BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Desember 28, 2009

RUMUS PRAKTIS MUDAH MENGHAFAL AL QUR’AN (Buktikan !!)

Pada postingan artikel sebelumnya tentang kiat-kiat untuk dapat menghafal ayat-ayat Al Qur’an Nah, pada postingan kali ini, tentang rumus praktis bagi antum yang ber’azzam untuk dapat menyelesaikan hafalan Al Qur’an al Karim setelah mempelajari metode-metode sebagai bekal dalam meraih kemampuan untuk dapat menghafal Al-Qur‘ân secara baik.

mohon maaf karena tabel di tampilkan dalam bentuk gambar hal ini karena fb membatasi code2 html sehingga saya kesulitan dalam menuliskannya maka tabel saya tampilkan dalam bentuk gambar.

Semoga bermanfaat!


RUMUS PRAKTIS MENGHAFAL AL QUR’AN






READ MORE - RUMUS PRAKTIS MUDAH MENGHAFAL AL QUR’AN (Buktikan !!)

Berbenah Diri Untuk Penghafal Al-Qur’an

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menjamin kemurnian Al-Qur‘ân telah memudahkan umat ini untuk menghafal dan mempelajari kitab-Nya. Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan para hamba-Nya agar membaca ayat-ayat-Nya, merenungi artinya, dan mengamalkan serta berpegang teguh dengan petunjukNya. Dia Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan hati para hamba yang shalih sebagai wadah untuk memelihara firman-Nya. Dada mereka seperti lembaran-lembaran yang menjaga ayat-ayat-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
Sebenarnya, Al-Qur‘ân itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zhalim … (Qs al-Ankabût/29:49).

Dahulu, para sahabat Radhiallahu’anhum yang mulia dan Salafush-Shalih, mereka berlomba-lomba menghafal Al-Qur‘ân, generasi demi generasi. Bersungguh-sungguh mendidik anak-anak mereka dalam naungan Al-Qur‘ân, baik belajar maupun menghafal disertai dengan pemantapan ilmu tajwid, dan juga mentadabburi yang tersirat dalam Al-Qur‘ân, (yaitu) berupa janji dan ancaman.


Berikut ini adalah nasihat yang disampaikan oleh Dr. Anis Ahmad Kurzun diangkat dari risalah beliau Warattilil Qur’âna Tartîla, dan diterjemahkan oleh al-Akh Zakariyya al-Anshari. Pembahasan ini menyangkut metode-metode, sebagai bekal dalam meraih kemampuan untuk dapat menghafal Al-Qur‘ân secara baik


Karena, sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Rajab al-Hanbali Rahimahullah , bahwasanya dahulu, para salaf mewasiatkan agar betul-betul memperbagus dan memperbaiki amalan (membaca dan menghafal Al-Qur‘ân, Red.). Bukan hanya sekedar memperbanyak (membaca dan menghafalnya, Red.), karena amalan yang sedikit disertai dengan memperbagus dan memantapkannya, itu lebih utama daripada amalan yang banyak tanpa disertai dengan pemantapan. Lihat Risalah Syarah Hadits Syaddâd bin Aus, karya Ibnu Rajab, hlm. 35.

Mudah-mudahan dengan kedatangan bulan Ramadhan yang penuh kemuliaan ini, dapat kita manfaatkan untuk meningkatkan perhatian kita kepada Al-Qur‘ân, mempelajarinya, mentadabburi, memperbaiki bacaan, dan menghafalnya.


SATU Ikhlas, Kunci Ilmu dan Pemahaman

Jadikanlah niat dan tujuan menghafal untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan selalu ingat bahwasanya yang sedang Anda baca ialah Kalamullah. Berhati-hatilah Anda dengan faktor yang menjadi pendorong dalam menghafal, apakah untuk meraih kedudukan di tengah-tengah manusia, ataukah ingin memperoleh sebagian dari keuntungan dunia, upah dan hadiah? Allah tidak menerima sedikit pun dari amalan melainkan apabila ikhlas karena-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dan (menjalankan) agama dengan lurus. (Qs al-Bayyinah/98:5).


DUA Menjauhi Maksiat dan Dosa

Hati yang penuh dengan kemaksiatan dan sibuk dengan dunia, tidak ada baginya tempat cahaya al-Qur’ân. Maksiat merupakan penghalang dalam menghafal, mengulang dan mentadabburi Al-Qur‘ân. Adapun godaan-godaan setan dapat memalingkan seseorang dari mengingat Allah. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

Setan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah. (Qs al-Mujâdilah/58:19).

‘Abdullah bin Al-Mubarâk meriwayatkan dari adh-Dhahhak bin Muzâhim, bahwasanya dia berkata;”Tidak seorang pun yang mempelajari Al-Qur`ân kemudian dia lupa, melainkan karena dosa yang telah dikerjakannya. Karena Allah berfirman Subhanahu wa Ta’ala : (Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri) –Qs asy- Syûra/42 ayat 30- . Sungguh, lupa terhadap Al-Qur`ân merupakan musibah yang paling besar.1

Ketahuilah, Imam asy-Syafi’i yang terkenal dengan kecepatannya menghafal, pada suatu hari ia mengadu kepada gurunya, Waqi‘, bahwa hafalan Al-Qur‘ânnya lambat. Maka gurunya memberikan terapi mujarab, agar ia meninggalkan maksiat dan mengosongkan hati dari segala hal yang dapat memalingkannya dari Rabb. Imam asy-Syafi’i berkata:


Saya mengadu kepada Waqi’ buruknya hafalanku,

maka dia menasihatiku agar meninggalkan maksiat.

Dan ia mengabarkan kepadaku bahwa ilmu adalah cahaya,

dan cahaya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak diberikan kepada pelaku maksiat.


Imam Ibnu Munadi berkata,”Sesungguhnya menghafal memiliki beberapa sebab (yang membantu). Di antaranya, yaitu menjauhkan diri dari hal-hal yang tercela. Hal itu dapat terwujud, apabila seseorang mencegah diri (dari keburukan, Pent.) Pent.), menghadap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan ridha, memasang telinganya, dan pikirannya bersih dari ar-râin.”2

Yang dimaksud dengan ar-râ‘in, ialah sesuatu yang menutupi hati dari keburukan maksiat, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala

Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka. (Qs al-Muthaffifin/83:14).

Barang siapa menjauhkan dirinya dari kemaksiatan, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala membukakan hatinya untuk selalu mengingat-Nya, mencurahkan hidayah kepadanya dalam memahami ayat-ayat-Nya, memudahkan baginya menghafal dan mempelajari Al-Qur‘ân, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (Qs al-’Ankabût/29:69).

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah telah membawakan perkataan Ibnu Abi Hâtim berkaitan dengan makna ayat ini: “Orang yang melaksanakan apaapa yang ia ketahui, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberinya petunjuk terhadap apa yang tidak ia ketahui”.3

TIGA Memanfaatkan Masa Kanak-Kanak dan Masa Muda


Saat masih kecil, hati lebih fokus karena sedikit kesibukannya. Dikisahkan dari al-Ahnaf bin Qais, bahwasanya ia mendengar seseorang berkata:

“Belajar pada waktu kecil, bagaikan mengukir di atas batu”. Maka al-Ahnaf berkata,”Orang dewasa lebih banyak akalnya, tetapi lebih sibuk hatinya.”4

Seharusnya siapa pun yang telah berlalu masa mudanya supaya tidak menyia-nyiakan waktu untuk menghafal. Jika ia konsentrasikan hatinya dari kesibukan dan kegundahan, niscaya ia akan mendapatkan kemudahan dalam menghafal Al-Qur‘ân, yang tidak dia dapatkan pada selain Al-Qur‘ân. Allah berfirman Subhanahu wa Ta’ala:

Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur‘ân untuk pelajaran, maka adakah yang mau mengambil pelajaran? (Qs al-Qomar/54:17).

Demikianlah di antara keistimewaan Al-Qur‘ân. Perlu Anda ketahui, tatkala manusia telah mencapai usia tua, saraf penglihatannya akan melemah. Kadangkala dia tidak mampu membaca Al-Qur‘ân yang ada di mushaf. Dengan demikian, yang pernah dihafal dalam hatinya, akan dia dapatkan sebagai perbendaharaan yang besar. Dengannya ia membaca dan bertahajjud. Tetapi jika sebelumnya ia tidak pernah menghafal Al-Qur‘ân sedikit pun, maka alangkah besar penyesalannya.

EMPAT Memanfaatkan Waktu Semangat dan Ketika Luang


Tidak sepantasnya bagi Anda, wahai pembaca, menghafal pada saat jenuh, lelah, atau ketika pikiran Anda sedang sibuk dalam urusan tertentu. Karena hal itu dapat mengganggu kosentrasi menghafal. Tetapi pilihlah ketika semangat dan pikiran tenang. Alangkah bagus, jika waktu menghafal (dilakukan) ba’da shalat Subuh. Saat itu merupakan sebaik-baik waktu bagi orang yang tidur segera.


LIMA Memilih Tempat yang Tenang

Yaitu dengan menjauhi tempat-tempat ramai, bising. Sebab, hal itu akan mengganggu dan membuat pikiran bercabang-cabang. Maka ketika Anda sedang berada di rumah bersama anakanak, atau (sedang) di kantor, di tempat bekerja, di tengah teman-teman, jangan mencoba-coba menghafal sedangkan suara manusia di sekitar Anda. Atau di tengah jalan ketika sedang mengemudi, di tempat dagangan ketika transaksi jual beli. Ingatlah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya … (Qs al-Ahzab/33:4).

Sebaik-baik tempat yang Anda pilih untuk menghafal ialah rumah-rumah Allah (masjid) agar mendapatkan pahala berlipat ganda. Atau di tempat lain yang tenang, tidak membuat pendengaran dan penglihatan Anda sibuk dengan yang ada di sekitar Anda.

ENAM Kemauan dan Tekad yang Benar


Kemauan yang kuat lagi benar sangat mempengaruhi dalam menguatkan hafalan, memudahkannya, dan dalam berkonsentrasi. Adapun seseorang yang menghafal karena permintaan orang tua atau gurunya tanpa didorong oleh kemauannya sendiri, ia tidak akan mampu bertahan. Suatu saat pasti akan tertimpa penyakit futur (penurunan semangat).

Keinginan bisa terus bertambah dengan motivasi, menjelaskan pahala dan kedudukan para penghafal Al-Qur‘ân, orang yang selalu bersama Al-Qur‘ân, dan membersihkan jiwa yang berlomba dalam halaqah, di rumah atau di sekolah. Tekad yang benar akan menghancurkan godaan-godaan setan, dan dapat menahan jiwa yang selalu memerintahkan keburukan.

Imam Ibnu Rajab al-Hanbali berkata:

Barang siapa memiliki tekad yang benar, setan pasti akan putus asa (mengganggunya). Kapan saja seorang hamba itu ragu-ragu, setan akan mengganggu dan menundanya untuk melaksanakan amalan, serta akan melemahkannya.5


TUJUH Menggunakan Panca Indra

Kemampuan dan kesanggupan seseorang dalam menghafal berbeda-beda. Begitu juga kekuatan hafalan seseorang dengan yang lainnya bertingkat-tingkat. Akan tetapi, memanfaatkan beberapa panca indra dapat memudahkan urusan dan menguatkan hafalan dalam ingatan.

Bersungguh-sungguhlah, wahai Pembaca, gunakanlah indra penglihatan, pendengaran dan ucapan dalam menghafal. Karena masing-masing indra tersebut memiliki sistem tersendiri yang dapat mengantarkan hafalan ke otak. Apabila metode yang digunakan itu banyak, maka hafalan menjadi semakin kuat dan kokoh.

Adapun caranya, yaitu Anda mulai terlebih dahulu membacanya dengan suara keras, apa yang hendak dihafalkan, sedangkan Anda melihat ke halaman yang sedang Anda baca. Dengan terus melihat dan mengulanginya sampai halaman tersebut terekam dalam memori Anda. Sertakan pendengaran Anda dalam mendengarkan bacaan, lalu merasa senang. Apalagi jika Anda membaca dengan suara senandung yang disukai oleh jiwa.

Seseorang yang menghafal Al-Qur‘ân dengan melihat mushaf, sedangkan ia diam, atau dengan cara mendengarkan kaset murottal tanpa melihat mushaf, atau merasa cukup ketika menghafal hanya membaca dengan suara lirih, maka semua metode ini tidak mengantarnya mencapai tujuan dengan mudah.


Perlu Anda ketahui, bahwasanya (dalam menghafal) manusia ada dua macam.



  1. Orang yang lebih banyak menghafal dengan cara mendengar daripada menghafal dengan melihat mushaf. Ingatannya ini disebut Sam’iyyah (pendengaran).

  2. Orang yang lebih banyak menghafal dengan cara melihat. Apabila ia membaca satu penggal ayat Al-Qur‘ân (akan) lebih bisa menghafal daripada (hanya dengan) mendengarkannya. Ingatannya ini disebut Bashariyyah (penglihatan).



Apabila Anda termasuk di antara mereka, maka sebelum menghafal, perbanyaklah membaca ayat dengan melihat mushaf dalam waktu yang lebih lama. Kemudian tutuplah mushaf dan tulis ayat-ayat yang baru saja Anda hafal dengan tangan. Setelah itu cocokkan yang Anda tulis dengan mushaf, agar Anda mengetahui mana yang salah, dan tempattempat hafalan yang lemah, sehingga Anda dapat mengulangi untuk memantapkannya.

Jika Anda memperhatikan bahwa Anda selalu salah dalam satu kalimat tertentu atau lupa setiap kali mengulangnya, maka tanamkan kalimat tersebut dalam memori Anda dengan membuat kalimat serupa yang Anda ketahui. Dengan demikian, Anda akan mengingat kalimat tersebut dengan kalimat yang Anda buat.

Imam Ibnu Munadi telah menunjukkan kepada kita masalah ini dengan perkataannya: “Seorang guru hendaklah mempraktekkan metode ini kepada murid. Yaitu memerintahkannya agar mengingat nama, atau sesuatu yang dia ketahui yang serupa dengan kalimat al-Qur`ân yang ia selalu lupa, sehingga akan menjadikannya ingat, insya Allah.”6

Kemudian beliau berdalil dengan perkataan Ali Radhiallahu’anhu kepada Abu Musa Radhiallahu’anhu : “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan agar aku memohon petunjuk dan kebenaran kepada Allah. Lalu aku mengingat kalimat (petunjuk) dengan (petunjuk jalan), dan aku mengingat (kebenaran) dengan (membetulkan busur)”.7


DELAPAN Membatasi Hanya Satu Cetakan Mushaf

Bagi para penghafal, utamakan memilih cetakan mushaf, yang diawali pada tiap-tiap halamannya permulaan ayat dan diakhiri dengan akhir ayat. Ini memiliki pengaruh sangat besar dalam menanamkan bentuk halaman dalam memori (ingatan), dan mengembalikan konsentrasi terhadap halaman tersebut ketika mengulang. Jika cetakan mushaf berbeda-beda, akan menimbulkan ingatan halaman dalam otak berbeda-beda, dan akan membuyarkan hafalannya, serta tidak bisa konsentrasi.

Begitu pula saya wasiatkan kepada saudaraku agar bersungguh-sungguh menggunakan mushaf saku, atau mushaf yang terdiri dari beberapa bagian, sesuai dengan cetakan mushaf yang sedang Anda hafal. Ini merupakan hal yang sangat baik. Setiap kali Anda mendapatkan waktu luang dan semangat, dimana pun Anda berada, supaya segera memanfaatkan waktu tersebut untuk menghafal hafalan baru, atau mengulang hafalan lama.


SEMBILAN Pengucapan yang Betul


Setelah Anda memilih waktu, tempat yang sesuai dan membatasi hanya satu cetakan mushaf yang hendak Anda hafal, maka wajib bagi Anda membetulkan pengucapan dan mengoreksi kalimat-kalimat Al-Qur‘ân kepada seorang guru yang mutqin (ahli) sebelum mulai menghafal. Atau dengan cara mendengarkannya melalui kaset murattal seorang qari‘. Hal ini supaya Anda terjaga dari kekeliruan. Karena apabila kalimat yang telah Anda hafal itu salah, akan sulit bagi Anda membetulkannya setelah terekam dalam memori.

Imam Ibnu Munadi berkata,”Ketahuilah, menghafal itu memiliki beberapa sebab. Di antaranya, seseorang membaca kepada orang yang lebih banyak hafalannya, karena orang yang dibacakan kepadanya lebih mengetahui kesalahan daripada orang yang membaca.”8


Wahai saudaraku, bersungguh-sungguhlah menghadiri majlis-majlis tahfizhul-Qur‘ân, bertatap muka dengan para hafizh dan guruguru yang mutqin, agar Anda terhindar dari kesalahan dan dapat menghafal dengan landasan yang kokoh.

Saya wasiatkan juga kepada saudaraku para pengajar Al-Qur‘ân, di masjid-masjid, di sekolah-sekolah agar bersungguh-sungguh membetulkan bacaan para murid pada ayat-ayat yang hendak mereka hafal, dan mengarahkan mereka supaya betul-betul mengoreksi kalimatkalimat Al-Qur‘ân yang sering terjadi padanya kesalahan. Begitu juga seorang guru meminta kepada para muridnya agar selalu mengulangulang hafalan kepada sesama teman untuk menjaga mereka dari kemungkinan terjadinya kesalahan.


SEPULUH Hafalan yang Saling Bersambung

Jangan lupa, wahai saudaraku! Jadikanlah hafalan Anda saling berkaitan. Setiap kali Anda menghafal satu ayat kemudian merasa telah lancar, maka ulangilah membaca ayat tersebut dengan ayat sebelumnya. Kemudian lanjutkan menghafal ayat berikutnya sampai satu halaman dengan menggunakan metode ini.

Disamping itu, apabila Anda telah menghafal satu halaman, maka harus membacanya kembali sebelum meneruskan ke halaman berikutnya. Begitu pula apabila hafalan Anda sudah sempurna satu surat, hendaklah menggunakan metode tadi, agar rangkaian ayatayat itu dapat teringat dalam memori Anda. Sungguh, jika tidak menggunakan metode ini, membuat hafalan Anda tidak terikat. Dan ketika menyetor hafalan, Anda akan membutuhkan seorang guru yag selalu mengingatkan permulaan tiap-tiap ayat. Begitu juga akan membuat Anda mengalami kesulitan ketika muraja‘ah hafalan.


SEBELAS Memahami Makna Ayat

Di antara yang dapat membantu Anda menggabungkan ayat dan mudah dalam menghafal, yaitu terus-menerus meruju‘ kepada kitab-kitab tafsir yang ringkas, sehingga Anda memahami makna ayat meskipun global. Atau paling tidak, Anda menggunakan kitab Kalimatul Qura’ni Tafsiiru wa Bayan karya Syaikh Hasanain Muhammad Makhlûf. Dengan mengetahui makna-makna kalimat, dapat membantu Anda memahami makna ayat secara global.


DUA BELAS Hafalan yang Mantap


Sebagian pemuda membaca penggalan ayat, dua sampai tiga kali saja. Lalu menyangka bahwa ia telah hafal. Lantas pindah ke penggalan ayat berikutnya karena ingin tergesagesa disebabkan waktunya sempit, atau karena persaingan di antara temannya, atau disebabkan desakan seorang guru kepadanya. Perbuatan ini, sama sekali tidak benar dan tidak bermanfaat. Sedikit tetapi terus-menerus itu lebih baik, daripada banyak tetapi tidak berkesinambungan. Hafalan yang tergesa-gesa mengakibatkan cepat lupa.

Fakta ini tersebar di kalangan para penghafal. Penyebabnya, kadangkala seseorang merasa puas dan tertipu terhadap dirinya ketika hanya mencukupkan membaca penggalan ayat beberapa kali saja. Apabila ia merasa penggalan ayat tadi sudah masuk dalam ingatannya, maka ia beralih ke ayat berikutnya. Dia menyangka, semacam ini sudah cukup baginya.


Faktor yang mendukung fakta ini, karena sebagian pengampu hafalan mengabaikan persoalan ini ketika penyetoran hafalan. Padahal semestinya, seorang penghafal tidak boleh berhenti menghafal dan mengulang dengan anggapan bahwa ia telah hafal ayat-ayat tersebut. Bahkan ia harus memantapkan hafalannya secara terus-menerus mengulang ayat-ayat yang dihafalnya. Karena setiap kali mengulang kembali, akan lebih memperbagus hafalannya, dan meringankan bebannya ketika muraja‘ah.


TIGA BELAS Terus-Menerus Membaca

Tetaplah terus membaca Al-Qur‘ân setiap kali Anda mendapatkan kesempatan. Karena banyak membaca, dapat memudahkan menghafal dan membuat hafalan menjadi bagus. Banyak membaca termasuk metode paling utama dalam muraja‘ah.

Cobalah Anda perhatikan, sebagian surat dan ayat yang sering Anda baca dan dengar, maka ketika menghafalnya, Anda tidak perlu bersusah payah. Sehingga apabila seseorang telah sampai hafalannya pada ayat-ayat tersebut, maka dengan mudah ia akan menghafalnya. Contohnya surat al-Wâqi‘âh, al-Mulk, akhir surat al-Furqân, apalagi juz ‘amma dan beberapa ayat terakhir dari surat al-Baqarah.



(Dengan sering membaca), dapat dibedakan antara seorang murid (yang satu) dengan murid lainnya. Barang siapa yang memiliki kebiasaan setiap harinya selalu membaca dan memiliki target tertentu yang ia baca, maka menghafal baginya (menjadi) mudah dan ringan. Hal ini dapat dibuktikan dalam banyak keadaan. Ayat mana saja yang ingin dihafal, hampir-hampir sebelumnya seperti sudah dihafal. Akan tetapi yang sedikit membaca dan tidak membuat target tertentu setiap harinya untuk dibaca, ia akan mendapatkan kesulitan yang besar ketika menghafal.


Perlu diketahui, wahai saudaraku! Membaca Al-Qur‘ân termasuk ibadah paling utama dan mendekatkan diri kepada Allah. Setiap huruf yang Anda baca mendapatkan satu kebaikan, dan kebaikan akan dilipatgandakan menjadi sepuluh kebaikan. Sama halnya dengan banyak membaca surat-surat yang telah dihafal, ia dapat menambah kemantapan hafalan dan tertanamnya dalam memori. Khususnya pada waktu shalat, maka bersungguh-sungguhlah Anda melakukan muraja‘ah yang telah dihafal dengan membacanya ketika shalat. Ingatlah, qiyamullail (bangun malam) dan ketika shalat tahajjud beberapa raka’at, Anda membaca ayat-ayat yang Anda hafal merupakan pintu paling agung di antara pintu-pintu ketaatan, dan membuat orang lain yang sulit menghafal menjadi iri terhadap apa yang Anda hafal.


Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membimbing kita kepada metode ini, yang merupakan kebiasaan orangorang shalih, supaya hafalan Al-Qur‘ân kita menjadi kuat melekat, dan selamat dari penyakit lupa. Dari Sahabat ‘Abdullâh bin ‘Umar Radhiallahu’anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:



Dan apabila shahibil-Qur‘ân (penghafal Al-Qur‘ân) menghidupkan malamnya, lalu membaca Al-Qur‘ân pada malam dan sianganya, niscaya ia akan ingat. Dan apabila dia tidak bangun, maka niscaya dia akan lupa. (HR Muslim).


EMPAT BELAS Menghafal Sendiri

Sedikit Manfaatnya Karena kebiasaan manusia itu menundanunda amalan. Setiap kali terlintas dalam pikirannya bahwa ia harus segera menghafal, datang kepadanya kesibukan-kesibukan dan jiwa yang mendorongnya untuk menunda amalan. Akibatnya membuat tekadnya cepat melemah. Adapun menghafal bersama seorang teman atau lebih, mereka akan membuat langkah-langkah tertentu. Masing-masing saling menguatkan antara yang satu dengan lainnya, sehingga menumbuhkan saling berlomba di antara mereka, serta memberi teguran kepada yang meremehkan. Inilah metode yang dapat mengantarkan kepada tujuan, Insya Allah.

Cobalah perhatikan, betapa banyak pemuda telah menghafal sekian juz di halaqah tahfizhul- Qur’ân di masjid, kemudian mereka disibukkan dari menghadiri halaqah ini. Mereka menyangka akan (mampu) menyempurnakan hafalan sendirian saja, dan tidak membutuhkan halaqah lagi. Tiba-tiba keinginan itu menjadi lemah lalu )ia pun) berhenti menghafal. Yang lebih parah lagi, orang yang seperti mereka kadang-kadang disibukkan oleh berbagai urusan dan pekerjaan. Kemudian mereka tidak mengulang hafalan yang telah dihafalnya. Hari pun berlalu, sedangkan semua hafalan mereka telah lupa. Mereka telah menyia-nyiakan semua yang telah mereka peroleh.



Menghafal sendiri bisa membuka peluang pada diri seseorang terjerumus ke dalam kesalahan saat ia mengucapkan sebagian kalimat. Tanpa ia sadari, kesalahan itu terkadang terus berlanjut dalam jangka waktu yang lama. Tatkala ia memperdengarkan hafalannya kepada orang lain atau kepada seorang ustadz di halaqah, maka kesalahannya akan nampak.


Oleh karena itu, wahai saudaraku! Pilihlah menghafal bersama mereka apa yang mudah bagi Anda untuk menghafalnya dari Kitabullâh, mengulang hafalan Anda bersama mereka. Ini merupakan sebaik-baik perkumpulan orangorang yang saling mencintai karena Allah Subhanallahu wa Ta’ala.


LIMA BELAS Teliti Terhadap Ayat-Ayat Mutasyabihat

Sangat penting untuk memperhatikan ayat-ayat mutasyabih (serupa) di sebagian lafazh-lafazhnya, dan membandingkan ayat-ayat mutasyabih itu di tempat-tempat (lainnya). Ketika Anda menghafalnya, alangkah baik jika ayat-ayat mutasyabih itu disalin di buku yang khusus. Supaya letak ayat-ayat mutasyabih itu dapat Anda ingat ketika mengulangi membacanya.

Dapat dilihat pada sebagian penghafal yang tidak memperhatikan letak ayat-ayat mutasyabih yang satu dengan lainnya. Sehingga mereka terjatuh dalam kesalahan ketika menyetor hafalan, disebabkan tidak memperhatikan letak ayat-ayat mutasyabih itu. Dalam hal ini, suatu ayat tertentu membuat mereka menjadi ragu dikarenakan menyerupai dengan ayat pada surat lain. Ketika membaca ayat-ayat tersebut, ternyata berpindah ke surat berikutnya tanpa mereka sadari. Bisa jadi ketika menyetor hafalan, kadangkala berpindah ke ayat mutasyabih yang ketiga atau keempat apabila ayat mutasyabih itu ada di beberapa tempat. Oleh karena itu, metode yang paling baik agar hafalan menjadi mantap, yaitu memusatkan perhatian terhadap ayat-ayat yang sama antara satu dengan lainnya. Curahkan kesungguhan dan fokuskan diri Anda dalam mencermatinya.

Para ulama telah menyusun berbagai kitab dalam masalah ini. Di antara kitab yang paling bagus. ialah kitab Mutasyabihul Quranil ‘Azhim karya Imam Abi al-Hasan bin al-Munadi wafat pada tahun 366 H, dan kitab Asraru Tikrari fil Quran karya seorang qari‘ handal, Muhammad bin Hamzah al-Karmani, seorang ulama abad kelima Hijriyah. Sebagian ulama juga menyusun Mandzumah Syi’riyyah (susunan bait-bait sya’ir) dalam masalah ini, untuk memudahkan para penuntut ilmu menghafalnya. Di antaranya, kitab Nudzhmu Mutasyabihil Quran karya Syaikh Muhammad at-Tisyiti, (ia) termasuk ulama abad kesebelas Hijriyah.
Imam Ibnu Munadi dalam menjelaskan pentingnya mengetahui letak (tempat-tempat) ayat-ayat Al-Qur‘ân yang mutasyabih, (beliau) berkata: “Mengetahui tempat-tempat ayat-ayat mutasyabih, sesungguhnya dapat membantu menambah kekuatan hafalan seseorang, dan melatih orang yang masih menghafal. Sebagian ahli qiraat telah membukukan hal ini, lalu menyebutnya dengan al-mutasyabih, penolak dari buruknya hafalan”.9

Oleh karena itu, bersungguh-sungguhlah, wahai saudaraku dengan wasiat dan bimbingan ini. Segeralah menghafal Kitabullâh, merenungi ayat-ayatnya, dan berpegang teguh dengan petunjuknya, sebab Kitabullâh merupakan cahaya yang nyata dan jalan yang lurus. Allah berfirman Subhanahu wa Ta’ala :

Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al Kitab yang kamu sembunyi kan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seidzin- Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus. (Qs al-Mâidah/5:15-16).

(1) Fadha‘ilul-Qur‘ân, karya Ibnu Katsir, hlm. 147.

(2) Mutasyabihul- Qur‘ânil-’Azhim, karya Imam Ibnu Munadi, hlm. 25.


(3) Tafsir Ibnu Katsir (3/432).

(4) Adabud-Du-nya wad-Dîn, karya al Mawardi, hlm. 57.

(5) Risalah Syarah Hadits Syaddâd bin Aus, karya Imam Ibnu Rajab, hlm. 37.

(6) Mutasyabihul- Qur‘ânil-Azhim, karya Ibnu Munadi, hlm. 56, secara ringkas.


(7) Mutasyabihul- Qur‘ânil-Azhim, hlm. 55, dan hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dalam kitab Shahîhnya, no. 2725.

(8) Mutasyabihul- Qur‘ânil-Azhim, hlm. 25.

(9) Mutasyabihul-Qur‘ânil-Azhim, hlm. 59, secara ringkas.



Majalah As-sunnah Edisi Ramadhan (06-07)/Tahun XI/1428H/2


Sumber:http://bukhari.or.id"

READ MORE - Berbenah Diri Untuk Penghafal Al-Qur’an

Desember 25, 2009

Surat Cinta Dari Manusia Yang Malamnya Penuh Cinta

Copas Dari Note Ummu 'Abdirrahman Al-Makassariyah (FB)

Kami tujukan kepada :

Insan yang tersia-sia malamnya
Assalamu'alaikum warohmatulloohi wabarokaatuh

Wahai orang-orang yang terpejam matanya,
Perkenankanlah kami, manusia-manusia malam menuliskan sebuah surat cinta kepadamu. Seperti halnya cinta kami pada waktu malam-malam yang kami rajut di sepertiga terakhir. Atau seperti cinta kami pada keagungan dan rahasianya yang penuh pesona. Kami tahu dirimu bersusah payah lepas tengah hari berharap intan dan mutiara dunia.
Namun kami tak perlu bersusah payah, sebab malam-malam kami berhiaskan intan dan mutiara dari surga.

Wahai orang-orang yang terlelap,
Sungguh nikmat malam-malammu. Gelapnya yang pekat membuat matamu tak mampu melihat energi cahaya yang tersembunyi di baliknya. Sunyi senyapnya membuat dirimu hanyut tak menghiraukan seruan cinta. Dinginnya yang merasuk semakin membuat dirimu terlena,menikmati tidurmu di atas pembaringan yang empuk, bermesraan dengan bantal dan gulingmu, bergeliat manja di balik selimutmu yang demikian hangatnya. Aduhai kau sangat menikmatinya.

Wahai orang-orang yang terlena,
Ketahuilah, kami tidak seperti dirimu !! Yang setiap malam terpejam matanya, yang terlelap pulas tak terkira. Atau yang terlena oleh suasananya yang begitu menggoda. Kami tidak seperti dirimu !! Kami adalah para perindu kamar di surga. Tak pernahkah kau dengar Sang Insan Kamil, Rasulullah SAW bersabda : "Sesungguhnya di surga itu ada kamar yang sisi luarnya terlihat dari dalam dan sisi dalamnya terlihat dari luar. Disediakan untuk mereka yang memberi makan orang-orang yang memerlukannya, menyebarkan salam serta mendirikan sholat pada saat manusia terlelap dalam tidur malam." Sudahkah kau dengar tadi ? Ya, sebuah kamar yang menakjubkan untuk kami dan orang-orang yang mendirikan sholat pada saat manusia-manusia yang lain tertutup mata dan hatinya.

Wahai orang-orang yang keluarganya hampa cinta,
Kau pasti pernah mendengar namaku disebut. Aku Abu Hurairah, Periwayat Hadist. Kerinduanku akan sepertiga malam adalah hal yang tak terperi. Penghujung malam adalah kenikmatanku terbesar. Tapi tahukah kau ? Kenikmatan itu tidak serta merta kukecap sendiri.
Kubagi malam-malamku yang penuh syahdu itu menjadi tiga. Satu untukku, satu untuk istriku tercinta dan satu lagi untuk pelayan yang aku kasihi. Jika salah satu dari kami selesai mendirikan sholat, maka kami bersegera membangunkan yang lain untuk menikmati bagiannya. Subhanallah, tak tergerakkah dirimu ? Pedulikah kau pada keluargamu ? Adakah kebaikan yang kau inginkan dari mereka ? Sekedar untuk membangunkan orang-orang yang paling dekat denganmu, keluargamu ?
Lain lagi dengan aku, Nuruddin Mahmud Zanki. Sejarah mencatatku sebagai Sang Penakluk kesombongan pasukan salib. Suatu kali seorang ulama tersohor Ibnu Katsir mengomentari diriku, katanya, " Nuruddin itu kecanduan sholat malam, banyak berpuasa dan berjihad dengan
akidah yang benar." Kemenangan demi kemenangan aku raih bersama pasukanku. Bahkan pasukan musuh itu terlibat dalam sebuah perbincangan seru. Kata mereka, " Nuruddin Mahmud Zanki menang bukan karena pasukannya yang banyak. Tetapi lebih karena dia mempunyai rahasia bersama Tuhan". Aku tersenyum, mereka memang benar. Kemenangan yang kuraih adalah karena do'a dan sholat-sholat malamku yang penuh kekhusyu'an.

Tahukah kau dengan orang yang selalu setia mendampingiku ? Dialah Istriku tercinta, Khotun binti Atabik. Dia adalah istri shalehah di mataku, terlebih di mata Alloh. Malam-malam kami adalah malam penuh kemesraan dalam bingkai Tuhan. Gemerisik dedaunan dan desahan angin
seakan menjadi pernak-pernik kami saat mendung di mata kami jatuh berderai dalam sujud kami yang panjang.

Kuceritakan padamu suatu hari ada kejadian yang membuat belahan jiwaku itu tampak murung. Kutanyakan padanya apa gerangan yang membuatnya resah. Ya Allah, ternyata dia tertidur, tidak bangun pada malam itu, sehingga kehilangan kesempatan untuk beribadah. Astaghfirulloh, aku menyesal telah membuat dia kecewa. Segera setelah peristiwa itu kubayar saja penyesalanku dengan mengangkat seorang pegawai khusus untuknya. Pegawai itu kuperintahkan untuk menabuh genderang agar kami terbangun di sepertiga malamnya.

Wahai orang-orang yang terbuai,
Kau pasti mengenalku dalam kisah pembebasan Al Aqso, rumah Allah yang diberkati. Akulah pengukir tinta emas itu, seorang Panglima Perang, Sholahuddin Al-Ayyubi. Orang-orang yang hidup di zamanku mengenalku tak lebih dari seorang Panglima yang selalu menjaga sholat berjama'ah. Kesenanganku adalah mendengarkan bacaan Alqur'an yang indah dan syahdu. Malam-malamku adalah saat yang paling kutunggu. Saat-saat dimana aku bercengkerama dengan Tuhanku. Sedangkan siang hariku adalah perjuangan-perjuangan nyata, pengejawantahan cintaku pada-Nya.

Wahai orang-orang yang masih saja terlena,
Pernahkah kau mendengar kisah penaklukan Konstantinopel ? Akulah orang dibalik penaklukan itu, Sultan Muhammad Al Fatih. Aku sangat lihai dalam memimpin bala tentaraku. Namun tahukah kau bahwa sehari sebelum penaklukan itu, aku telah memerintahkan kepada pasukanku untuk berpuasa pada siang harinya. Dan saat malam tiba, kami laksanakan sholat malam dan munajat penuh harap akan pertolongan-Nya.Jika Allah memberikan kematian kepada kami pada siang hari disaat kami berjuang, maka kesyahidan itulah harapan kami terbesar. Biarlah siang hari kami berada di ujung kematian, namun sebelum itu, di ujung malamnya Alloh temukan kami berada dalam kehidupan. Kehidupan dengan menghidupi malam kami.

Wahai orang-orang yang gelap mata dan hatinya,
Pernahkah kau dengar kisah Penduduk Basrah yang kekeringan ? Mereka sangat merindukan air yang keluar dari celah-celah awan. Sebab terik matahari terasa sangat menyengat, padang pasir pun semakin kering dan tandus. Suatu hari mereka sepakat untuk mengadakan Sholat Istisqo yang langsung dipimpin oleh seorang ulama di masa itu. Ada wajah-wajah besar yang turut serta di sana, Malik bin Dinar, Atho' As-Sulami, Tsabit Al-Bunani. Sholat dimulai, dua rakaat pun usai. Harapan terbesar mereka adalah hujan-hujan yang penuh berkah.

Namun waktu terus beranjak siang, matahari kian meninggi, tak ada tanda-tanda hujan akan turun. Mendung tak datang, langit membisu, tetap cerah dan biru. Dalam hati mereka bertanya-tanya, adakah dosa-dosa yang kami lakukan sehingga air hujan itu tertahan di langit ? Padahal kami semua adalah orang-orang terbaik di negeri ini ?

Sholat demi sholat Istisqo didirikan, namun hujan tak kunjung datang. Hingga suatu malam, Malik bin Dinar dan Tsabit Al Bunani terjaga di sebuah masjid. Saat malam itulah, aku, Maimun, seorang pelayan, berwajah kuyu, berkulit hitam dan berpakaian usang, datang ke masjid itu. Langkahku menuju mihrab, kuniatkan untuk sholat Istisqo sendirian, dua orang terpandang itu mengamati gerak gerikku.
Setelah sholat, dengan penuh kekhusyu'an kutengadahkan tanganku ke langit, seraya berdo'a :
"Tuhanku, betapa banyak hamba-hamba-Mu yang berkali-kali datang kepada-Mu memohon sesuatu yang sebenarnya tidak mengurangi sedikitpun kekuasaan-Mu. Apakah ini karena apa yang ada pada-Mu sudah habis ? Ataukah perbendaharaan kekuasaan-Mu telah hilang Tuhanku, aku bersumpah atas nama-Mu dengan kecintaan-Mu kepadaku agar Engkau berkenan memberi kami hujan secepatnya."
Lalu apa gerangan yang terjadi ? Angin langsung datang bergemuruh dengan cepat, mendung tebal di atas langit. Langit seakan runtuh mendengar do'a seorang pelayan ini. Do'aku dikabulkan oleh Tuhan, hujan turun dengan derasnya, membasahi bumi yang tandus yang sudah lama merindukannya.
Malik bin Dinar dan Tsabit Al Bunani pun terheran-heran dan kau pasti juga heran bukan ? Aku, seorang budak miskin harta, yang hitam pekat, mungkin lebih pekat dari malam-malam yang kulalui. Hanya manusia biasa, tapi aku menjadi sangat luar biasa karena doaku yang
makbul dan malam-malam yang kupenuhi dengan tangisan dan taqarrub pada-Nya.

Wahai orang-orang yang masih saja terpejam,
Penghujung malam adalah detik-detik termahal bagiku, Imam Nawawi. Suatu hari muridku menanyakan kepadaku, bagaimana aku bisa menciptakan berbagai karya yang banyak ? Kapan aku beristirahat, bagaimana aku mengatur tidurku ? Lalu kujelaskan padanya, "Jika aku
mengantuk, maka aku hentikan sholatku dan aku bersandar pada buku-bukuku sejenak.
Selang beberapa waktu jika telah segar kembali, aku lanjutkan ibadahku."
Aku tahu kau pasti berpikir bahwa hal ini sangat sulit dijangkau oleh akal sehatmu. Tapi lihatlah, aku telah melakukannya, dan sekarang kau bisa menikmati karya-karyaku.

Wahai orang-orang yang tergoda,
Begitu kuatkah syetan mengikat tengkuk lehermu saat kau tertidur pulas ? Ya, sangat kuat, tiga ikatan di tengkuk lehermu !! Dia lalu menepuk setiap ikatan itu sambil berkata, "Hai manusia, Engkau masih punya malam panjang, karena itu tidurlah !!".

Hei, Sadarlah, sadarlah, jangan kau dengarkan dia, itu tipu muslihatnya ! Syetan itu berbohong kepadamu. Maka bangunlah, bangkitlah, kerahkan kekuatanmu untuk menangkal godaannya. Sebutlah nama Alloh, maka akan lepas ikatan yang pertama. Kemudian, berwudhulah, maka akan lepas ikatan yang kedua. Dan yang terakhir, sholatlah, sholat seperti kami, maka akan lepaslah semua ikatan- ikatan itu.

Wahai orang-orang yang masih terlelap,
Masihkah kau menikmati malam-malammu dengan kepulasan ? Masihkah ? Adakah tergerak hatimu untuk bangkit, bersegera, mendekat kepada-Nya,bercengkerama dengan-Nya, memohon keampunan-Nya, meski hanya 2 rakaat ? Tidakkah kau tahu, bahwa Alloh turun ke langit bumi pada 1/3 malam yang pertama telah berlalu. Tidakkah kau tahu, bahwa Dia berkata, "Akulah Raja, Akulah Raja, siapa yang memohon kepada-Ku akan Kukabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku akan Kuberi, dan siapa yang memohon ampun kepada-Ku akan Ku ampuni. Dia terus berkata demikian, hingga fajar merekah.

Wahai orang-orang yang terbujuk rayu dunia,
Bagi kami, manusia-manusia malam, dunia ini sungguh tak ada artinya. Malamlah yang memberi kami kehidupan sesungguhnya. Sebab malam bagi kami adalah malam-malam yang penuh cinta, sarat makna. Masihkah kau terlelap ? Apakah kau menginginkan kehidupan sesungguhnya ? Maka ikutilah jejak kami, manusia-manusia malam. Kelak kau akan temukan cahaya di sana, di waktu sepertiga malam. Namun jika kau masih ingin terlelap, menikmati tidurmu di atas pembaringan yang empuk, bermesraan dengan bantal dan gulingmu, bergeliat manja di balik
selimutmu yang demikian hangatnya, maka surat cinta kami ini sungguh tak berarti apa-apa bagimu.

Semoga Allah mempertemukan kita di sana, di surga-Nya, mendapati dirimu dan diri kami dalam kamar-kamar yang sisi luarnya terlihat dari dalam dan sisi dalamnya terlihat dari luar. Semoga...
Wassalamu'alaikum warahmatulloohi wabarokaatuh
(Manusia-Manusia Malam)

Sumber : muslim sources
READ MORE - Surat Cinta Dari Manusia Yang Malamnya Penuh Cinta

HUKUM PERAYAAN MENYAMBUT TAHUN BARU MASEHI

HUKUM PERAYAAN MENYAMBUT TAHUN BARU MASEHI

Oleh : Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta

Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta ditanya :
[1]. Pada beberapa hari belakangan ini, kami menyaksikan betapa gencarnya liputan mass-media mass-media (cetak maupun elektronik) dalam rangka menyambut datangnya tahun 2000M dan permulaan Milenium Ketiga seputar kejadian-kejadian dan prosesi-prosesinya. Terlihat bahwa orang-orang kafir dari kalangan yahudi dan nashrani serta selain mereka begitu suka cita menggantungkan harapan-harapan dengan adanya hal itu.

Pertanyaannya, wahai Syaikh yang mulia. Sesungguhnya sebagian mereka yang menisbatkan diri sebagai orang Islam telah juga menunjukkan perhatiannya terhadap hal ini dan menganggapnya sebagai momentum bahagia sehingga mengaitkan hal itu dengan pernikahan, pekerjaan mereka atau memajang/menempelkan pengumuman tentang hal itu di altar-altar perdagangan atau perusahaan mereka dan lain sebagainya yang menimbulkan dampak negatif bagi seorang Muslim.

Dalam hal ini, apakah hukum mengangungkan momentum seperti itu dan menyambutnya serta saling mengucapkan selamat karenanya, baik secara lisan, melalui kartu khusus yang dicetak dan lain sebagainya, menurut syari'at Islam ? Semoga Allah memberikan ganjaran pahala kepada anda atas amal shalih terhadap Islam dan kaum Muslimin dengan sebaik-baik ganjaran.

[2]. Dalam versi pertanyaan yang lain : Orang-orang yahudi dan nashrani bersiap-siap untuk menyambut datang tahun baru 2000 Masehi berdasarkan sejarah mereka dalam bentuk yang tidak lazim demi mempromosikan program-program serta keyakinan-keyakinan mereka di seluruh dunia, khususnya di negeri-negeri Islam.

Sebagian kaum Muslimin telah terpengaruh dengan promosi ini sehingga mereka nampak mempersiapkan segala sesuatunya untuk hal itu, dan di antara mereka ada yang mengumumkan potongan harga (diskon) atas barang dagangannnya spesial buat momentum ini. Kiranya, dikhawatirkan kelak hal ini berkembang menjadi aqidah kaum Muslimin di dalam ber-wala' (loyal) terhadap orang-orang non Muslim.

Kami berharap mendapatkan penjelasan anda seputar hukum keikutsertaan kaum Muslimin dalam momentum-momentum kaum kafir, mempromosikan hal itu dan menyambutnya. Demikian juga hukum menon-aktifkan kegiatan kerja oleh sebagian lembaga dari perusahaan berkenaan dengan hal itu.

Apakah melakukan sesuatu dari hal-hal tersebut dan semisalnya atau rela terhadapnya mempengaruhi aqidah seorang Muslim ?

Jawaban.
Sesungguhnya nikmat yang paling besar yang dianugrahkan oleh Allah kepada para hambaNya adalah nikmat Islam dan hidayah kepada jalanNya yang lurus. Di antara rahmatNya pula, Allah Ta'ala mewajibkan kepada para hambaNya, kaum Mukminin, agar memohon hidayahNya di dalam shalat-shalat mereka. Mereka memohon kepadaNya agar mendapatkan hidayah ke jalan yang lurus dan mantap di atasnya. Dalam hal ini, Allah Ta'ala telah memberikan spesifikasi jalan (shirath) ini sebagai jalan para Nabi, Ash-Shiddiqin, Syuhada dan orang-orang shalih yang Dia anugrahkan nikmatNya kepada mereka. Jadi, bukan jalan orang-orang yahudi, nashrani dan seluruh orang-orang kafir dan musyrik yang menyimpang darinya.

Bila hal ini sudah diketahui, maka adalah wajib bagi seorang Muslim untuk mengenal kadar nikmat Allah kepadanya sehingga dengan itu, dia mau bersyukur kepadaNya melalui ucapan, perbuatan dan keyakinan. Dalam pada itu, dia juga akan menjaga nikmat ini dan membentenginya serta melakukan sebab-sebab yang dapat menjaga hilangnnya nikmat tersebut.

Bagi orang yang diberikan bashiroh (pemahaman mendalam) terhadap Dienullah di saat kondisi dunia dewasa ini yang diselimuti oleh pencampuradukan antara al-haq dan kebatilan pada kebanyakan orang, dia akan mengetahui dengan jelas upaya keras yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam untuk menghapus kebenarannya dan memadamkan cahayanya, upaya menjauhkan kaum Muslimin darinya serta memutuskan kontak mereka dengannya melalui berbagai sarana yang memungkinkan. Belum lagi, upaya memperburuk citra Islam dan melabelkan tuhudan dan kebohongan-kebohongan terhadanya guna menghadang seluruh manusia dari jalan Allah dan dari beriman kepada wahyu yang diturunkan kepada RasulNya, Muhammad bin Abdullah. Pembenaran statement ini dibuktikan oleh firman-firman Allah Ta'ala.

"Sebagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kami beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran" [Al-Baqarah : 109]

"Segolongan dari ahli kitab ingin menyesatkan kamu, padahal mereka (sebenarnya) tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak menyadarinya" [Ali-Imran : 69]

"Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mentaati orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi" [Ali-Imran : 149]

"Katakanlah, Hai ahli kitab, mengapa kamu menghalang-halangi dari jalan Allah orang-orang yang telah beriman, kamu menghendakinya menjadi bengkok, padahal kamu menyaksikan, "Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan" [Ali Imran : 99]

Dan ayat-ayat lainnya. Akan tetapi meskipun demikian, Allah Ta'ala telah berjanji untuk mejaga dienNya dan kitabNya, dalam firmanNya.

"Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya" [Al-Hijr : 9]

Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberitakan bahwa akan selalu muncul suatu golongan dari umatnya yang berjalan di atas al-haq, tidak membahayakan mereka orang yang menghinakan mereka ataupun menentang mereka hingga terjadi hari Kiamat. Segala puji bagi Allah pujian yang banyak dan kita memohon kepadaNya Yang Maha Dekat dan Mengabulkan Permohonan agar menjadikan kita dan saudara-saudara kita kaum Muslimin termasuk dari golongan tersebut, sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia.

Dengan ini, Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Ilmiah wal Ifta setelah mendengar dan melihat adanya penyambutan yang demikian meriah dan perhatian yang serius dan beberapa golongan orang-orang yahudi dan nashrani serta orang-orang yang menisbatkan diri kepada Islam yang terpengaruh oleh mereka berkenaan dengan telah berakhirnya momentum tahun 2000 dan menyongsong Milenium Ketiga menurut Kalender Masehi, maka suka tidak suka, Lajnah Daimah Lil Buhuts Ilmiah wal Ifta wajib memberikan nasehat dan penjelasan kepada seluruh kaum Muslimin tentang hakikat momentum ini serta hukum syariat yang suci ini terhadapnya sehingga kaum Muslimin memahami dengan baik dien mereka dan berhati-hati. Dengan demikian, tidak terjerumus ke dalam kesesatan-kesesatan orang-orang yahudi yang dimurkai dan orang-orang nashrani yang sesat.

Karenanya, kami menyatakan.

Pertama.
Sesungguhnya orang-orang yahudi dan nashrani menggantungkan kejadian-kejadian, keluh-kesah dan harapan-harapan mereka kepada momentum Milenium ini dengan begitu yakin akan terealisasinya hal itu atau paling tidak, hampir demikian karena menurut anggapan mereka hal ini sudah melalui proses kajian dan penelitian. Demikian pula, mereka mengait-ngaitkan sebagian permasalahan aqidah mereka dengan momentum ini dengan anggapan bahwa hal itu berasal dari ajaran kitab-kitab mereka yang sudah dirubah. Jadi, adalah wajib bagi seorang Muslim untuk tidak menoleh kepada hal itu dan tergoda olehnya bahkan semestinya merasa cukup dengan Kitab Rabbnya Ta'ala dan Sunnah Nabinya Shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak memerlukan lagi selain keduanya. Sedangkan teori-teori dan pendapat-pendapat yang bertentangan dengan keduanya, ia tidak lebih hanya sekedar berupa ilusi belaka.

Kedua.
Momentum ini dan semisalnya tidak luput dari pencampuradukan antara al-haq dan kebatilan, propaganda kepada kekufuran, kesesatan, permisivisme (serba boleh) dan atheisme serta pemunculan sesuatu yang menurut syari'at adalah sesuatu yang mungkar. Di antara hal itu adalah propaganda kepada penyatuan agama-agama (pluralisme), penyamaan Islam dengan aliran-aliran dan sekte-sekte sesat lainnya, penyucian terhadap salib dan penampakan syi'ar-syi'ar kekufuran yang dilakukan oleh orang-orang nashrani dan yahudi serta perbuatan-pebuatan dan ucapan-ucapan semisal itu yang mengandung beberapa hal ; bisa jadi, pernyataan bahwa syari'at nashrani dan yahudi yang sudah diganti dan dihapus tersebut dapat menyampaikan kepada Allah. Bisa jadi pula, berupa anggapan baik terhadap sebagian dari ajaran kedua agama tersebut yang bertentangan dengan dien al-Islam. Atau hal selain itu yang merupakan bentuk kekufuran kepada Allah dan RasulNya, kepada Islam dan ijma' umat ini. Belum lagi, hal itu adalah sebagai salah satu sarana westernisasi kaum Muslimin dari ajaran-ajaran agama mereka.


Ketiga
Banyak sekali dalil-dalil dari Kitabullah, as-Sunnah dan atsar-atsar yang shahih yang melarang untuk menyerupai orang-orang kafir di dalam hal yang menjadi ciri dan kekhususan mereka. Di antara hal itu adalah menyerupai mereka dalam perayaan hari-hari besar dan pesta-pesta mereka. Hari besar ('Ied) maknanya (secara terminologis) adalah sebutan bagi sesuatu, termasuk didalamnya setiap hari yang datang kembali dan terulang, yang diagung-agungkan oleh orang-orang kafir. Atau sebutan bagi tempat orang-orang kafir dalam menyelenggarakan perkumpulan keagamaan. Jadi, setiap perbuatan yang mereka ada-adakan di tempat-tempat atau waktu-waktu seperti ini maka itu termasuk hari besar ('Ied) mereka. Karenanya, larangannya bukan hanya terhadap hari-hari besar yang khusus buat mereka saja, akan tetapi setiap waktu dan tempat yang mereka agungkan yang sesungguhnya tidak ada landasannya di dalam dien Islam, demikian pula, perbuatan-perbuatan yang mereka ada-adakan di dalamnya juga termasuk ke dalam hal itu. Ditambah lagi dengan hari-hari sebelum dan sesudahnya yang nilai religiusnya bagi mereka sama saja sebagaimana yang disinggung oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah. Di antara ayat yang menyebutkan secara khusus larangan menyerupai hari-hari besar mereka adalah firmanNya.

"Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu" [Al-Furqan : 72]

Ayat ini berkaitan dengan salah satu sifat para hamba Allah yang beriman. Sekelompok Salaf seperti Ibnu Sirin, Mujahid dan Ar-Rabi' bin Anas menafsirkan kata "Az-Zuura" (di dalam ayat tersebut) sebagai hari-hari besar orang kafir.

Dalam hadits yang shahih dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, dia berkata, Saat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam datang ke Madinah, mereka memiliki dua hari besar ('Ied) untuk bermain-main. Lalu beliau bertanya, "Dua hari untuk apa ini ?". Mereka menjawab, "Dua hari di mana kami sering bermain-main di masa Jahiliyyah". Lantas beliau bersabda.

"Sesungguhnya Allah telah menggantikan bagi kalian untuk keduanya dua hari yang lebih baik dari keduanya : Iedul Adha dan Iedul Fithri" [1]

Demikian pula terdapat hadits yang shahih dari Tsabit bin Adl-Dlahhak Radhiyallahu 'anhu bahwasanya dia berkata, "Seorang laki-laki telah bernadzar pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menyembelih onta sebagai qurban di Buwanah. Lalu dia mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sembari berkata.

"Sesungguhnya aku telah bernadzar untuk menyembelih onta sebagai qurban di Buwanah. Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya, 'Apakah di dalamnya terdapat salah satu dari berhala-berhala Jahiliyyah yang disembah ? Mereka menjawab, 'Tidak'. Beliau bertanya lagi. 'Apakah di dalamnya terdapat salah satu dari hari-hari besar mereka ?'. Mereka menjawab, 'Tidak'. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Tepatilah nadzarmu karena tidak perlu menepati nadzar di dalam berbuat maksiat kepada Allah dan di dalam hal yang tidak dipunyai (tidak mampu dilakukan) oleh manusia" [2]

Umar bin Al-Khaththtab Radhiyallahu 'anhu berkata, "Janganlah kalian mengunjungi kaum musyrikin di gereja-gereja (rumah-rumah ibadah) mereka pada hari besar mereka karena sesungguhnya kemurkaan Allah akan turun atas mereka" [3]

Dia berkata lagi, "Hindarilah musuh-musuh Allah pada momentum hari-hari besar mereka" [4]

Dan dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash Radhiyallahu 'anhu, dia berkata, "Barangsiapa yang berdiam di negeri-negeri orang asing, lalu membuat tahun baru dan festifal seperti mereka serta menyerupai mereka hingga dia mati dalam kondisi demikian, maka kelak dia akan dikumpulkan pada hari kiamat bersama mereka" [5]

Keempat.
Merayakan hari-hari besar orang-orang kafir juga dilarang karena alasan-alasan yang banyak sekali, di antaranya :

[a]. Menyerupai mereka dalam sebagian hari besar mereka mengandung konsekwensi bergembira dan membuat mereka berlapang dada terhadap kebatilan yang sedang mereka lakukan.

[b]. Menyerupai mereka dalam gerak-gerik dan bentuk pada hal-hal yang bersifat lahiriah akan mengandung konsekwensi menyerupai mereka pula dalam gerak-gerik dan bentuk pada hal-hal yang bersifat batiniah yang berupa 'aqidah-aqidah batil melalui cara mencuri-curi dan bertahap lagi tersembunyi.

Dampak negatif yang paling besar dari hal itu adalah menyerupai orang-orang kafir secara lahiriah akan menimbulkan sejenis kecintaan dan kesukaan serta loyalitas secara batin. Mencintai dan loyal terhadap mereka menafikan keimanan sebagaimana firman Allah Ta'ala.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang yahudi dan nashrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu) ; sebagaimana mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin ; maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim" [Al-Maidah : 51]

Dan firmanNya.

"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih saying dengan orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya" [Al-Mujadillah : 22]

Kelima.
Berdasarkan paparan yang telah dikemukakan di atas, maka tidak boleh hukumnya seorang Muslim yang beriman kepada Allah sebagai Rabb dan Islam sebagai agama serta Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, mengadakan perayaan-perayaan hari-hari besar yang tidak ada landasannya dalam dien Islam, termasuk diantaranya pesta 'Milenium' rekaan tersebut. Juga, tidak boleh hadir pada acaranya, berpartisipasi dan membantu dalam pelaksanaannya dalam bentuk apapun karena hal itu termasuk dosa dan melampaui aturan-aturan Allah sedangkan Allah sendiri terlah berfirman, "Dan janganlah bertolong-tolongan di atas berbuat dosa dan melampaui batas, bertakwalah kepada Allah karena sesungguhnya Allah amat pedih siksaanNya" [Al-Maidah : 2]

Keenam.
Seorang Muslim tidak boleh saling tolong menolong dengan orang-orang kafir dalam bentuk apapun dalam hari-hari besar mereka. Di antara hal itu adalah mempromosikan dan mengumumkan hari-hari besar mereka, termasuk pesta 'milenium' rekaan tersebut. Demikian pula, mengajak pada hal itu dengan sarana apapun baik melalui mass media, memasang jam-jam dan pamflet-pamflet bertuliskan angka, membuat pakaian-pakaian dan plakat-plakat kenangan, mencetak kartu-kartu dan buku-buku tulis sekolah, memberikan diskon khusus pada dagangan dan hadiah-hadiah uang dalam rangka itu, kegiatan-kegiatan olah raga ataupun menyebarkan symbol khusus untuk hal itu.

Ketujuh
Seorang Muslim tidak boleh menganggap hari-hari besar orang-orang kafir, termasuk pesta Milenium rekaan tersebut sebagai momentum-momentum yang membahagiakan atau waktu-waktu yang diberkahi sehingga karenanya meliburkan pekerjaan, menjalin ikatan perkawinan, memulai aktifitas bisnis, membuka proyek-proyek baru dan lain sebagainya. Tidak boleh dia meyakini bahwa hari-hari seperti itu memiliki keistimewaan yang tidak ada pada hari selainnya karena hari-hari tersebut sama saja dengan hari-hari biasa lainnya, dan karena hal ini merupakan keyakinan yang rusak yang tidak dapat merubah hakikat sesuatu bahkan keyakinan seperti ini adalah dosa di atas dosa, kita memohon kepada Allah agar diselamatkan di terbebas dari hal itu.

Kedelapan
Seorang Muslim tidak boleh mengucapkan selamat terhadap hari-hari besar orang-orang kafir karena hal itu merupakan bentuk kerelaan terhadap kebatilan yang tengah mereka lakukan dan membuat mereka bergembira, karenanya Ibnu Al-Qayyim berkata " Adapun mengucapkan selamat terhadap syi'ar-syi'ar keagamaan orang-orang kafir yang khusus bagi mereka, maka haram hukumnya menurut kesepakatan para ulama, seperti mengucapkan selamat dalam rangka hari-hari besar mereka dan puasa mereka, seperti mengucapkan 'Semoga hari besar ini diberkahi' atau ucapan semisalnya dalam rangka hari besar tersebut. Dalam hal ini, kalaupun pengucapnya lolos dari kekufuran akan tetapi dia tidak akan lolos dari melakukan hal yang diharamkan. Hal ini sama posisinya dengan bilamana dia mengucpkan selamat karena dia (orang kafir) itu sujud terhadap salib. Bahkan, dosa dan kemurkaan terhafap hal itu lebih besar dari sisi Allah ketimbang mengucapkan selamat atas minum khamr, membunuh jiwa yang tidak berdosa, berzina dan semisalnya. Banyak sekali orang yang tidak memiliki sedikitpun kadar dien pada dirinya terjerumus ke dalam hal itu dan dia tidak menyadari jeleknya perbuatannya. Maka, siapa saja yang mengucapkan selamat kepada seorang hamba karena suatu maksiat, bid'ah atau kekufuran yang dilakukannya, berarti dia telah mendapatkan kemurkaan dan kemarahan Allah"

Kesembilan.
Adalah suatu kehormatan bagi kaum Muslimin untuk berkomitmen terhadap sejarah hijrah Nabi mereka, Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam yang disepakati pula orang para sahabat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam secara ijma' dan mereka jadikan kalender tanpa perayaan apapun. Hal itu kemudian diteruskan secara turun temurun oleh kaum Muslimin yang datang setelah mereka, sejak 14 abad yang lalu hingga saat ini. Karenaya seorang Muslim tidak boleh mengalihkan penggunaan kalender Hijriah kepada kelender umat-umat selainnya, seperti kalender Masehi ini ; karena termasuk perbuatan menggantikan yang lebih baik dengan yang lebih jelek. Dari itu kami wasiatkan kepada seluruh saudara-saudara kami, kaum Muslimin, agar bertaqwa kepada Allah dengan sebenar-sebenar takwa, berbuat ta'at dan menjauhi kemaksiatan terhadapNya serta saling berwasiat dengan hal itu dan sabar atasnya.

Hendaknya setiap Mukmin yang menjadi penasehat bagi dirinya dan antusias terhadap keselamatannya dari murka Allah dan laknatNya di dunia dan Akhirat berusaha keras di dalam merealisasikan ilmu dan iman, menjadikan Allah semata sebagai Pemberi petunjuk, Penolong, Hakim dan Pelindung, karena sesungguhnya Dia-lah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong. Cukuplah Rabbmu sebagai Pemberi Petunjuk dan Penolong serta berdo'alah selalu dengan do'a Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut ini.

"Ya, Allah, Rabb Jibril, Mikail, Israfil. Pencipta lelangit dan bumi. Yang Maha Mengetahui hal yang ghaib dan nyata. Engkau memutuskan hal yang diperselisihkan di antara para hambaMu, berilah petunjuk kepadaku terhadap kebenaran yang diperselisihkan dengan idzinMu, sesungguhnya Engkau menunjuki orang yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus" [6]

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam.

Wa Shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammad Wa Alihi Wa Shahbihi

[Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta, No. 21049, tgl. 12-08-1420]

__________
Foote Note
[1]. Dikelaurkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnadnya, No. 11595, 13058, 13210. Sunan Abu Daud, kitab Ash-Shalah No. 1134, Sunan An-Nasa'i, Kitab Shalah Al-Iedain, No. 1556 dengan sanad yang shahih.
[2]. Dikeluarkan oleh Abu Daud, Kitab Al-Aiman Wa An-Nadzar, No. 3313 denan sanad shahih.
[3]. Dikeluarkan oleh Imam Al-Baihaqy No. 18640
[4]. Ibid No. 18641
[5]. 'Aun Al-Ma'bud Syarh Sunan Abi Daud, Syarh hadits no. 3512
[6]. Dikeluarkan oleh Imam Muslim di dalam shahihnya, Kitab Shalah Al-Musafirin, No. 770

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Darul Haq]

__________________________
_______________________

HUKUM MENYAMBUT DAN BERGEMBIRA DENGAN HARI RAYA ORANG-ORANG KAFIR

Oleh : Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan

Sesungguhnya di antara konsekwensi terpenting dari sikap membenci orang-orang kafir ialah menjauhi syi'ar dan ibadah mereka. Sedangkan syi'ar mereka yang paling besar adalah hari raya mereka, baik yang berkaitan dengan tempat maupun waktu. Maka orang Islam berkewajiban menjauhi dan meninggalkannya.

Ada seorang lelaki yang datang kepada baginada Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk meminta fatwa karena ia telah bernadzar memotong hewan di Buwanah (nama sebuah tempat), maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menanyakan kepadanya.

"Apakah disana ada berhala, dari berhala-berhala orang Jahiliyah yang disembah ?" Dia menjawab, "Tidak". Beliau bertanya, "Apakah di sana tempat dilaksanakannya hari raya dari hari raya mereka ?" Dia menjawab, "Tidak". Maka Nabi bersabda, "Tepatillah nadzarmu, karena sesungguhnya tidak boleh melaksanakan nadzar dalam maksiat terhadap Allah dalam hal yang tidak dimiliki oleh anak Adam" [1]

Hadits diatas menunjukkan, tidak bolehnya menyembelih untuk Allah di bertepatan dengan tempat yang digunakan menyembelih untuk selain Allah ; atau di tempat orang-orang kafir merayakan pesta atau hari raya. Sebab hal itu berarti mengikuti mereka dan menolong mereka di dalam mengagungkan syi'ar-syi'ar mereka, dan juga karena menyerupai mereka atau menjadi wasilah yang mengantarkan kepada syirik. Begitu pula ikut merayakan hari raya (hari besar) mereka mengandung wala' (loyalitas) kepada mereka dan mendukung mereka dalam menghidupkan syi'ar-syi'ar mereka.

Di antara yang dilarang adalah menampakkan rasa gembira pada hari raya mereka, meliburkan pekerjaan (sekolah), memasak makanan-makanan sehubungan dengan hari raya mereka. Dan diantaranya lagi ialah mempergunakan kalender Masehi, karena hal itu menghidupkan kenangan terhadap hari raya Natal bagi mereka. Karena itu para shahabat menggunakan kalender Hijriyah sebagai gantinya.

Syaikhul Islam Ibnu Timiyah berkata, "Ikut merayakan hari-hari besar mereka tidak diperbolehkan karena dua alasan".:

Pertama.
Bersifat umum, seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa hal tersebut berarti mengikuti ahli Kitab, yang tidak ada dalam ajaran kita dan tidak ada dalam kebiaasaan Salaf. Mengikutinya berarti mengandung kerusakan dan meninggalkannya terdapat maslahat menyelisihi mereka. Bahkan seandainya kesamaan yang kita lakukan merupakan sesuatu ketetapan semata, bukan karena mengambilnya dari mereka, tentu yang disyari'atkan adalah menyelisihiya karena dengan menyelisihinya terdapat maslahat seperti yang telah diisyaratkan di atas. Maka barangsiapa mengikuti mereka, dia telah kehilangan maslahat ini sekali pun tidak melakukan mafsadah (kerusakan) apapun, terlebih lagi kalau dia melakukannya.

Alasan Kedua.
Karena hal itu adalah bid'ah yang diada adakan. Alasan ini jelas menunjukkan bahwa sangat dibenci hukumnya menyerupai mereka dalam hal itu".

Beliau juga mengatakan, "Tidak halal bagi kaum muslimin bertasyabuh (menyerupai) mereka dalam hal-hal yang khusus bagi hari raya mereka ; seperti, makanan, pakaian, mandi, menyalakan lilin, meliburkan kebiasaan seperti bekerja dan beribadah ataupun yang lainnya. Tidak halal mengadakan kenduri atau memberi hadiah atau menjual barang-barang yang diperlukan untuk hari raya tersebut. Tidak halal mengizinkan anak-anak ataupun yang lainnya melakukan permainan pada hari itu, juga tidak boleh menampakkan perhiasan.

Ringkasnya, tidak boleh melakukan sesuatu yang menjadi ciri khas dari syi'ar mereka pada hari itu.

Hari raya mereka bagi umat Islam haruslah seperti hari-hari biasanya, tidak ada hal istimewa atau khusus yang dilakukan umat Islam. Adapun jika dilakukan hal-hal tersebut oleh umat Islam dengan sengaja [2] maka berbagai golongan dari kaum salaf dan khalaf menganggapnya makruh. Sedangkan pengkhususan seperti yang tersebut di atas maka tidak ada perbedaan di antara ulama, bahkan sebagian ulama menganggap kafir orang yang melakukan hal tersebut, karena dia telah mengagungkan syi'ar-syi'ar kekufuran.

Segolongan ulama mengatakan. "Siapa yang menyembelih kambing pada hari raya mereka (demi merayakannya), maka seolah-olah dia menyembelih babi". Abdullah bin Amr bin Ash berkata, "Siapa yang mengikuti negera-negara 'ajam (non Islam)dan melakukan perayaan Nairuz [3] dan Mihrajan [4] serta menyerupai mereka sampai ia meninggal dunia dan dia belum bertobat, maka dia akan dikumpulkan bersama mereka pada Hari Kiamat [5]

________
Foot Note
[1]. Hadits Riwayat Abu Daud dengan sanad yang sesuai dengan syarat Al-Bukhari dan Muslim]
[2]. Mungkin yang dimaksud (yang benar) adalah 'tanpa sengaja'.
[3]. Nairuz atau Nauruz (bahasa Persia) hari baru, pesta tahun baru Iran yang bertepatan dengan tanggal 21 Maret -pent.
[4]. Mihrajan, gabungan dari kata mihr (matahari) dan jan (kehidupan atau ruh), yaitu perayaan pada pertengahan musim gugur, di mana udara tidak panas dan tidak dingin. Atau juga merupakan istilah bagi pesta yang diadakan untuk hari bahagia -pent.
[5]. Majmu' Fatawa 25/329-330

[Disalin dari kitab At-Tauhid Lish-Shaffil Awwal Al-Aliy, Edisi Indonesia, Kitab Tauhid 1, Penulis Dr Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Penerbit Darul Haq]


copy dari note FB Abu Ayaz

READ MORE - HUKUM PERAYAAN MENYAMBUT TAHUN BARU MASEHI

HARI ASYURA 10 MUHARRAM ANTARA SUNNAH DAN BID’AH

HARI ASYURA 10 MUHARRAM ANTARA SUNNAH DAN BID’AH [*]

Oleh : Ustadz Aris Munandar bin S.Ahmadi

SEJARAH DAN KEUTAMAAN PUASA ASYURA
Sesungguhnya hari Asyura (10 Muharram) meski merupkan hari bersejarah dan diagungkan, namun orang tidak boleh berbuat bid'ah di dalamnya. Adapun yang dituntunkan syariat kepada kita pada hari itu hanyalah berpuasa, dengan dijaga agar jangan sampai tasyabbuh dengan orang Yahudi.

"Orang-orang Quraisy biasa berpuasa pada hari asyura di masa jahiliyyah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melakukannya pada masa jahiliyyah. Tatkala beliau sampai di Madinah beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa." [1]

"Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, kemudian beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Beliau bertanya :"Apa ini?" Mereka menjawab :"Sebuah hari yang baik, ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan bani Israil dari musuh mereka, maka Musa berpuasa pada hari itu sebagai wujud syukur. Maka beliau Rasulullah menjawab :"Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian (Yahudi), maka kami akan berpuasa pada hari itu sebagai bentuk pengagungan kami terhadap hari itu." [2]

Dua hadits ini menunjukkan bahwa suku Quraisy berpuasa pada hari Asyura di masa jahiliyah, dan sebelum hijrahpun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya. Kemudian sewaktu tiba di Madinah, beliau temukan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari itu, maka Nabi-pun berpuasa dan mendorong umatnya untuk berpuasa.

Diriwayatkan pada hadits lain.

“Ia adalah hari mendaratnya kapal Nuh di atas gunung “Judi” lalu Nuh berpuasa pada hari itu sebagai wujud rasa syukur”[3]

“Abu Musa berkata : “Asyura adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan mereka menjadikannya sebagai hari raya, maka Rasulllah Shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Puasalah kalian pada hari itu” [4]

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa di hari Asyura, maka beliau menjawab : “Puasa itu bisa menghapuskan (dosa-dosa kecil) pada tahun kemarin” [5]

CARA BERPUASA DI HARI ASYURA
[1]. Berpuasa selama 3 hari tanggal 9, 10, dan 11 Muharram
Berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan lafadz sebagaimana telah disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam al-Huda dan al-Majd Ibnu Taimiyyah dalam al-Muntaqa 2/2:

"Selisihilah orang Yahudi dan berpuasalah sehari sebelum dan setelahnya."

Dan pada riwayat ath-Thahawi menurut penuturan Al-Urf asy-Syadzi:

"Puasalah pada hari Asyura dan berpuasalah sehari sebelum dan setelahnya dan janganlah kalian menyerupai orang Yahudi."

Namun di dalam sanadnya ada rawi yang diperbincangkan. Ibnul Qayyim berkata (dalam Zaadud Ma'al 2/76):"Ini adalah derajat yang paling sempurna." Syaikh Abdul Haq ad-Dahlawi mengatakan:"Inilah yang Utama."

Ibnu Hajar di dalam Fathul Baari 4/246 juga mengisyaratkan keutamaan cara ini. Dan termasuk yang memilih pendapat puasa tiga hari tersebut (9, 10 dan 11 Muharram) adalah Asy-Syaukani (Nailul Authar 4/245) dan Syaikh Muhamad Yusuf Al-Banury dalam Ma’arifus Sunan 5/434

Namun mayoritas ulama yang memilih cara seperti ini adalah dimaksudkan untuk lebih hati-hati. Ibnul Qudamah di dalam Al-Mughni 3/174 menukil pendapat Imam Ahmad yang memilih cara seperti ini (selama tiga hari) pada saat timbul kerancuan dalam menentukan awal bulan.

[2]. Berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram
Mayoritas Hadits menunjukkan cara ini:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan berpuasa. Para shahabat berkata:"Ya Rasulullah, sesungguhnya hari itu diagungkan oleh Yahudi." Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Di tahun depan insya Allah kita akan berpuasa pada tanggal 9.", tetapi sebelum datang tahun depan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat."[6]

Dalam riwayat lain :
"Jika aku masih hidup pada tahun depan, sungguh aku akan melaksanakan puasa pada hari kesembilan."[7].

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata (Fathul Baari 4/245) :"Keinginan beliau untuk berpuasa pada tanggal sembilan mengandung kemungkinan bahwa beliau tidak hanya berpuasa pada tanggal sembilan saja, namun juga ditambahkan pada hari kesepuluh. Kemungkinan dimaksudkan untuk berhati-hati dan mungkin juga untuk menyelisihi kaum Yahudi dan Nashara, kemungkinan kedua inilah yang lebih kuat, yang itu ditunjukkan sebagian riwayat Muslim”

"Dari 'Atha', dia mendengar Ibnu Abbas berkata:"Selisihilan Yahudi, berpuasalah pada tanggal 9 dan 10”.

[3]. Berpuasa Dua Hari yaitu tanggal 9 dan 10 atau 10 dan 11 Muharram
"Berpuasalah pada hari Asyura dan selisihilah orang Yahudi, puasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya”
Hadits marfu' ini tidak shahih karena ada 3 illat (cacat):
[a]. Ibnu Abi Laila, lemah karena hafalannya buruk.
[b]. Dawud bin Ali bin Abdullah bin Abbas, bukan hujjah
[c]. Perawi sanad hadits tersebut secara mauquf lebih tsiqah dan lebih hafal daripada perawi jalan/sanad marfu'

Jadi hadits di atas Shahih secara mauquf sebagaimana dalam as-Sunan al-Ma'tsurah karya As-Syafi'i no 338 dan Ibnu Jarir ath-Thabari dalam Tahdzibul Atsar 1/218.

Ibnu Rajab berkata (Lathaiful Ma'arif hal 49):"Dalam sebagian riwayat disebutkan atau sesudahnya maka kata atau di sini mungkin karena keraguan dari perawi atau memang menunjukkan kebolehan…."

Al-Hafidz berkata (Fathul Baari 4/245-246):"Dan ini adalahl akhir perkara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dahulu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam suka menyocoki ahli kitab dalam hal yang tidak ada perintah, lebih-lebih bila hal itu menyelisihi orang-orang musyrik. Maka setelah Fathu Makkah dan Islam menjadi termahsyur, beliau suka menyelisihi ahli kitab sebagaimana dalam hadits shahih. Maka ini (masalah puasa Asyura) termasuk dalam hal itu. Maka pertama kali beliau menyocoki ahli kitab dan berkata :"Kami lebih berhak atas Musa daripada kalian (Yahudi).", kemudian beliau menyukai menyelisihi ahli kitab, maka beliau menambah sehari sebelum atau sesudahnya untuk menyelisihi ahli kitab."

Ar-Rafi'i berkata (at-Talhish al-Habir 2/213) :"Berdasarkan ini, seandainya tidak berpuasa pada tanggal 9 maka dianjurkan untuk berpuasa pada tanggal 11"

[4]. Berpuasa pada 10 Muharram saja
Al-Hafidz berkata (Fathul Baari 4/246) :"Puasa Asyura mempunyai 3 tingkatan, yang terendah berpuasa sehari saja, tingkatan diatasnya ditambah puasa pada tanggal 9, dan tingkatan diatasnya ditambah puasa pada tanggal 9 dan 11. Wallahu a'lam."

__________
Foote Note
[*]. Diolah oleh Aris Munandar bin S Ahmadi, dari kitab Rad’ul Anam Min Muhdatsati Asyiril Muharram Al-Haram, karya Abu Thayib Muhammad Athaullah Hanif, tahqiq Abu Saif Ahmad Abu Ali
[1]. Hadits Shahih Riwayat Bukhari 3/454, 4/102-244, 7/147, 8/177,178, Ahmad 6/29, 30, 50, 162, Muslim 2/792, Tirmidzi 753, Abu Daud 2442, Ibnu Majah 1733, Nasa’i dalam Al-Kubra 2/319,320, Al-Humaidi 200, Al-Baihaqi 4/288, Abdurrazaq 4/289, Ad-Darimy 1770, Ath-Thohawi 2/74 dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya 5/253
[2]. Hadits Shahih Riwayat Bukhari 4/244, 6/429, 7/274, Muslim 2/795, Abu Daud 2444, Nasa’i dalam Al-Kubra 2/318, 319, Ahmad 1/291, 310, Abdurrazaq 4/288, Ibnu Majah 1734, Baihaqi 4/286, Al-Humaidi 515, Ath-Thoyalisi 928
[3]. Hadits Riwayat Ahmad 2/359-360 dengan jalan dari Abdusshomad bin Habib Al-Azdi dari bapaknya dari Syumail dari Abu Hurairah, Abdusshomad dan bapaknya keduanya Dha’if.
[4]. Hadits Shahih Riwayat Bukahri 4/244, 7/274, Muslim 2/796, Nasa’i dalam Al-Kubra 2/322 dan Al-Baihaqi 4/289
[5]. Hadits Shahih Riwayat Muslim 2/818-819, Abu Daud 2425, Ahmad 5/297, 308, 311, Baihaqi 4.286, 300 Abdurrazaq 4/284, 285
[6]. Hadits Shahih Riwayat Muslim 2/796, Abu Daud 2445, Thabary dalam Tahdzibul Atsar 1/24, Baihaqi dalam Al-Kubra 4/287 dan As-Shugra 2/119 serta Syu’abul Iman 3506 dan Thabrabi dalam Al-Kabir 10/391
[7]. Hadits Shahih Muslim 2/798, Ibnu Majah 736, Ahmad 1/224, 236, 345, Baihaqi 4/287, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushanafnya 3/58, Thabrani dalam Al-Kabir 10/401, Thahawi 2/77 dan lain-lain

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun V/1421H-2001M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]

__________________________
________________________________

BID’AH-BID’AH DI HARI ASYURA

[1]. Shalat dan dzikir-dzikir khusus, sholat ini disebut dengan sholat Asyura
[2]. Mandi, bercelak, memakai minyak rambut, mewarnai kuku, dan menyemir rambut.
[3]. Membuat makanan khusus yang tidak seperti biasanya.
[4]. Membakar kemenyan.
[5]. Bersusah-susah dalam kehausan dan menampakkan kesusahannya itu.
[6]. Doa awal dan akhir tahun yang dibaca pada malam akhir tahun dan awal tahun (Sebagaimana termaktub dalam Majmu' Syarif)
[7]. Menentukan berinfaq dan memberi makan orang-orang miskin
[8]. Memberi uang belanja lebih kepada keluarga.
[9]. As-Subki berkata (ad-Din al-Khalish 8/417):"Adapun pernyataan sebagian orang yang menganjurkan setelah mandi hari ini (10 Muharram) untuk ziarah kepada orang alim, menengok orang sakit, mengusap kepala anak yatim, memotong kuku, membaca al-Fatihah seribu kali dan bersilaturahmi maka tidak ada dalil yg menunjukkan keutamaan amal-amal itu jika dikerjakan pada hari Asyura. Yang benar amalan-amalan ini diperintahkan oleh syariat di setiap saat, adapun mengkhususkan di hari ini (10 Muharram) maka hukumnya adalah bid'ah."

Ibnu Rajab berkata (Latha’iful Ma’arif hal. 53) : “Hadits anjuran memberikan uang belanja lebih dari hari-hari biasa, diriwayatkan dari banyak jalan namun tidak ada satupun yang shahih. Di antara ulama yang mengatakan demikian adalah Muhammad bin Abdullah bin Al-Hakam Al-Uqaili berkata :”(Hadits itu tidak dikenal)”. Adapun mengadakan ma’tam (kumpulan orang dalam kesusahan, semacam haul) sebagaimana dilakukan oleh Rafidhah dalam rangka mengenang kematian Husain bin Ali Radhiyallahu ‘anhu maka itu adalah perbuatan orang-orang yang tersesat di dunia sedangkan ia menyangka telah berbuat kebaikan. Allah dan RasulNya tidak pernah memerintahkan mengadakan ma’tam pada hari lahir atau wafat para nabi maka bagaimanakah dengan manusia/orang selain mereka”

Pada saat menerangkan kaidah-kaidah untuk mengenal hadits palsu, Al-Hafidz Ibnu Qayyim (al-Manar al-Munif hal. 113 secara ringkas) berkata : “Hadits-hadits tentang bercelak pada hari Asyura, berhias, bersenang-senang, berpesta dan sholat di hari ini dan fadhilah-fadhilah lain tidak ada satupun yang shahih, tidak satupun keterangan yang kuat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selain hadits puasa. Adapun selainnya adalah bathil seperti.

“Barangsiapa memberi kelonggaran pada keluarganya pada hari Asyura, niscaya Allah akan memberikan kelonggaran kepadanya sepanjang tahun”.

Imam Ahmad berkata : “Hadits ini tidak sah/bathil”. Adapun hadits-hadits bercelak, memakai minyak rambut dan memakai wangi-wangian, itu dibuat-buat oleh tukang dusta. Kemudian golongan lain membalas dengan menjadikan hari Asyura sebagai hari kesedihan dan kesusahan. Dua goloangan ini adalah ahli bid’ah yang menyimpang dari As-Sunnah. Sedangkan Ahlus Sunnah melaksanakan puasa pada hari itu yang diperintahkan oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi bid’ah-bid’ah yang diperintahkan oleh syaithan”.

Adapun shalat Asyura maka haditsnya bathil. As-Suyuthi dalam Al-Lali 2/29 berkata : “Maudhu’ (hadits palsu)”. Ucapan beliau ini diambil Asy-Syaukani dalam Al-Fawaid Al-Majmu’ah hal.47. Hal senada juga diucapkan oleh Al-Iraqi dalam Tanzihus Syari’ah 2/89 dan Ibnul Jauzi dalam Al-Maudlu’ah 2/122

Ibnu Rajab berkata (Latha’ful Ma’arif) : “Setiap riwayat yang menerangkan keutamaan bercelak, pacar, kutek dan mandi pada hari Asyura adalah maudlu (palsu) tidak sah. Contohnya hadits yang dikatakan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu secara marfu.

“Barangsiapa mandi dan bersuci pada hari Asyura maka tidak akan sakit di tahun itu kecuali sakit yang menyebabkan kematian”.

Hadits ini adalah buatan para pembunuh Husain.

Adapun hadits,
“Barangsiapa bercelak dengan batu ismid di hari Asyura maka matanya tidak akan pernah sakit selamanya”

Maka ulama seperti Ibnu Rajab, Az-Zakarsyi dan As-Sakhawi menilainya sebagai hadits maudlu (palsu).

Hadits ini diriwayatkan Ibnul Jauzi dalam Maudlu’at 2/204. Baihaqi dalam Syu’abul Iman 7/379 dan Fadhail Auqat 246 dan Al-Hakim sebagaimana dinukil As-Suyuthi dalam Al-Lali 2/111. Al-Hakim berkata : “Bercelak di hari Asyura tidak ada satu pun atsar/hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan hal ini adalah bid’ah yang dibuat oleh para pembunuh Husain Radhiyallahu ‘anhu.

Demikianlah sedikit pembahasan tentang hari Asyura. Semoga kita bisa meninggalkan bid’ah-bid’ahnya. Amin

_________
Foote Note
[8]. Abdurrazaq 4/287, Thahawi dalam Syarh Ma’anil Atsar 2/78, Baihaqi dalam Sunan Kubra 4/287 dan dalam Syu’abul Iman 3509 dari jalan Ibnu Juraij, Atha telah mengabariku …. Sanadnya shahih. Ada juga muttabi dalam riwayat Qasim Al-Bhagawi dalam Al-Hadits Ali Ibnil Ja’di 2/886 dengan sanad shahih
[9]. Hadits Dhaif, riwayat Ahmad 1/241, Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya 2095, Thahawi 2/78, Bazar 1052 dalam Kasyfil Atsar, Baihaqi 4/278, Thobary dalam Tahdzibul Atsar 1/215, Ibnu Adi dalam Al-Kamil 3/88

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun V/1421H-2001M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]


->di copy dari note Abu Ayaz (FB)
READ MORE - HARI ASYURA 10 MUHARRAM ANTARA SUNNAH DAN BID’AH

BOLEHKAH KAUM MUSLIMIN MENGUCAPKAN SELAMAT NATAL??

UCAPAN SELAMAT NATAL

Oleh : Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Tentang hukum mengucapkan selamat natal kepada orang kafir. Dan bagaimana kita menjawab orang yang mengucapkan natal kepada kita? Apakah boleh mendatangi tempat-tempat yang menyelenggarakan perayaan ini? Apakah seseorang berdosa jika melakukan salah satu hal tadi tanpa disengaja? Baik itu sekedar basa-basi atau karena malu atau karena terpaksa atau karena hal lainnya? Apakah boleh menyerupai mereka dalam hal ini?

Jawaban
"Mengucapkan selamat kepada orang-orang kafir dengan ucapan selamat natal atau ucapan-ucapan lainnya yang berkaitan dengan perayaan agama mereka hukumnya haram, hukum ini telah disepakati. Sebagaimana kutipan dari Ibnul Qayyim dalam bukunya Ahkam Ahl Adz-Dzimmah, yang mana beliau menyebutkan, Adapun ucapan selamat terhadap simbol-simbol kekufuran secara khusus, disepakati hukumnya haram. misalnya, mengucapkan selamat atas hari raya atau puasa mereka dengan mengatakan, 'Hari yang diberkahi bagimu' atau 'Selamat merayakan hari raya ini' dan sebagainya. Yang demikian ini, kendati si pengucapnya terlepas dari kekufuran, tapi perbuatan ini termasuk yang diharamkan, yaitu setara dengan ucapan selamat atas sujudnya terhadap salib, bahkan dosanya lebih besar di sisi Allah dan kemurkaan Allah lebih besar daripada ucapan selamat terhadap peminum khamr, pembunuh, pezina atau lainnya, karena banyak orang yang tidak mantap agamanya terjerumus dalam hal ini dan tidak mengetahui keburukan perbuatannya. Barangsiapa mengucapkan selamat kepada seorang hamba karena kemaksiatan, bid'ah atau kekufuran, berarti ia telah mengundang kemurkaan dan kemarahan Allah.' Demikian ungkapan beliau.

Haramnya mengucapkan selamat kepada kaum kuffar sehubungan dengan hari raya agama mereka, sebagaimana dipaparkan oleh Ibnul Qayyim, karena dalam hal ini terkandung pengakuan terhadap simbol-simbol kekufuran dan rela terhadap hal itu pada mereka walaupun tidak rela hal itu pada dirinya sendiri. Kendati demikian, seorang muslim diharamkan untuk rela terhadap simbol-simbol kekufuran atau mengucapkan selamat terhadap simbol-simbol tersebut atau lainnya, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak meridhainya, sebagaimana firmanNya.

"Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hambaNya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu." [Az-Zumar: 7]

Dalam ayat lain disebutkan,
“Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agamamu " [Al-Ma'idah : 3]
.
Maka, mengucapkan selamat kepada mereka hukumnya haram, baik itu ikut serta dalam pelaksanaannya maupun tidak.

Jika mereka mengucapkan selamat hari raya mereka kepada kita, hendaknya kita tidak menjawabnya, karena itu bukan hari raya kita, bahkan hari raya itu tidak diridhai Allah Swt, baik itu merupakan bid'ah atau memang ditetapkan dalam agama mereka. Namun sesungguhnya itu telah dihapus dengan datangnya agama Islam, yaitu ketika Allah mengutus Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk semua makhluk, Allah telah berfirman,

"Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi. " [Ali Imran : 85)]

Haram hukumnya seorang muslim membalas ucapan selamat dari mereka, karena ini lebih besar dari mengucapkan selamat kepada mereka, karena berarti ikut serta dalam perayaan mereka.

Juga diharamkan bagi kaum muslimin untuk menyamai kaum kuffar dengan mengadakan pesta-pesta dalam perayaan tersebut atau saling bertukar hadiah, membagikan gula-gula, piring berisi makanan, meliburkan kerja dan sebagainya, hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam bukunya Iqtidha' ash-Shirath al-Mustaqim Mukhalafah Ashab al-Jahim menyebutkan, "Menyerupai mereka dalam sebagian hari raya mereka menyebabkan kesenangan pada hati mereka, padahal yang sebenarnya mereka dalam kebatilan, bahkan bisa jadi memberi makan pada mereka dalam kesempatan itu dan menaklukan kaum lemah." Demikian ucapan beliau.

Barangsiapa melakukan di antara hal-hal tadi, maka ia berdosa, baik ia melakukannya sekedar basa-basi atau karena mencintai, karena malu atau sebab lainnya, karena ini merupakan penyepelean terhadap agama Allah dan bisa menyebabkan kuatnya jiwa kaum kuffar dan berbangganya mereka dengan agama mereka.

Hanya kepada Allah-lah kita memohon agar memuliakan kaum muslimin dengan agama mereka, menganugerahi mereka keteguhan dan memenangkan mereka terhadap para musuh. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa.

[Al-Majmu' Ats-Tsamin, Syaikh Ibnu Utsaimin, juz 3]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Disusun oleh Khalid Al-Juraisy,Penerjemah Amir Hamzah, Penerbit Darul Haq]
__________________________
_______

Bantahan untuk Yusuf Qordhowi yang Membolehkan Mengucapkan Selamat Natal

Oleh :Muhammad Abduh Tuasikal

Bismillah...
Sebagian orang beralasan bolehnya mengucapkan selamat natal pada orang nashrani karena dianggap sebagai bentuk ihsan (berbuat baik). Dalil yang mereka bawakan adalah firman Allah Ta’ala,

لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ [سورة الممتحنة:8].

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah: 8). Inilah di antara alasan untuk melegalkan mengucapkan selamat natal pada orang nashrani. Mereka memang membawakan dalil, namun apakah pemahaman yang mereka utarakan itu membenarkan mengucapkan selamat natal?

Semoga Allah menolong kami untuk menyingkap tabir manakah yang benar dan manakah yang keliru. Hanya Allah yang beri pertolongan.

***
Cuplikan:
Ulama Sepakat: Haram Mengucapkan Selamat Natal

Perkataan Ibnul Qayyim dalam Ahkam Ahlu Dzimmah:

”Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.

Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.”[24]

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ’Utsaimin mengatakan, ”Ucapan selamat hari natal atau ucapan selamat lainnya yang berkaitan dengan agama kepada orang kafir adalah haram berdasarkan kesepakatan para ulama.”[25]

Herannya ulama-ulama kontemporer saat ini[26] malah membolehkan mengucapkan selamat Natal. Alasan mereka berdasar pada surat Al Mumtahanah ayat 8. Sungguh, pendapat ini adalah pendapat yang ’nyleneh’ dan telah menyelisihi kesepakatan para ulama. Pendapat ini muncul karena tidak bisa membedakan antara berbuat ihsan (berlaku baik) dan wala’ (loyal). Padahal para ulama katakan bahwa kedua hal tersebut adalah berbeda sebagaimana telah kami utarakan sebelumnya.

Pendapat ini juga sungguh aneh karena telah menyelisihi kesepakatan para ulama (ijma’). Sungguh celaka jika kesepakatan para ulama itu diselisihi. Padahal Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”(QS. An Nisa’: 115). Jalan orang-orang mukmin inilah ijma’ (kesepakatan) mereka.

Dari sini, kami merasa aneh jika dikatakan bahwa mengucapkan selamat natal pada orang nashrani dianggap sebagai masalah khilafiyah (beda pendapat). Padahal sejak masa silam, para ulama telah sepakat (berijma’) tidak dibolehkan mengucapkan selamat pada perayaan non muslim. Baru belakangan ini dimunculkan pendapat yang aneh dari Yusuf Qardhawi, cs. Siapakah ulama salaf yang sependapat dengan beliau dalam masalah ini? Padahal sudah dinukil ijma’ (kata sepakat) dari para ulama tentang haramnya hal ini.

Hujjah terakhir yang kami sampaikan, adakah ulama salaf di masa silam yang menganggap bahwa mengucapkan selamat pada perayaan non muslim termasuk bentuk berbuat baik (ihsan) dan dibolehkan, padahal acara-acara semacam natalan dan perayaan non muslim sudah ada sejak masa silam?! Di antara latar belakangnya karena tidak memahami surat Mumtahanah ayat 8 dengan benar. Tidak memahami manakah bentuk ihsan (berbuat baik) dan bentuk wala’ (loyal). Dan sudah kami utarakan bahwa mengucapkan selamat pada perayaan non muslim termasuk bentuk wala’ dan diharamkan berdasarkan kesepakatan para ulama (ijma’). Dan namanya ijma’ tidak pernah lepas dari dari Al Qur’an dan As Sunnah sebagaimana seringkali diutarakan oleh para ulama. Hanya Allah yang memberi taufik.




Silakan baca selengkapnya di sini:
http://rumaysho.com/belajar-islam/aqidah/2824-mengucapkan-selamat-natal-dianggap-amalan-baik.html
READ MORE - BOLEHKAH KAUM MUSLIMIN MENGUCAPKAN SELAMAT NATAL??

Akhi… Apa Susahnya Kau Hapus Akhwat dari Friendlist Facebookmu?

[Renungan untuk Ikhwan-Akhwat Pengguna Facebook: bagian I]


Penyusun: Abu Muhammad Al-Ashri

Muraja’ah dan koreksi ulang: Ustadz Abu Ukasyah Aris Munandar

.

Akhi...

Bila kita sempatkan diri kita untuk membaca sejarah hidup para pendahulu kita yang shalih mulai dari masa shahabat hingga para ulama salafi, niscaya kita dapati akhlak, adab, dan ketegasan mereka yang menakjubkan.
READ MORE - Akhi… Apa Susahnya Kau Hapus Akhwat dari Friendlist Facebookmu?

Desember 16, 2009

Pesan Akhwat Untuk Ikhwan

'Afwan, sebenarnya yang pengen ana sampaikan adalah pilihan kita untuk memilih pasangan. Bagi para ikhwan, pikirkanlah baik-baik sebelum menawarkan sebuah jalinan bernama ta'aruf. Jangan mudah melontarkannya jika tak ada komitmen dan kesungguhan untuk meneruskannya. Mengertilah keadaan kami (akhwat). Antum tahu bahwa sifat kaum hawa itu lebih sensitif. Kami mudah sekali terbawa perasaan. Di sadari atau tidak, diakui atau tidak, kami adalah makhluk yang mudah sekali GR, suka di sanjung, suka diberi pujian apalagi diberi perhatian lebih. Jadi saat kata ta'aruf atau mungkin khitbah itu keluar dari lisan seorang lelaki baik dan sholih seperti antum, tak ada alasan bagi kami untuk menolak. Karena jika kami menolak tanpa alasan yang jelas, maka hanya fitnah yang ada. Jadi, tolong tanyakan lagi pada diri antum, apakah kata-kata itu memang keluar dari lubuk hati antum yang terdalam? Apakah antum sudah memohon petunjuk kepada yang Maha Menguasai hati? Apa antum benar-benar siap (ilmu, iman, mental, fisik, materi, dll) untuk menjalin ikatan suci bernama pernikahan?

Sekali lagi, berhati-hatilah dengan kata ta'aruf. Karena ta'aruf adalah gerbang menuju pernikahan. Kemudian timbul pertanyaan, seberapa jauhkah jarak pintu gerbang menuju pintu rumah antum? Padahal selama perjalanan akan banyak cobaan menghadang. Bunga-bunga indah di halaman rumah antum bisa membuat kami terpesona. Kolam ikan yang indah juga membuat kami terlena. Ingin sekali kami memetiknya, ingin sekali kami berlama-lama di sana menikmati keindahan dan kenikmatan yang antum sajikan. Tapi kami nggak berhak, kami belum mendapat izin dari si empunya rumah. Tadinya kami ingin segera mencapai sebuah keberkahan, tapi di tengah jalan antum menyuguhkan keindahan-keindahan yang membuat kami lupa akan tujuan semula.

Lebih menyakitkan lagi jika antum membuka gerbang itu lebar-lebar dan kami pun menyambut panggilan antum dengan hati berbunga-bunga. Tapi setelah kami mendekat dan sampai di depan pintu rumah antum, ternyata pintu rumah antum masih tertutup. Bahkan antum tak berniat membukakannya.

Saat itulah hati kami hancur berkeping-keping. Setelah semua harapan kami rangkai, kami bangun, tapi kini semua runtuh tanpa sebuah kepastian. Atau mungkin antum akan membukakannya, tapi kapan? Antum bilang jika saatnya tepat. Lalu antum membiarkan kami menunggu di teras rumah antum dengan suguhan yang membuat kami kembali terbuai tanpa ada sebuah kejelasan. Jangan biarkan kami berlama-lama di halaman rumah antum jika memang antum tak ingin atau belum siap membukakan pintu untuk kami. Kami akan segera pulang karena mungkin saja kami salah alamat. Siapa tahu rumah antum memang bukan tempat berlabuhnya hati ini. Ada rumah lain yang siap menjadi tempat bernaung bagi kami dari teriknya matahari dan derasnya hujan di luar sana. Kami tak ingin mengkhianati calon suami kami yang sebenarnya. Di istananya, ia menunggu bidadarinya. Menata istananya agar tampak indah. Sementara kami berkunjung dan berlama-lama di istana orang lain.

Akhi, sebelum ijab qobul itu keluar dari lisan antum, cinta adalah cobaan. Cinta itu akan cenderung pada hawa nafsu. Cinta itu akan cenderung untuk mengajak berbuat maksiat Itu pasti!! Langkah-langkah syaithon yang akan menuntunnya. Kita tentunya nggak mau memakai label ta'aruf untuk membungkus suatu kemaksiatan,bukan ?! Hati-hatilah dengan hubungan ta'aruf yang menjelma menjadi TTM (ta'aruf tapi mesum). Tolong hargai kami sebagai saudara antum. Kami bukan kelinci percobaan. Kami punya perasaan yang tidak berhak buat antum "coba-coba". Pikirkanlah kembali. Mintalah petunjukNya. Jika antum memang sudah siap dan merasa mantap, segera jemput kami...
READ MORE - Pesan Akhwat Untuk Ikhwan