMELIHARAANMU, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan”ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, “Ya Robb-ku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil” (QS. Al-Isroo : 23-24)





Yaa Zauji,

Betapa aku akan sangat taat kepadamu dengan segala ketaatan dan ketakwaanmu kepada Alloh Ta’ala dan ketaatanmu kepada Rosulullooh Shollalloohu’alaihi wa Sallam. Hingga andaikata Alloh Ta’ala tidak melarangku untuk bersujud kepada selain-Nya, maka engkaulah tempatku untuk bersujud memohon Surga…



”Seandainya aku boleh menyuruh seorang sujud kepada seseorang, maka aku akan perintahkan seorang wanita sujud kepada suaminya.” (Hasan Shahih, HR at-Tirmidzi (no.1159), Ibnu Hibban (no.1291) dan Al-Baihaqi (VII/291) dari Abu Hurairah rodhiyalloohu’anhu)



Yaa Zauji..

Temanilah diriku sampai matiku nanti, layaknya Rosulullooh Shollalloohu’alaihi wa Sallam menemani ummul mukminin Khodijah Rodhiyalloohu’anha. Dampingi aku dalam melaksanakan amanah rumah tanggaku. Sesungguhnya, sebagai kepala keluarga engkau akan ditanya dihadapan Alloh Azza wa Jalla tentang pertanggungjawabanmu atas diriku sebagai istrimu. Juga anak-anak dan rumah tangga sebagai beban pundakmu. Mari kita pikul dengan bahu kesetiaan, genggaman kuat ketakwaan kita dan kucur keringat amal ibadah kita.

Yaa Zauji, aku yakin dan optimis bahwa kita pasti mampu, insyaAlloh…



Yaa Zauji..

Sungguh begitu indah memilikimu dalam mitsaqon gholizho ini kelak… maka bagaimana aku tidak akan memperhatikanmu, sementara engkau adalah surga dan nerakaku, sebagaimana sabda Rosululloh Shollalloohu’alaihi wa Sallam :
“Perhatikanlah sikapmu terhadapnya (suami), karena ia bisa menjadi surgamu dan nerakamu”

(HR. Ibnu Saad, Ath-Thabrani, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al Jami’us Shoghir (1590))





Yaa Zaujii…. Karenanya…

”JADILAH SURGA DITAMAN HATIKU…”



Semoga Alloh Ta’ala segera mempertemukan kita dan senantiasa mempermudah urusan kita dalam mitsaqon-gholizho (perjanjian yang sangat berat) kelak. Amin


Wassalamu’alaykum warohmatulloohi wabarokaatuh



***************
copas dari note 'Aisyah Ummu 'Abdillah (FB)
READ MORE - Duhai Zauji, Jadilah Surga Ditaman Hatiku

'Afwan akhi.. Kau saudaraku, tapi bukan mahromku

Akhii, kutuliskan risalah ini bagimu. Bukan karena apa. Kau adalah saudaraku, Akhii fillah. Karena Allah Ta’ala, bukan Akhii fii nasab yang mengharamkan pernikahan dan menghalalkan hubungan mahram.[1]

Akhii, sesungguhnya hati manusia ada di antara jari-jemari Ar Rahman. Maka beruntunglah orang yang dihadapkan hatinya pada ketaatan pada Allah Ta’ala. Sungguh benarlah doa yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam panjatkan, “Allahumma musharrifal quluub, sharrif quluubanaa ‘alaa tha’atika” (Ya Allah, Dzat Yang Memalingkan Hati, palingkan hati kami di atas ketaatan pada-Mu)[2]

Akhii, sesungguhnya manusia diciptakan dalam keadaan lemah[3]. Manusia, ya Akhii. Tak terkecuali. Laki-laki maupun wanita.
Tahukah kau wahai Akhii, panutan kita Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah mengingatkan kita dalam sabdanya yang artinya, “Aku tidak meninggalkan fitnah yang lebih membahayakan kaum laki-laki daripada fitnah wanita.”[4]

Dan agama kita yang mulia juga telah mengajarkan adab-adab bergaul dengan lawan jenis yaa, Akhii. Bila kita tapaki perjalanan salaful ummah, kita akan temukan betapa mereka menjaga adab-adab tersebut.

Maka tidak layak bagi kita untuk bermudah-mudah dalam bergaul dengan lawan jenis. Janganlah bermain-main dengan kehormatan, yaa Akhii. Allah Ta’ala selalu mengawasi kita di manapun dan kapanpun. Apatah itu dalam kamar tertutup rapat, ketika kau sedang asik ber-SMS dengan wanita yang bukan mahrammu tanpa keperluan yang mendesak. Sama sekali bukan untuk hal yang membawa mashlahat, hanya untuk mengatakan,
“Ap kbr, Ukhti? Lg sbk ap skrng?”
“Smgt ^_^”
“Ttp senyum nggih =)”

Atau untuk sekadar mengirimkan nasehat. Entah itu terjemah Al Qur’an, potongan hadits, atau perkataan ulama. Apa maksud yang ada dalam hatimu, yaa Akhii? Banyak teman-teman ikhwan yang lebih berhak kau beri perhatian dan nasehat. Na’am, murni perhatian dan nasehat, tanpa tendensi apapun.

‘Afwan ‘Akhii, bukannya kami terlalu sombong untuk menerima nasehat darimu. Akan tetapi, bagi kami, cukup teman-teman shalihah tempat untuk berbagi rasa. Cukup bagi kami, para asatidz dan asatidzah[5] yang mendakwahi kami. Cukuplah majelis-majelis ilmu dan buku-buku dari para ulama tempat kami mencari tahu tentang agama.

Tahukah yaa Akhii, terkadang syaithan menghiasi keburukan sehingga menjadi tampak indah. Bahkan terkadang syaithan membuka sembilan puluh sembilan pintu kebaikan untuk menjerumuskan manusia kepada satu pintu keburukan.[6]

Akhii, Ibnu Taimiyah pernah berkata yang artinya, “Kesabaran Yusuf menghadapi rayuan istri tuannya lebih sempurna daripada kesabaran beliau saat dimasukkan ke dalam sumur oleh saudara-saudaranya, saat dijual dan saat berpisah dengan bapaknya. Sebab hal-hal ini terjadi di luar kehendaknya, sehingga tidak ada pilihan lain bagi hamba kecuali sabar menerima musibah. Tapi kesabaran yang memang beliau kehendaki dan diupayakannya saat menghadapi rayuan istri tuannya, kesabaran memerangi nafsu, jauh lebih sempurna dan utama, apalagi di sana banyak faktor yang sebenarnya menunjang untuk memenuhi rayuan itu, seperti keadaan beliau yang masih bujang dan muda, karena pemuda lebih mudah tergoda oleh rayuan. Keadaan beliau yang terasing, jauh dari kampung halaman, dan orang yang jauh dari kampung halamannya tidak terlalu merasa malu. Keadaan beliau sebagai budak, dan seorang budak tidak terlalu peduli seperti halnya orang merdeka. Keadaan istri tuannya yang cantik, terpandang dan tehormat, tanpa ada seorang pun yang melihat tindakannya dan dia pula yang menghendaki untuk bercumbu dengan beliau. Apalagi ada ancaman, seandainya tidak patuh, beliau akan dijebloskan ke dalam penjara dan dihinakan. Sekalipun begitu beliau tetap sabar dan lebih mementingkan apa yang ada di sisi Allah.”[7]

Yaa Akhii, tidakkah kau ingin meneladani Yusuf ‘Alaihis Salam? Seorang pemuda yang menjaga iffah-nya yang dijanjikan mendapatkan perlindungan Allah Ta’ala di bawah naungan-Nya pada hari yang tidak ada lagi naungan selain naungan-Nya.[8]

Yaa Akhii, mungkin kau sudah pernah mendengar sebuah hadits dari Nau’as Ibni Sam’an radiyyallahu anhu yang artinya, “Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam tentang kebaikan dan kejahatan. Beliau bersabda: “Kebaikan ialah akhlak yang baik dan kejahatan ialah sesuatu yang tercetus di dadamu dan engkau tidak suka bila orang lain mengetahuinya.”[9]

Yaa Akhii, kebahagiaan sejati tidak akan diperoleh dengan cara yang haram. Percayalah itu. Cara ini hanya akan menimbulkan kesusahan dan kerusakan pada diri serta terbuangnya harta dengan sia-sia. Barangsiapa meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik darinya.[10]

Terakhir yaa Akhii, saya akan nukilkan perkataan Salman Al Farisi radiyyallahu ‘anhu dari Ja’far bin Burqan yang artinya, “Ada tiga orang yang membuatku menangis dan tiga orang lagi membuatku tertawa. Aku tertawa melihat orang mengejar dunia sedangkan kematian telah mengintainya, orang berbuat lalai berbuat padahal dirinya tak pernah dilupakan, dan orang banyak tertawa, sedangkan ia tidak tahu apakah Allah murka ataukah ridha kepadanya. Dan aku menangis karena kepergian orang-orang yang dicintai, yaitu kepergian Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan pengikutnya, kedahsyatan yang sangat mengerikan saat berada di pintu kematian, dan saat berdiri di hadapan Rabb semesta alam, yaitu ketika aku tidak mengetahui apakah aku akan dikembalikan ke surga atau ke neraka.”[11]

Kuharap risalah ini memperberat timbangan amal kebaikanku kelak. Pada hari di mana harta dan anak takkan berguna kecuali orang yang menghadap Allah Ta’ala dengan hati yang selamat.[12]
Wallahul musta’an.




1. Mahram adalah orang-orang yang haram dinikahi, bisa karena nasab, persusuan, atau pernikahan. Di Indonesia, istilah ini rancu dengan muhrim. Padahal istilah yang tepat adalah mahram, karena muhrim berarti orang yang sedang berihram (-pen).
2. HR Muslim no. 2654 dari Shahabat ‘Abdullah bin’Amr bin Al Ash Radiyallahu ‘Anhuma
3. Lihat QS An Nisaa: 28
4. HR. Al-Bukhari dalam An-Nikah (5096), Muslim dalam Adz-Dzikr (2740)
5. Jamak dari ustadz dan ustadzah (-pen)
6. Perkataan Hasan bin Shalih rahimahullah
7. Perkataan ini dinukil oleh Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah dalam Madarijus Salikin
8. Lihat HR Bukhari no 660, Muslim 1031 dari Abu Hurairah radiyyallahu anhu, yang artinya, “Tujuh golongan yang kelak akan dilindungi oleh Allah di bawah naungan-Nya pada hari yang tidak ada lagi naungan kecuali naungan-Nya: imam yang adil, pemuda yang tumbuh dengan beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, seseorang yang hatinya selalu terpaut dengan masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah, keduanya bertemu dalam keadaan demikian dan berpisah pun dalam keadaan demikian pula, laki-laki yang diajak (berzina) oleh wanita yang memiliki kedudukan dan kecantikan, namun ia mengatakan: ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah’, seseorang yang bersedekah namun ia menyembunyikan sedekahnya, hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan kanannya, dan seseorang yang mengingat Allah dalam kesendiriannya, hingga kedua matanya bercucuran air mata.”
9. HR Muslim, dimuat dalam Bulughul Maram, Kitabul Jami’ bab adab
10. Terjemah HR Ahmad V/78,79
11. Atsar ini tercantum dalam kitab Rauhuz Zaahidiin yang merupakan ringkasan dari kitab Hilyatul Auliyaa’
12. Lihat QS Asy Syu’aara’: 88-89

http://mii.fmipa.ugm.ac.id/?p=617
READ MORE - 'Afwan akhi.. Kau saudaraku, tapi bukan mahromku

Januari 05, 2010

Ya Ukhty, IKHWAN JUGA MANUSIA!

Bismillaahirrohmaanirrohiim


Disaat seorang ikhwan baik-baik “menawarkan diri” kepada seorang akhwat untuk menikahinya, itu bukanlah hal mudah baginya. Ikhwan juga manusia! Tentu si ikhwan sudah berfikir dan memperhitungkan sebaik-baiknya apa dampak positif dan negatifnya, bagaimana besarnya maslahat dan mudhorotnya. Apakah Alloh ‘Azza wa Jalla meridhoi langkah-langkahnya atau justru Alloh ‘Azza wa Jalla murka dengan langkah yang dia ambil. Sepatutnya ia harus berfikir terlebih dahulu, bagaimana ia harus bersikap jika proposalnya di tolak dan bagaimana ia harus bersikap bila proposalnya di terima. Begitulah seharusnya seorang calon Imam mengambil langkah. Bila ikhtiar dan doa telah dilakukan, maka sepatutnyalah ia menyandarkan diri kepada Alloh Ta’ala, dan menyerahkan segala urusannya kepada-Nya semata.

Sebagaimana disepakati oleh al-Bukhari muslim telah diriwayatkan, dimana Rosulullooh Shollalloohu’alaihi wa
Sallam bersabda : “Sungguh menakjubkan keadaan orang mukmin itu. Alloh tidak menetapkan suatu keputusan baginya melainkan keputusan itu adalah baik baginya. Jika ditimpa kesusahan, maka ia akan bersabar, dan yang demikian itu lebih baik baginya. Jika mendapatkan kesenangan, maka dia akan bersyukur, maka yang demikian itu adalah baik baginya. Dan hal tersebut tidak akan menjadi milik seorang pun kecuali orang mukmin.” (HR. Muslim no.2999. Dari Shuhain rodhiyalloohu’anhu)


Seorang ikhwan baik-baik akan menawarkan dirinya secara baik-baik pula. Tidak akan melakukan hal-hal yang sekiranya dapat melukai hati seorang akhwat dan mendatangkan murka Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Bukan dengan cara-cara yang tercela dan dilarang oleh syaria’t islam yang mulia. Karena ikhwan baik-baik tahu bagaimana harus memperlakukan seorang akhwat.

Rosulullooh Shollalloohu’alaihi wa Sallam bersabda :

“Barangsiapa yang beriman kepada Alloh dan hari Akhir, janganlah ia menyakiti tetangganya. Berwasiatlah kepada wanita yang baik. Sebab, mereka diciptakan dari tulang rusuk dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Jika engkau meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Dan jika engkau membiarkannya, ia akan bengkok. Oleh karena itu, berwasiatlah kepada wanita dengan baik.” (Hadist shohih : Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no.5185-5186) dan Muslim (no.1468 (62)), dari Abu Hurairoh rodhiyalloohu’anhu)


Dalam riwayat Tirmidzi, Rosulullooh Shollalloohu’alaihi wa Sallam bersabda :

Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya. Dan orang yang paling baik diantara kalian adalah orang yang paling baik terhadap kaum wanitanya (istri, saudara wanita atau anak-anak wanita”

Dan ikhwan yang baik-baik akan sangat berHATI-HATI dalam membawa HATI serta memikat HATI, karena ketakutannya dengan murka Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Dan Alloh Ta’ala memuji orang-orang yang takut didalam Kitab-Nya dan menyanjung mereka.

“Sesungguhnya orang-orang yg BERHATI-HATI karena takut akan (adzab) Robb mereka, dan orang2 yang beriman terhadap ayat-ayat Robb mereka, dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Robb mereka (sesuatu apapun), dan orang-orang yg memberikan apa yg telah mereka berikan, dengan HATI YANG TAKUT, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Robb mereka, mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al-Mukminun : 57-61)

Sesungguhnya ikhwan baik-baik yang menjaga Alloh dalam setiap hembusan nafasnya, akan memiliki tiga pilar sentral, yaitu Mahabbah (Cinta), Khauf (Takut) dan Roja’ (Harap) didalam hatinya. Sebagaimana firman-Nya :

“Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Alloh” (QS. Al-Baqoroh : 165)

“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan HARAP dan CEMAS. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” (QS. Al-Anbiya’ : 90)

Mereka tidak mengedepankan hawa nafsu dan syetan. Mereka memiliki visi dan misi untuk selalu memperoleh ridho Alloh Ta’ala, dengan mencari kebenaran yang tak henti-hentinya dan senantiasa ada taubat disetiap hembusan nafasnya.

Ya ukhty, KETAHUILAH DAN INGATLAH!!! Bahwa mereka tidak akan pernah mencapai tingkat kesempurnaan, karena mereka juga manusia, sama hal-nya seperti antunna. Tak akan ada yang mampu menyerupai ummul mukminin Khodijah binti Khuwailid. Sebagaimana Rosulullooh Sholalloohu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

“Sebaik-baik wanita ialah Maryam binti Imron. Sebaik-baik wanita ialah Khodijah binti Khuwailid. (HR Muslim dari Ali bin Abu Thalib radiyallahu ‘anhu).

Tapi yang harus diperhatikan adalah “adakah didalam dirinya semangat untuk bertaubat dan memperbaiki diri dengan cara yang benar?”

Karena begitu banyak orang lain menginginkan kebenaran, tapi caranya salah! Sebagaimana Ibnu Mas’ud berkata : “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tapi tidak benar caranya!”Sesungguhnya Rosulullooh Shollalloohu’alaihi wa Sallam bersabda : ‘Nanti akan ada kaum yang membaca al-Qur’an tidak melewati tenggorokan mereka!”

Untuk mengetahui hal ini, maka dapat dibuktikan dengan “pola berfikirnya”, apakah dia tunduk kepada Kitabulloh, Sunnah Rosulullooh Shollalloohu’alaihi wa Sallam & Sunnah Khulafaur Rasyidin atau justru tunduk kepada HAWA NAFSUnya dan syetan???


Jika akal tunduk kepada hawa nafsu & syetan, bukan termaksudkan nafsu syahwat saja, namun bagaimana dia mengedepankan hawa nafsunya dalam mencari kebenaran. Disinilah letak awal “siapa dia”.

Begitu banyak ikhwan lulusan pesantren-pesantren, tapi begitu banyak pula yang hasilnya bermain dengan hawa nafsu dan mengikuti perkembangan zaman. Sehingga, terjadilah penolakan-penolakan terhadap sebagian firman-firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan sabda-sabda Rosulullooh Shollalloohu’alaihi wa Sallam karena dianggapnya tidak sesuai dengan zaman saat ini. Na’udzu billah min zalik.

Mereka lupa atau pura-pura lupa… bahwa ISLAM SUDAH SEMPURNA dan Rosulullooh Shollalloohu’alaihi wa Sallam telah bersabda :


“Sungguh, aku tinggalkan kalian diatas ISLAM yang putih bersih, malamnya seperti siangnya. Tidaklah berpaling dari ISLAM yang putih bersih ini sepeninggalku, melainkan akan BINASA.” (HR. Ibnu Abi’Ashim & Ibnu Majah)

Begitukah taubat dan memperbaiki diri yang benar???

Menurut penulis, hidup bersama orang seperti itu adalah hal yang paling menakutkan.

Sebaliknya, walaupun kenyataannya lebih banyak laki-laki yang gila dunia dan lupa Sang Khalik (penyakit wahn, cinta dunia dan takut mati). Tapi diantara mereka, ada laki-laki biasa. Dia tidak pernah mengikuti pesantren atau sekolah Islam lainnya, tapi memiliki keinginan untuk senantiasa bertaubat dan memperbaiki diri dengan menundukkan akal-nya kepada Kitabulloh, Sunnah Rosulullooh Shollalloohu’alaihi wa Sallam & Sunnah Khulafaur Rasyidin.

Rosulullooh Shollalloohu’alaihi wa Sallam bersabda :

“Sungguh ada beberapa kaum bila mereka banyak berbuat kesalahan-kesalahan, maka mereka bercita-cita menjadi orang-orang yang Alloh ‘Azza wa Jalla akan mengganti kesalahan-kesalahan mereka dengan kebajikan” (Hadist hasan riwayat al-Hakim (IV/252), dari Shahabat Abu Hurairoh)

Maka menurut antunna, mana yang lebih baik diantara mereka yang telah disebutkan diatas?

Jawabnya adalah berdasarkan sabda Rosulullooh Shollalloohu ‘alaihi wa Sallam :

“Setiap anak Adam banyak berbuat salah dan sebaik-baik orang yang banyak berbuat kesalahan adalah yang banyak bertaubat” (HR. Ahmad,at-Tirmidzi, Ibnu Majah & al-Hakim)

Mengapa dengan taubat?

Karena TAUBAT adalah langkah pasti untuk menuju istiqomah dan menyongsong HIDAYAH ALLOH Ta’ala, menjauhkan diri dari ketergelinciran dan kenistaan. Ia adalah pintu kehormatan yang dibuka bagi para pendosa untuk kembali tanpa DITUNDA-TUNDA.


“Sesungguhnya taubat disisi Alloh hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima ALLOH taubatnya, dan Alloh Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa : 17)

Orang yang bertaubat kepada Alloh ialah orang yang kembali d
ari perbuatan maksiat menuju perbuatan TAAT. Imam Ibnu Qoyyim al-jauziyyah rohimahullooh mengatakan :

“Taubat merupakan awal persinggahan, pertengahan dan akhir perjalanan hidup. Seorang hamba yang sedang mengadakan perjalanan menuju Alloh Ta’ala tidak boleh lepas dari taubat hingga ajal menjemputnya. Taubat merupakan awal langkah seorang hamba kepada Alloh dan kesudahannya. Dan kebutuhan seorang hamba terhadap taubat diakhir hayatnya teramat penting dan sangat mendesak. Sebagaimana juga taubat dibutuhkan di awal perjalanan hidup seorang hamba.” (Madaarijus Saalikiin (I/98).

Itulah titik awal yang harus diperhatikan untukmu duhai Ukhty. Karena Alloh Ta’ala sangat mencintai orang-orang yang bertaubat. Sebagaimana firman-Nya :


“Sesungguhnya Alloh menyukai orang-orang yang TAUBAT dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqoroh : 222)

Maka, selayaknyalah kita turut mencintai orang-orang yang senantiasa bertaubat dan memperbaiki diri. Bukan begitu?!? Dan tentu saja, untuk itu dibutuhkan ILMU. Maka terus meneruslah berada di majelis ilmu untuk menuntut ILMU. Karena menuntut ilmu syar’i hukumnya WAJIB! Dan Taubat adalah kewajiban seumur hidup!

Ukhtyfillah yang dirahmati Alloh Subhanahu wa Ta’ala, jika engkau menginginkan ikhwan baik-baik untuk mengkhitbahmu, maka sebagaimana dirimu, si ikhwan pun dianjurkan untuk mencari akhwat baik-baik. Yang harus
menjadi instropeksi diri adalah “apakah diri ini sudah menjadi akhwat baik-baik?” Karenanya terus meneruslah kita bertaubat dan memperbaiki diri dengan ILMU, Alloh Ta’ala berfirman:

“Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula). Sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula)…” (QS. An-Nuur :26)

Ya ukhty,langkah selanjutnya ketika laki-laki baik-baik datang untuk mengkhitbahmu, maka perhatikanlah sabda Rosulullooh Shollalloohu’alaihi wa Sallam berikut :


“Jika datang kepada kalian seseorang yang kalian ridhoi agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan anak kalian). Jika tidak, maka akan terjadi fitnah dibumi dan kerusakan yang besar.”

Masalahnya sekarang adalah kebanyakan akhwat masih LEBIH mempermasalahkan HARTA dibandingkan dengan AGAMA. Pengaruh materialisme telah banyak menimpa para akhwat dan orang tuanya. Tidak sedikit dari mereka, pada zaman sekarang ini, yang selalu menitikberatkan pada kriteria banyaknya harta, keseimbangan kedudukan, status sosial dan keturunan saja dalam memilih calon jodohnya. Masalah kufu’ (sederajat, sepadan) hanya diukur berdasarkan materi dan harta saja. Sementara pertimbangan agama tidak mendapat perhatian yang serius.


Padahal, Islam sangat memperhatikan kafa-ah atau kesamaan, kesepadanan atau sederajat dalam hal pernikahan. Dengan adanya kesamaan antara kedua suami istri itu, maka usaha untuk mendirikan dan membina rumah tangga yang Islam, insya Alloh akan terwujud. Tapi kafa-ah menurut Islam diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta akhlak seseorang, bukan diukur dengan banyaknya harta, status social, keturunan, dan lain2.

Hendaklah seorang akhwat dan orang tuanya benar-benar waspada terhadap fitnah yang akan ditimbulkannya, karena diantara manusia ada yang terseret oleh kecintaannya yang berlebihan terhadap seorang akhwat sehingga ia berbuat durhaka kepada orang tua, memutuskan tali silaturahmi dan berbuat kerusakan dibumi, sehingga laknat Alloh menimpanya.


Dan yang paling banyak diantara manusia ada yang diseret oleh kecintaannya kepada seorang akhwat untuk mencari harta yang haram guna memenuhi kecintaannya dan memuaskan syahwatnya. Maka hendaklah seseorang berhati-hati terhadap fitnah wanita.

“Tidak ada fitnah yang aku tinggalkan setelahku yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada fitnah wanita.” (Shahih, HR al-Bukhari (no.5096) dan Muslim (no.2740(97)), dr Shahabat Usamah bin Zaid rodhiyalloohu’anhu)

Sesungguhnya dunia ini manis dan indah. Dan sesungguhnya Alloh menguasakan kepada kalian untuk mengelola apa yang ada didalamnya, lalu Dia melihat bagaimana kalian berbuat. Oleh Karena itu, berhati-hatilah terhadap dunia dan wanita, karena fitnah yang pertama kali terjadi pada bani Israil adalah karena wanita” (Shahih, HR Muslim (no.2742 (99), dr Shahabat Abu Sa’id al-Khudri rodhiyalloohu’anhu)

Ya ukhty, sadarilah, bahwa kita adalah sumber fitnah yang paling utama. Sumber penyakit yang paling utama. Sadarilah, bahwa jika kita tidak mengekangnya, maka akan timbul kerusakan dimuka bumi ini…

Ukhty perhatikanlah sabda Rosulullooh Shollalloohu’alaihi wa Sallam berikut :

“Sesungguhnya orang yang selalu melakukan kefasikan adalah penghuni Neraka.” Dikatakan, “Wahai Rosulullooh, siapakah yang selalu berbuat fasik itu?” Beliau menjawab,”Para wanita”. Seorang Shahabat bertanya,”Bukankah mereka itu ibu-ibu kita, saudara-saudari kita, dan isteri-isteri kita?” Beliau menjawab,”Benar. Akan tetapi apabila mereka diberi sesuatu, mereka bersyukur. Apabila mereka ditimpa ujian (musibah), mereka tidak sabar.” (Shahih, HR Ahmad (III/428,IV/604) dr Shahabat ‘Abdurrahman bin Syabl rodhiyalloohu’anhu.

Ukhty, mari kita jaga diri ini dari siksa api neraka… Jagalah Alloh Subhanahu wa Ta’ala, niscaya A
lloh Ta’ala akan menjagamu. Jagalah Alloh, maka engkau akan mendapati-Nya dihadapanmu…

Ya ukhty, Jika memang kau masih bersih kukuh juga dengan masalah harta, jika kau masih juga mempermasalahkan harta…. Maka simaklah firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala berikut :

“Sesungguhnya HARTA dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan disisi Alloh-lah pahala yang besar.” (QS. At-Thoghoobun : 15)

Dalam kitab Ibnu Katsir dijelaskan, bahwa sesungguhnya harta dan anak itu akan menjadi bahan UJIAN DAN COBAAN dari Alloh Ta’ala bagi makhluk-Nya agar Dia mengetahui siapakah hamba-hamba-Nya
yang taat dan yang durhaka kepada-Nya. Dan disisi Alloh pada hari Kiamat kelak adalah PAHALA YANG BESAR.

Maka ukhty, berhati-hatilah dengan syirik yang tak nampak, yaitu dosa yang lebih sulit (sangat samar) untuk dikenali daripada jejak semut yang merayap diatas batu hitam ditengah kegelapan malam. Syirik yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Syirik seperti ini adalah seperti syirik dalam ucapan (selain perkara keyakinan). Salah satu contoh yang sering kita jumpai adalah
MENGGANTUNGKAN NASIB KEPADA MAKHLUK YANG TIDAK DAPAT BERBUAT APA- APA. Lidah ini begitu mudahnya bersandar pada makhluk yang tidak mampu berbuat sedikitpun. Terlalu menggantungkan nasib kepada makhluk-Nya dengan memperhitungkan kemampuan manusia (PEKERJAAN & HARTA). Ada sebagian akhwat yang beranggapan bahwa ‘dia tidak dapat hidup dengan laki-laki yang penghasilannya jauh dibawah dia. Tak tahukah engkau ya ukhty, bahwa :

Rosulullooh Shollalloohu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

“Sesungguhnya Alloh adalah Pencipta semua pekerja dan pekerjaannya.” (HR. al-Hakim I/31-32, dan Majma’ az-Zawa’id VII/197)

Demi Alloh, bukan kuasa kita untuk memberikan rizki kepada diri kita maupun keluarga kita. Bukan pula kuasa itu karena kemampuan suami. Alloh Ta’ala-lah yang berkuasa. Bahkan hembusan nafas kita-pun dikuasainya oleh-Nya. Lantas mengapa kita masih menyandarkan diri kepada selain Alloh Ta’ala?

Perhatikan font berwarna merah berikut :

Dan Allah jadikan bagimu dari diri-dirimu sendiri berupa isteri, lalu Dia jadikan bagimu dari isteri-isterimu berupa anak-anak dan cucu, dan Dia memberimu rezeki yang baik-baik.” (QS. An-Nahl : 72)

“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian (belum menikah) diantara kamu, dan orang-orang yang layak menikah dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.
Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah maha luas (pemberian-Nya) lagi maha mengetahui.” (QS An-Nur: 32)

Rosulullooh Shollalloohu’alaihi wa Sallam bersabda: “Carilah oleh kalian rizki dalam pernikahan (dalam kehidupan berkeluarga).“ (HR Imam Dailami dalam musnad Al Firdaus)

Ya ukhty, selayaknya bagimu untuk mempermudah ikhwan yang akan mempersuntingmu!!! Sungguh
mereka juga manusia yang dapat dengan mudahnya tergoda oleh syetan dan hawa nafsu yang disebabkan oleh FITNAH yang paling utama, yaitu WANITA.

Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Nabi Shollalloohu’alaihi wa Sallam bersabda :

“Sesungguhnya diantara kebaikan wanita adalah mudah meminangnya, mudah maharnya, dan mudah rahimnya.” (Hasan, HR. Ahmad (VI/77,91), Ibnu Hibban (no.1256-Al-Mawaarid) dan al-Hakim (II/181))

Sebaik-baik pernikahan ialah yang paling mudah” (Shahih, HR. Abu Dawud (no 2117), Ibnu Hibban (no.1262-al-Mawaarid), dan ath-Thobrani dlm Mu’jamul Ausath (I/221,no 724), dr ‘Uqbah bin ‘Amir rodhiyalloohu’anhu)

…Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Alloh menjadikan kebaikan yang banyak padanya” (QS. An-Nisaa’:19)



Ya ukhty, rubahlah dirimu, semoga Alloh menganugerahi seorang Imam yang sholeh. Amin

Selamat berjihad!!!

***************************************************************

“Ya Alloh, sesungguhnya aku telah menzholimi diriku sendiri dengan kezholiman yang banyak dan tidak ada yang dapat mengampuni dosa melainkan hanya Engkau. Karena itu, ampunilah aku, dengan ampunan yang datang dari sisi-Mu dan rahmatilah aku, sesungguhnya Engkau adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (HR. Al-Bukhari no.834 dan Muslim no.2705 (48).

“Ya Alloh, jadikanlah aku merasa qona’ah (merasa cukup, puas, rela) terhadap apa yang telah Engkau rizkikan kepadaku, dan berikanlah berkah kepadaku didalamnya dan gantikanlah bagiku semua yang hilang dariku dengan
yang lebih baik.” (HR. Al-Hakim I/510 dan dishahihkan serta disepakati oleh adz-Dzahabi, dari Ibnu ‘Abbas rodhiyalloohu’anhuma)

“Ya Alloh, berikanlah ampunan kepadaku atas kesalahana-kesalahanku, kebodohanku serta sikap berlebihanku dalam urusanku, segala sesuatu yang Engkau lebih mengetahuinya daripada diriku. Ya Alloh, berikanlah ampunan kepadaku atas canda dan keseriusanku, kekeliruanku dan kesengajaanku, dan semuanya itu ada pada diriku.” (GR. Al-Bukhari no.6399/Fat-hul Baari XI/196, dari Abu Musa Al-Asy’ari rodhiyalloohu’anh

http://evans86.cybermq.com/post/detail/4690/ya-ukhty-ikhwan-juga-manusia


READ MORE - Ya Ukhty, IKHWAN JUGA MANUSIA!